Amerika Tinjauan Dari Dalam 10 November 2018
(last modified Sat, 10 Nov 2018 08:38:27 GMT )
Nov 10, 2018 15:38 Asia/Jakarta
  • Pemilu sela Kongres Amerika Serikat.
    Pemilu sela Kongres Amerika Serikat.

Dinamika Amerika Serikat pekan lalu diwarnai sejumlah isu penting di antaranya AS melaksanakan pemilu sela Kongres pada 6 November, pemecatan Jaksa Agung AS Jeff Session oleh Trump, dimulainya tahap kedua sanksi AS terhadap Iran pada 5 November, dan peningkatan biaya modernisasi arsenal nuklir AS.

Kemenangan Demokrat dalam Pemilu Sela Kongres

Amerika Serikat melaksanakan pemilu sela Kongres pada 6 November 2018. Setelah hasil pemilu diumumkan, akhirnya kendali House of Representatives (HOR) atau setara DPR AS jatuh ke tangan Partai Demokrat. Kubu Demokrat kembali ke posisi mayoritas di DPR setelah delapan tahun, dan ini pun terjadi setelah dua tahun kepresidenan Donald Trump. Kemenangan ini diharapkan akan membawa perubahan signifikan terhadap kebijakan domestik dan luar negeri AS.

Kekalahan Partai Republik di DPR memperlihatkan tingkat ketidakpuasan warga Amerika terhadap pemerintahan Republik dan merupakan tamparan hebat kepada Presiden Trump. Padahal, Republik terutama pribadi Trump berharap bahwa perbaikan indikator ekonomi dan penerapan kebijakan keras terhadap imigran ilegal, akan meyakinkan warga Amerika untuk memilih Partai Republik.

Berdasarkan prediksi awal, hampir 55 persen pemilih pada pemilu 6 November memutuskan menentang kebijakan pemerintahan Republik. Periode baru Kongres AS dimulai pada 3 Januari 2019 dan Demokrat akan mengendalikan DPR dan memimpin semua komitenya. Sejak masa itu, Trump harus melewati kubu Demokrat untuk memajukan program-program pemerintahannya.

Kontrol Demokrat atas DPR AS akan memberi kesempatan emas kepada mereka untuk membuka investigasi terhadap banyak kasus yang menyeret Trump seperti, tudingan kolusi dengan Rusia, penggelapan pajak, dan kasus pelecehan seksual. Mereka bisa memblokir legislasi dan bahkan mendorong pemakzulan Trump jika nanti terbukti terlibat kolusi dengan Rusia.

Namun, Pemimpin Partai Demokrat DPR AS, Nancy Pelosi dalam sebuah pernyataan usai kemenangan partainya mengatakan, "Para Demokrat yang menang dalam pemilu harus mengetahui bahwa kalian dipilih bukan untuk melakukan perlawanan dan memakzulkan presiden, tetapi untuk bekerja bagi warga Amerika."

Meski demikian, Trump tampaknya akan menghadapi tekanan berat dari kubu Demokrat dalam dua tahun ke depan dan mereka menyusun strategi untuk merebut kembali Gedung Putih dari tangan Republik pada pilpres 2020.

Presiden Donald Trump.

Pemecatan Jaksa Agung AS Jeff Session

Presiden Donald Trump telah memecat banyak pejabat Gedung Putih atau memaksa mereka mundur selama memimpin pemerintahan. Beberapa pejabat juga memilih mundur karena tidak cocok dengan kebijakan Trump, di mana sejauh ini lebih dari 50 pejabat pemerintahan Trump telah dipecat atau mengundurkan diri.

Para pejabat Amerika secara beruntun meninggalkan Gedung Putih dan mereka tidak meyakini pandangan dan kebijakan Trump. Korban terbaru dari arogansi Trump adalah Jaksa Agung Jeff Sessions yang meninggalkan jabatannya karena dipaksa mundur oleh presiden.

Trump kemudian menunjuk Matthew Whitaker sebagai palaksana tugas Jaksa Agung AS sampai ia mendapat pengganti Sessions. Langkah Trump ini sepertinya bertujuan untuk memperlemah proses penyelidikan terhadap dugaan intervensi Rusia dalam pemilu presiden AS. Sebelum ini, Trump memecat penyidik khusus, Robert Mueller yang sedang menangani kasus tersebut. Kubu Demokrat di Kongres juga meyakini pandangan ini.

"Trump mencoba melakukan campur tangan dalam proses penyelidikan yang dilakukan Mueller," ujar Nancy Pelosi. Mengacu pada pemecatan Sessions, politisi senior Partai Demokrat ini menandaskan, langkah ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian kancah politik dari kekalahan besar yang dideritanya. Pemecatan ini merupakan sebuah upaya Trump untuk memperlemah penyelidikan Rusia.

Hal senada juga dikemukakan oleh anggota Senat dari Demokrat, Chuck Schumer. Menurutnya, Trump dengan memecat Sessions ingin mengangkat seseorang yang bisa dipercaya untuk jabatan Jaksa Agung AS.

Penerapan Sanksi Tahap Kedua terhadap Iran

Pekan lalu, Presiden Donald Trump mengumumkan tahap kedua sanksi nuklir terhadap Republik Islam Iran. Sanksi ini sudah berlaku sejak 5 November dan menargetkan sektor energi, industri dirgantara, sektor perkapalan dan perbankan Iran.

