Amerika Tinjauan dari Dalam, 27 Maret 2021
-
Wapres AS, Kamala Harris
Dinamika Amerika Serikat selama sepekan terakhir diwarnai sejumlah isu penting di antaranya mengenai Wapres AS meminta Kongres negaranya memperketat aturan kepemilikan senjata.
Isu lain tentang penembakan wanita Asia di Atlanta yang bermotif rasial, AS menanggapi uji coba rudal balistik Korea Utara, AS jadikan perang melawan Daesh sebagai alasan bertahan di Afghanistan dan AS menyambut gencatan Senjata Saudi dan Yaman.

Wapres AS Minta Kongres Perketat Aturan Kepemilikan Senjata
Wakil Presiden AS Kamala Harris meminta Kongres negaranya untuk mengesahkan undang-undang pengendalian senjata menyusul dua penembakan massal yang menewaskan 18 orang tewas dalam waktu satu minggu.
"Intinya di sini adalah bahwa Kongres harus bertindak," kata Harris kepada televisi CBS, Rabu (24/3/2021).
"Ada dua undang-undang yang siap ditandatangani oleh presiden, jadi kami membutuhkan Senat untuk bertindak," imbuhnya.
Menurut Harris, tidak ada alasan mengapa kita membawa senjata serbu di jalan-jalan masyarakat sipil. Itu adalah senjata perang. Senjata serbu dirancang untuk membunuh banyak orang dalam waktu cepat.
"Mari kita mencapai kesepakatan bahwa orang-orang yang dinyatakan berbahaya bagi dirinya dan orang lain, tidak boleh membeli senjata," ujarnya.
AS sedang menghadapi gelombang kekerasan, penyanderaan, dan serangan bersenjata.
Ribuan orang tewas atau terluka setiap tahun akibat kekerasan bersenjata di berbagai kota di AS. Berdasarkan laporan resmi, sekitar 270-300 juta senjata api beredar di AS atau hampir setiap warga sipil menguasai satu pucuk senjata.

Penembakan Wanita Asia di Atlanta Bermotif Rasial
Seorang senator Amerika Serikat mengatakan penembakan wanita Asia di Atlanta bermotif rasial.
Senator Demokrat AS Tammy Duckworth, seperti dilansir Reuters, Senin (22/3/2021), menyatakan keraguannya tentang penilaian awal Direktur FBI Chris Wray bahwa penembakan fatal terhadap enam wanita Asia di sebuah spa di Atlanta mungkin bukan kejahatan rasial, dengan mengatakan insiden tersebut bermotif rasial.
Direktur FBI mengklaim penilaian awal menunjukkan bahwa penembakan yang menewaskan enam wanita Asia di Atlanta merupakan kejahatan dan bukan kebencian rasial.
"Saya menunggu penyelidikan yang lebih dalam apakah penembakan itu dan kejahatan serupa lainnya bermotif rasial atau bukan,” kata Duckworth.
"Menurut saya, penembakan tersebut memiliki motivasi rasial," tegasnya.
Senator Georgia Raphael Warnock juga mempertanyakan penilaian direktur FBI dan mengatakan bahwa dia yakin ras memainkan peran dalam kejahatan itu.
Kepolisian Atlanta masih menyelidiki motif penembakan fatal terhadap delapan orang, enam di antaranya adalah wanita Asia pada Selasa lalu. Penyelidikan ini dibantu oleh Biro Investigasi Federal (FBI).

AS Tanggapi Uji Coba Rudal Balistik Korea Utara
Juru bicara Komando Indo-Pasifik Amerika Serikat, memandang uji coba rudal balistik oleh Korea Utara sebagai ancaman terhadap kawasan dan masyarakat internasional.
Seperti dilansir media Sputnik, Korea Utara menembakkan dua rudal balistik ke perairan Laut Jepang pada Kamis (25/3/2021) dini hari.
Juru bicara Komando Indo-Pasifik AS, Kapten Mike Kafka mengatakan AS sedang memantau situasi dan berkonsultasi dengan sekutunya.
"Kami mengungkapkan kekhawatiran atas tindakan Pyongyang. Tindakan itu mempertegas bahwa program senjata terlarang Korea Utara merupakan ancaman terhadap tetangganya dan komunitas internasional," tambahnya.
Pemerintah Tokyo meminta Dewan Keamanan PBB menggelar sidang setelah Pyongyang meluncurakan rudal balistik ke Laut Jepang.
Ini adalah manuver kedua yang dilakukan Korea Utara dalam minggu ini. Surat kabar The Washington Post pada hari Rabu, menyatakan Pyongyang telah menembakkan beberapa rudal jarak dekat sebagai peringatan untuk Presiden AS Joe Biden.
AS dan Dewan Keamanan PBB menerapkan beberapa putaran sanksi terhadap Korea Utara sejak negara itu melakukan uji coba nuklir pertama pada tahun 2006.
Pyongyang menyatakan selama Washington tidak mengakhiri kebijakan untuk menggulingkan pemerintah Korea Utara, mereka tidak akan meninggalkan program rudal dan nuklirnya.

