Georgia dan Impian Hegemoni AS yang Gagal
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo di akhir pemerintahan Donald Trump dilaporkan berkunjung ke Tbilisi, Georgia.
Di kunjungan ini, dibahas prospek kerja sama AS-Georgia di sektor pertahanan dan keamanan, ekonomi serta perdagangan.
Bersamaan dengan kunjungan menlu AS ke Tbilisi, ribuan warga negara ini Rabu (18/11/2020) turun ke jalan-jalan memprotes pemilu parlemen terbaru negara mereka. Tujuan dari konsentrasi ini adalah menarik perhatian menlu AS.
Kubu oposisi Georgia seraya memuji kunjungan Pompeo juga berusaha menunjukkan sikap mereka selaras dengan sikap Washington. Sekaitan dengan ini, Pemimpin kubu oposisi Georgia, Giga Bokeria mengatakan, “Georgia membutuhkan partisipasi permanen dan aktif AS untuk mendukung keamanan demokrasi di negara ini guna mengusir serangan Moskow dan Presiden Vladimir Putin.”
Seperti sebelumnya, Pompeo saat bertemu dengan petinggi Georgia berusaha menyampaikan kekhawatiran pemerintah dan rakyat Geogria atas kebijakan Rusia di kawasan Kaukasus. Di antaranya menlu AS di pertemuan dengan perdana menteri Georgai seraya bersandar pada fakta bahwa militer Rusia setelah perang bulan Agustus 2008, ditempatkan di dua kawasan Georgia Abkhazia dan Ossetia Selatan, menandaskan, “Saya pribadi menyadari rasa sakit dan kesulitan terkait pendudukan Georgia oleh Rusia.”
Georgia negara kecil di Kaukasus selatan di mana pemerintah Amerika selalu mendukung negara ini dan memberi bantuan militer kepada Tbilisi. Sementara itu, Georgia termasuk salah satu negara penting Kaukasus selatan dan tetangga Rusia yang selain berupaya memperluas hubungan dengan negara-negara Barat khususnya Amerika, juga menghendaki untuk bergabung dengan organisasi Barat terlebih, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Terkait hubungan Georgia dan AS harus dikatakan bahwa sejak tahun 2008 hingga kini, Washington tidak melakukan langkah serius bagi Tbilisi. Sebagian petinggi Gedung Putih merealisasikan dukungannya terhadap Georgia dan mengungkapkan statemen dukungan terhadap kedaulatan wilayah Georgia. Namun pemerintah Amerika tidak melakukan langkah serius dalam hal ini.
Sekaitan dengan ini, petinggi Georgia sebelumnya bahkan mengatakan, “Seberapa besar kami berusaha memperluas hubungan dengan AS, namun hal ini sekedar ucapan.”
Sepertinya petinggi Tbilisi telah pesimis dengan dukungan AS dan berusaha mengungkapkan kecenderungannya terhadap Barat melalui jalur abnormal. Sementara setelah perang Agustus 2008, sepertinya AS semakin pesimis dengan Georgia dan hanya berusaha menarik negara ini menjadi anggota organisasi Barat khususnya NATO.
Bagaimanapun juga harus dikatakan bahwa Georgia memiliki kendala serius di bidang ekonomi dan keamanan, serta tidak terlihat transformasi serius setelah pemerintah baru berkuasa di negara ini. Pemerintah Georgia saat ini berbeda dengan pemerintah sebelumnya yang anti Moskow. Pemerintah Tbilisi saat ini berbeda dengan pemerintah Mikheil Saakashvili, terus berusaha mempertahankan posisi moderat di hubungan dengan Rusia.
Faktanya upaya pemerintah berkuasa di Georgia termasuk pemerintahan Presiden Salome Zourabichvili adalah memiliki hubungan baik dengan Barat maupun Rusia. Sejatinya ini adalah kebijakan partai berkuasa dan koalisi “Impian Rakyat Georgia” pimpinan Bidzina Ivanishvili yang berkuasa sejak pertengahan 2013.
Adapun petinggi Amerika meminta Georgia dan seluruh sekutunya menentang Rusia sehingga komunitas internasional bersatu melawan kebijakan Moskow baik di kawasan maupun dunia. Di statemen terbaru menlu Amerika juga diungkapkan permintaan Washington ini secara tersirat kepada petinggi Georgia. Namun sepertinya petinggi Tbilisi telah sadar dan tidak bersedia kembali tertipu pendekatan hegemoni AS. (MF)