"AS telah menerapkan sanksi terberat terhadap Iran. Sanksi Iran sangat berat, ini adalah sanksi terberat yang pernah kita terapkan sejauh ini," ujar Trump dalam sebuah pernyataan.

Tujuan utama AS pada masa sekarang adalah mencegah total penjualan minyak, serta setiap transaksi keuangan, perbankan, perdagangan, dan ekonomi antara Iran dengan negara-negara lain, dan akhirnya meruntuhkan perekonomian Iran. AS telah memasuki perang ekonomi skala besar dengan Republik Islam.

Pada dasarnya, tujuan inti Washington adalah menggulingkan sistem Republik Islam Iran, tetapi para pejabat AS mengklaim tujuan mereka adalah untuk mengubah perilaku Iran. Meski demikian, maksud dari mengubah perilaku adalah membalikkan pendekatan dan kebijakan Tehran agar sepenuhnya sejalan dengan kehendak Washington.

"Tujuan AS menerapkan sanksi terhadap Iran adalah mengubah perilaku negara itu," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidato pada 3 November 2018 di Tehran, mengatakan salah satu manuver AS selama 40 tahun ini adalah pemanfaatan perang ekonomi.

"Jika mereka sekarang berkata bahwa sanksi adalah sebuah langkah baru terhadap Iran, sebenarnya mereka sedang menipu diri sendiri atau bangsa Amerika, karena sanksi sudah ada sejak awal kemenangan Revolusi Islam," ujarnya.

AS senantiasa mengambil tindakan bermusuhan terhadap bangsa Iran pasca kemenangan Revolusi Islam. Pembekuan aset Iran di Amerika hanyalah sebuah contoh dari tindakan anti-HAM yang dilakukan Washington. AS juga melarang impor obat-obatan dan pembelian pesawat sipil oleh Iran, yang secara langsung berdampak pada keselamatan rakyat Iran.

Para pengamat politik regional percaya bahwa Presiden Trump melalui sanksi ilegal dan tekanan terhadap masyarakat internasional, ingin menciptakan perang psikologis dan mengesankan keterkucilan Iran, tetapi penolakan dunia membuktikan bahwa AS tidak akan pernah mencapai tujuannya.

Senjata nuklir Amerika.

Peningkatan Biaya Modernisasi Arsenal Nuklir AS

Pekan lalu, AS mengumumkan peningkatan biaya modernisasi arsenal nuklir negara itu. Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS (GAO) dalam sebuah laporan menyatakan bahwa biaya untuk memodernisasi misil balistik W88 Trident II dan bom gravitasi B61-12 di arsenal senjata nuklir AS naik menjadi hampir 11 miliar dolar.

Mantan Presiden AS Barack Obama menyetujui program modernisasi senjata nuklir senilai 1,5 triliun dolar selama 30 tahun ke depan. Presiden saat ini Trump juga telah mengkonfirmasi program tersebut.

Sebelum ini, Kantor Anggaran Kongres mengatakan bahwa modernisasi dan pemeliharaan persenjataan nuklir AS selama 30 tahun ke depan akan menelan biaya lebih dari 1,2 triliun dolar. Program saat ini mencakup modernisasi pesawat pembom strategis, kapal perang dan silo rudal yang membentuk persenjataan nuklir AS.

Presiden Donald Trump pada Januari mengarahkan Menteri Pertahanan James Mattis untuk melakukan tinjauan sendiri terhadap pasukan nuklir AS. Hasilnya akan keluar dalam beberapa bulan mendatang. Laporan Kantor Anggaran Kongres menambahkan biaya modernisasi akan naik dari 29 miliar dolar pada 2017 menjadi 47 miliar pada 2027, sebelum mencapai sekitar 50 miliar dolar per tahun hingga awal 2030-an.

Berdasarkan Tinjauan Postur Nuklir (Nuclear Posture Review) 2018, AS menekankan pentingnya modernisasi persenjataan nuklir dan mengevaluasi prasyarat penggunaan senjata nuklir serta kemungkinan melancarkan perang nuklir. NPR memberi mandat kepada Trump untuk menggunakan senjata nuklir, tidak hanya dalam menghadapi ancaman serangan nuklir, tapi juga untuk melawan serangan siber skala besar.

NPR disusun berdasarkan dua doktrin sebelumnya yaitu; Strategi Keamanan Nasional (National Security Strategy) dan Strategi Pertahanan Nasional (National Defense Strategy) yang menekankan Rusia, Cina, Korea Utara, dan Iran sebagai ancaman.

Moskow menilai Washington menjadikan Rusia sebagai alasan untuk menjustifikasi penambahan belanja militer dan penguatan nuklirnya. "Washington melalui kebijakan nuklir barunya, ingin berbicara dengan rekan-rekannya di dunia dari posisi yang kuat dan angkuh, namun mereka tidak dapat memperlakukan Rusia dengan cara ini," kata Anatoly Antonov.

Pakar nuklir Amerika, Kingston Reif percaya bahwa NPR akan menciptakan sebuah skenario yang memungkinkan AS menggunakan senjata nuklir. Untuk itu, bahaya penggunaan senjata nuklir akan meningkat. (RM)

Tags