India dan Turki, Target Baru Perang Dagang AS
Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini menaikkan tarif komoditas impor dari beberapa negara ke negara itu dan secara praktis memasuki perang dagang dengan banyak pemain ekonomi dunia.
Meski sasaran perang dagang Amerika yang tampak saat ini adalah Cina, namun Washington juga mengumbar perang dengan kekuatan ekonomi dunia lain seperti Uni Eropa dan kekuatan ekonomi baru seperti India dan Turki.
Untuk menghadapi apa yang disebutnya sebagai metode bisnis tidak adil, Donald Trump mengumumkan maksudnya untuk mengakhiri preferensi dagang penting bagi India dan Turki.
Pada Senin (4/3), Trump mengirim surat kepada ketua parlemen dan senat Amerika untuk menyampaikan maksudnya tersebut dan mengeluarkan India dan Cina dari program Generalised System of Preferences, GSP atau sistem preferensi umum.
Kantor Perwakilan Dagang Amerika mengumumkan, Washington bermaksud mengeluarkan India dan Turki dari GSP karena kedua negara ini tidak memenuhi syarat lagi untuk menikmati preferensi pengecualian tarif impor Amerika.
Perubahan kebijakan ini tidak akan direalisasikan sebelum disampaikan kepada Kongres Amerika terlebih dahulu, paling cepat 60 hari mendatang.
Berdasarkan program GSP jika sebuah negara bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan seperti akses berimbang dan rasional Amerika ke pasar-pasar negara itu, maka ia dapat mengekspor sebagian produk khususnya dengan tarif impor lebih rendah ke Amerika.
Salah seorang pejabat India, Anup Wadhawan mengatakan, keuntungan tarif yang diperoleh India dari ekspor yang didasari kesepakatan preferensi, relatif terbatas dan hanya mencapai angka 190 juta dolar, karena itu keluar dari kesepakatan ini tidak terlalu berpengaruh bagi India.
Sementara itu, langkah Trump memberikan tekanan di bidang perdagangan kepada Turki sudah dimulai sejak Agustus 2018 lalu.
Saat itu, sebagai dampak meningkatnya ketegangan politik dua negara terkait penangkapan pendeta Amerika, Andrew Brunson yang dituduh bekerjasama dengan Partai Buruh Kurdistan, PKK, Trump mengukum Ankara dengan menaikkan tarif impor alumunium dan baja dari negara itu dua kali lipat.
Walaupun akhirnya pendeta Amerika itu dibebaskan, Washington tetap mengumumkan penolakannya untuk mengembalikan tarif impor alumunium dan baja Turki ke kondisi semula.
India, karena pertumbuhan ekonominya yang cukup signifikan dan sekarang berada di peringat keempat ekonomi terbesar dunia, memaksa Amerika menerapkan kebijakan serupa pada India yang sebelumnya dipakai terhadap Cina, Uni Eropa dan bahkan dua negara anggota NAFTA yaitu Kanada dan Meksiko.
Trump jelas ingin meninjau ulang hubungan dagang Amerika dengan India dengan mensyaratkan keuntungan ekonomi lebih besar bagi pihaknya.
Pertanyaannya sekarang apa reaksi yang akan diambil India dan Turki setelah dikeluarkan dari kesepakatan GSP oleh Trump. Hal yang pasti adalah kebiasaan Trump yang selalu ingin lebih diuntungkan dan lebih unggul bahkan dari sekutunya sendiri, pada saatnya akan membuahkan hasil kontraproduktif dan memperluas perang dagang negara itu yang akan merugikannya sendiri. (HS)