Serangan 11 September dan Jejak Kelam Saudi
Amerika Serikat menyatakan dirinya sebagai pengibar bendera perang melawan terorisme tak lama setelah terjadi serangan 11 September 2001. Klaim ini dijadikan alasan untuk menginvasi Afghanistan dan Irak, meskipun sebenarnya Washington mengejar tujuan lain.
Pemerintahan Presiden Donald Trump hingga sekarang berusaha menutupi keterlibatan rezim Al Saud dalam serangan 19 tahun lalu, namun pengadilan AS justru sedang mengklarifikasi peran pejabat senior Arab Saudi dalam serangan terhadap gedung World Trade Center (WTC).
Seorang hakim federal New York telah memerintahkan interogasi terhadap empat pejabat Arab Saudi yang mungkin mengetahui serangan 11 September 2001. Di antara jajaran nama pejabat Riyadh itu terdapat nama Bandar bin Sultan, mantan Duta Besar Arab Saudi untuk Washington.
Sementara itu, pejabat senior FBI, Jill Sanborn yang hadir di pengadilan baru-baru ini menyebut diplomat Arab Saudi Musaed Ahmed al-Jarrah sebagai orang ketiga yang terlibat dalam serangan tersebut.
Brett Eagleson, juru bicara keluarga korban serangan 11 September menyebut Musaed Ahmed al-Jarrah membantu para teroris al-Qaeda, yang menunjukkan bahwa pemerintah AS bungkam tentang peran Saudi dalam serangan itu.
Sebagai penyebab utama serangan 11 September 2001, Arab Saudi mencoba menghilangkan jejaknya dalam insiden teroris ini selama beberapa tahun terakhir dengan menggunakan kekeuatan finansial, politik dan medianya.
Sebuah laporan Kongres AS mengenai peristiwa 11 September 2001 yang diterbitkan pada Juli 2016, secara eksplisit menyatakan bahwa 15 dari 19 pembajak pesawat yang terlibat dalam serangan ini adalah warga negara Arab Saudi.
Hal ini menyebabkan pengesahan Undang-Undang JASTA di Kongres AS, yang memungkinkan keluarga dan kerabat korban peristiwa 11 September 2001 menuntut pemerintah dan pihak berwenang Arab Saudi karena membantu para pelaku teror. Namun, pemerintahan Barack Obama maupun Trump secara efektif memblokir implementasi undang-undang tersebut dengan dalih berdampak negatif terhadap hubungan bilateral antara Riyadh dan Washington.
Bahkan Trump mengambil pendekatan kontradiktif terhadap Riyadh dalam kasus terorisme dengan mendukung penuh aksi-aksi terorisme yang dilakukan Arab Saudi di berbagai negara dunia. Pemerintahan Trump juga secara sengaja mengabaikan peran Riyadh dalam menyuburkan ideologi teror, dan mendanai kelompok-kelompok teroris takfiri.
Di sisi lain, AS memanfaatkan peristiwa ini untuk melancarkan misinya di dunia, khususnya di Asia Barat. Dengan demikian, serangan 11 September menjadi alasan bagi Washington untuk meningkatkan kehadiran militernya di dunia Islam, terutama setelah Perang Teluk pertama dan kehadiran beberapa ratus ribu pasukannya yang belum pernah terjadi sebelumnya di Teluk Persia.
Peristiwa 11 September 2001 berakar dari intervensi AS di kawasan, termasuk di Arab Saudi, setelah Perang Teluk pertama, yang mengarah pada pembentukan gerakan politik dan intelektual yang kuat untuk melawannya. Kelompok teroris al-Qaeda mengambil keuntungan dari fenomena ini melalui serangan 11 September dengan menggunakan sumber daya keuangan dan logistik dari beberapa pejabat senior Arab Saudi di Amerika Serikat, termasuk Bandar bin Sultan, selaku Dubes Arab Saudi untuk Washington saat itu.
Kini, alih-alih menghadapi rezim Al Saud dan menuntutnya, Washington selalu berusaha menutupi jejak kelamnya, sambil menggunakan serangan 11 September 2001 sebagai dalih demi menjalankan rencana ofensifnya dengan dalih perang global melawan terorisme untuk menginvasi Afghanistan dan Irak.
Tindakan yang mengakibatkan ratusan ribu orang tewas dan kehancuran negara ini menyulut penciptaan fenomena terorisme Takfiri yang membahayakan dunia, termasuk Daesh dengan berbagai kejahatannya.
Perang di luar negeri yang disulut AS di era pasca peristiwa 11 September telah menimbulkan biaya yang sangat besar, bahkan Trump menyebut angka lebih dari 7 triliun dolar. Dampaknya terjadi lonjakan defisit anggaran AS serta utang nasionalnya yang memicu efek domino penurunan anggaran kesehatan, sosial dan pendidikannya. Dalam skala global, terjadi peningkatan ketidakamanan serta penyebaran terorisme di seluruh penjuru dunia. (RA)