Apakah Biden akan Mengubah Kebijakan Luar Negeri AS?
(last modified Fri, 05 Feb 2021 10:49:26 GMT )
Feb 05, 2021 17:49 Asia/Jakarta
  • Presiden AS Joe Biden.
    Presiden AS Joe Biden.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pidato perdananya di gedung kementerian luar negeri baru-baru ini berbicara mengenai kebijakan luar negeri negaranya. Dia mengabarkan kembalinya AS kepada jalur diplomasi.

Biden mengatakan, AS kembali lagi dan kami akan melawan sistem otoriter. Dia kemudian membahas berbagai masalah kebijakan luar negeri, dari perubahan iklim dan perang Yaman hingga kudeta di Myanmar serta hubungan dengan Rusia, China, dan Eropa.

Karena pemerintahan Biden baru berjalan kurang lebih dua minggu, maka tidak mungkin untuk menilai dan menghakimi kebijakan luar negeri pemerintahannya. Namun, dengan melihat sejarah diplomasi AS selama setidaknya setengah abad terakhir, jelas bahwa kebijakan luar negeri negara ini  mengikuti seperangkat prinsip dan kerangka kerja tetap yang tidak berubah meski pemerintahannya berubah.

Di antara prinsip-prinsip yang dimaksud adalah mempertahankan hegemoni atas sistem internasional, mengamankan kepentingan ekonomi perusahaan-perusahan AS, mempromosikan nilai-nilai Amerika, mendukung pemerintah-pemerintah sekutu, bersaing dengan negara-negara rival, dan berperang melawan pemerintahan-pemerintahan yang tidak sejalan dengan AS.

Penggunaan diplomasi dan perang secara bersamaan adalah prinsip lain dari kebijakan luar negeri pemerintah AS. Perbandingan dua pemerintahan Barack Obama dari Partai Demoktrat dan Donald Trump dari Partai Republik menunjukkan bahwa selama pemerintahan Obama, metode perang tidak ditinggalkan, dan selama kehadiran Trump di Gedung Putih, diplomasi juga tidak terpinggirkan. Oleh karena itu, pernyataan Biden bahwa "Amerika telah kembali ke diplomasi" tidak berarti bahwa pemerintahan AS saat ini telah meninggalkan metode perang.

Presiden AS Joe Biden

Pengalaman masa lalu telah menunjukkan bahwa presiden-presiden AS membuat janji yang menarik pada hari-hari pertama pemerintahan mereka, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka melupakannya atau sistem dan struktural mencegah mereka untuk memenuhi janji-janji itu.

Contoh utama adalah janji Obama pada hari pertama dia menjabat sebagai Presiden AS untuk menutup penjara Guantanamo dalam waktu satu tahun. Tetapi ketika Obama meninggalkan Gedung Putih setelah delapan tahun berkuasa, penjara itu masih terbuka. Trump juga telah berulang kali berjanji untuk mengakhiri perang AS yang tak ada habisnya dan bahkan menandatangani dekrit untuk menarik pasukan AS dari Suriah dan Afghanistan. Namun janji tersebut belum dipenuhi hingga pemerintahannya berakhir.

Sekarang giliran Biden membuat janji dalam kebijakan luar negerinya, di mana di antara janji itu adalah janji untuk memperkuat kerja sama diplomatik dengan sekutu, keras terhadap rival dan musuh, dan mengupayakan perubahan di berbagai bidang seperti kebijakan terkait Arab Saudi dan Yaman. Namun, karena kompleksitas sistem internasional dan berkurangnya kemampuan nasional AS untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain, pencapaian tujuan-tujuan tersebut selama empat tahun kepresidenan AS, jauh dari harapan.

Bonnie Kristian dalam The Washington Examiner menulis, Menteri Luar Negeri Anthony Blinken yakin AS harus mempertahankan peran kepemimpinannya dalam berbagai masalah internasional. Ini, lanjutnya, adalah kesalahan strategis mendasar yang telah menyebabkan kegagalan kebijakan luar negeri selama beberapa dekade. Pandangan ini bermula dari kesombongan atas kemampuan dan keterbatasan kekuatan AS. (RA)