Menulis Indonesia Tanpa Indonesia: Bahaya Senyap Kolonialisme Sains Modern
"Dari Rafflesia hingga fosil Flores, kolonialisme sains bekerja tanpa suara, tetapi dampaknya mengguncang masa depan bangsa."
Oleh: Purkon Hidayat, Dosen Tamu Kajian Asia Tenggara Universitas Tehran
Di pusaran hiruk-pikuk dunia modern, ada satu masalah yang jarang disadari bahwa kekuasaan tidak lagi hanya bergerak lewat senjata, ekonomi, atau diplomasi keras. Kekuasaan hari ini mengalir jauh lebih halus, merasuk lewat jalur yang selama ini dianggap paling netral, ilmu pengetahuan. Kini, ketika publik Indonesia dikejutkan oleh kabar hilangnya nama peneliti kita dalam publikasi temuan Rafflesia Hasseltii oleh Oxford University, sesungguhnya kita tidak sedang menghadapi insiden tunggal. Kita tengah menyaksikan cermin panjang dari sejarah yang tak kunjung direvisi: pengetahuan pun pernah dan masih menjadi wilayah kolonial.
Reaksi kemarahan publik Indonesia terpicu bukan sekadar karena sebuah nama tak dicantumkan. Pasalnya, yang terganggu adalah sesuatu yang lebih dalam: rasa martabat sebagai bangsa. Ada kesadaran intuisi yang muncul di benak banyak orang bahwa sesuatu yang sangat familiar telah terulang bahwa orang kita bekerja, tetapi orang lain mengklaim pengetahuan itu sebagai milik mereka; bahwa ilmuwan Indonesia kembali ditempatkan di pinggir sebagai “pembantu data”, sementara institusi Barat yang menerima sorotan sebagai pemegang legitimasi.
Namun bila kita menelusuri pola lebih luas, kasus Rafflesia tidak berdiri sendirian. Ia adalah simpul kecil dari jaring besar kolonialisme sains yang telah berlangsung lama, meskipun bahasa dan wujudnya kini lebih sopan.
Pengetahuan yang lahir di Selatan, tapi dimiliki oleh Utara
Kita sering diajarkan bahwa sains adalah pencarian objektif. Nyatanya, objektivitas itu sering tegak di atas struktur yang timpang. Dalam banyak kasus di Afrika, Asia, Amerika Latin, pola yang sama terus berulang: data dikumpulkan di negara Selatan, tetapi interpretasi, publikasi, dan legitimasi justru ditentukan oleh institusi Utara.
Penelitian Ebola di Kongo adalah salah satu contoh paling jelas. Ilmuwan lokal bekerja dalam kondisi berbahaya, menghadapi wabah mematikan, mencatat pola penularan. Tetapi publikasi berharga justru mencantumkan nama peneliti Eropa sebagai penguasa wacana. Di Bangladesh, riset tentang pengungsi Rohingya dilakukan dengan keringat peneliti lokal, tetapi yang tampil di jurnal medis bergengsi adalah akademisi Barat. Bahkan dalam eksplorasi Homo floresiensis, fosil penting yang ditemukan di tanah kita sendiri, narasi ilmiahnya lebih banyak ditulis dari perspektif luar.
Ini bukan sekadar penghapusan nama. Ini adalah penghapusan posisi. Dalam ilmu pengetahuan, tidak disebut berarti tidak sah. Tidak sah berarti tidak diakui. Tidak diakui berarti tidak memiliki hak berbicara tentang pengetahuan yang lahir dari tanahnya sendiri. Inilah bentuk kolonialisme paling canggih: kolonialisme yang bekerja lewat epistemologi, bukan eksploitasi fisik.
Indonesia: Negeri kaya biodiversitas, tetapi miskin kedaulatan ilmiah
Indonesia adalah rumah bagi biodiversitas yang menjadi incaran dunia: anggrek, raflesia, kucing liar endemik, laut yang mengandung ribuan spesies mikroorganisme langka. Namun justru di sini risiko kolonialisme sains paling besar. Negara yang kaya data biologis tetapi lemah secara regulatif hampir pasti menjadi ruang empuk bagi pencurian pengetahuan.