Alasan Perangi Daesh, AS Ingin Bertahan di Afghanistan
Amerika Serikat sedang berusaha untuk memperpanjang kehadiran pasukannya di Afghanistan dengan alasan memerangi kelompok teroris Daesh.
Ketua Komisi Angkatan Bersenjata DPR AS, Adam Smith pada Rabu (24/3/2021), mengatakan pemerintahan Joe Biden ingin mempertahankan pasukan AS di Afghanistan untuk menumpas Daesh dan dalam hal ini ingin mencapai kesepakatan dengan Taliban.
Menurutnya, penarikan semua pasukan AS dari Afghanistan pada tenggat waktu 1 Mei adalah "terlalu cepat."
Pemerintah AS selalu mengklaim memerangi teroris Daesh di Afghanistan, padahal media-media internasional dan bahkan para pejabat Amerika sendiri mengakui hubungan Washington dengan kelompok tersebut.
Berdasarkan kesepakatan Washington dan Taliban yang dicapai di Qatar pada Februari 2020, AS harus menarik pasukannya dari Afghanistan hingga 1 Mei 2021.
AS dan sekutunya menyerang Afghanistan pada 2001 dengan alasan memerangi terorisme dan menciptakan keamanan. Namun, Afghanistan sampai sekarang menyaksikan kekacauan, serangan terorisme, dan peningkatan produksi opium.
Rakyat dan para pejabat Kabul berulang kali menuntut penarikan pasukan asing pimpinan Amerika Serikat dari Afghanistan.

Porter: AS Sambut Gencatan Senjata Saudi dan Yaman
Deputi juru bicara Kementerian Luar Negeri AS dalam sebuah jumpa pers mengatakan, Washington menyeru pihak-pihak yang terlibat perang di Yaman untuk menerapkan gencatan senjata.
"Amerika Serikat menyambut komitmen Arab Saudi dan pemerintah Yaman untuk menerapkan gencatan senjata dan memulai proses politik di Yaman," kata Jalina Porter seperti dilansir Fars News, Selasa (23/3/2021).
Porter mengungkapkan bahwa lobi untuk menerapkan perdamaian di Yaman terus berlanjut. "Kami meminta seluruh pihak yang bertikai segera menerapkan gencatan senjata dan memulai perundingan di bawah pengawasan PBB," tambahnya.
Statemen Jalina Porter ini dirilis hanya beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan Al Saud pada Senin (22/3/2021) sore mengatakan bahwa berdasarkan prakarsa yang diklaim Riyadh, Bandara Internasional Sanaa akan dibuka secara terbatas, dan pembatasan terhadap pelabuhan Al Hudaydah akan dikurangi.
Juru Bicara Ansarullah Yaman Mohammed Abdul Salam merespon prakarsa Arab Saudi ini dan di akun Twitternya menulis, "Arab Saudi bagian dari agresi ke Yaman. Setiap rencana yang tidak memperhitungkan fakta bahwa Yaman berada di bawah agresi dan pengepungan tidaklah serius dan tidak ada yang baru."
Perang yang dilancarkan Arab Saudi ke Yaman memasuki tahun ketujuh dan menurut pengakuan PBB, Riyadh melakukan sabotase terhadap lebih dari lima babak perundingan Yaman-Yaman di Kuwait, Oman dan Yordania.
Bandara Internasional Sanaa selama enam tahun lalu dibombardir dan diblokade ketat oleh pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi.
Langkah ini diambil ketika koalisi yang dipimpin Arab Saudi dalam kesepakatan Stockholm (2018) berkomitmen melonggarkan blokade terhadap bandara untuk penerbangan kemanusiaan, tapi janji tersebut sampai saat ini belum dipenuhi.(PH)