Ketika peneliti kita mengamati bunga raksasa Rafflesia, yang mereka lakukan bukan sekadar mencatat. Mereka menaruh waktu, tenaga, pengetahuan ekologis, hubungan dengan masyarakat lokal, pemahaman medan. Tetapi ketika publikasi internasional keluar tanpa nama mereka, itu berarti: rekam jejak akademik mereka hilang, posisi mereka dalam jaringan riset global melemah, dan negara kita kehilangan satu lagi pijakan dalam diplomasi sains.
Riset bukan sekadar persoalan publikasi. Ia adalah pertarungan status, akses pendanaan, legitimasi, dan pada akhirnya: kedaulatan negara dalam mendefinisikan kekayaannya sendiri.
Kolonialisme sains bekerja lewat senyap, tetapi dampaknya nyata
Ada satu kesalahan membaca yang sering terjadi: banyak yang mengira kolonialisme sains hanya soal etika. Padahal dampaknya jauh lebih politis dan strategis. Ketika peneliti Indonesia dihapus, maka marasi tentang Indonesia ditulis oleh orang luar. Mereka yang menulis adalah mereka yang mengklaim otoritas.
Pengetahuan kita menjadi komoditas internasional tanpa kontrol nasional. Paten, publikasi, dan kepentingan industri bisa lepas dari tangan Indonesia. Generasi ilmuwan Indonesia kehilangan kesempatan membangun reputasi.Tanpa nama dalam publikasi, tidak ada akses hibah, tidak ada kolaborasi besar. Indonesia terus diposisikan sebagai penyedia data, bukan penghasil ilmu.Inilah hierarki global yang dipertahankan diam-diam. Jika negara ini tidak waspada, kita hanya akan menjadi laboratorium alam semesta, tempat orang lain datang menambang pengetahuan, sementara kita sendiri sekadar penjaga pintu.
Masa depan Indonesia ditentukan oleh siapa yang menulis pengetahuannya
Pertanyaan terbesar bagi bangsa ini sebenarnya sederhana:Apakah Indonesia ingin menjadi produsen pengetahuan, atau hanya objek penelitian? Negara besar bukan hanya negara yang kaya sumber daya, tetapi negara yang menguasai narasi intelektual tentang dirinya. Selama kita menyerahkan pengetahuan kepada pihak luar, selama ilmuwan kita dihapus dari meja penulis, selama biodiversitas kita dilihat sebagai “data gratis”, maka kita sedang berada di ujung paling rapuh dalam hierarki global.
Kedaulatan ilmiah adalah bagian integral dari kedaulatan negara. Dan kedaulatan ilmiah hanya dapat dibangun jika peneliti Indonesia dihargai sebagai pemilik otoritas, kolaborasi internasional diatur dengan tegas, dan negara mengerti nilai strategis dari data biologisnya sendiri.
Tanpa itu semua, Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan mentah, bukan dalam bentuk rempah dan mineral seperti dahulu, tetapi dalam bentuk data, spesimen, dan pengetahuan.
Penutup: Saatnya Indonesia Menjadi Subjek, Bukan Objek
Kasus Rafflesia bukan akhir, tetapi awal dari kesadaran baru. Permainan pengetahuan global tidak pernah netral. Ia bergerak mengikuti alur kekuasaan. Dan bila Indonesia tidak mengambil posisi tegas, kita akan terus terseret dalam pola kolonial yang sama: bekerja keras di lapangan, tetapi hilang di meja publikasi. Sudah saatnya negara ini berdiri dan berkata:pengetahuan tentang Indonesia adalah milik bangsa Indonesia.
Tampaknya, negara harus terus mendorong pengakuan terhadap ilmuwannya, memperkuat regulasi riset asing, dan membangun budaya akademik yang percaya diri. Sebab bangsa yang ingin berdaulat tidak hanya menjaga laut, udara, dan tanahnya, tetapi juga menjaga pengetahuannya sendiri.