Ketika AS Mengakui Sangat Rentan Menghadapi Serangan Siber
Jennifer Granholm, Menteri Energi AS mengakui bahwa Amerika Serikat terus-menerus menghadapi ancaman yang menarget berbagai sektor penting jaringan listrik dan energi. Menurutnya, "Para musuh Amerika Serikat memiliki kemampuan untuk merusak semua atau sebagian dari jaringan energi AS." Granholm tidak lupa mengklaim bahwa banyak negara mencoba mengambil tindakan seperti itu terhadap Amerika Serikat.
"Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat harus siap menerima kenyataan bahwa serangan siber telah menjadi hal biasa," kata Menteri Perdagangan Amerika Serikat Gina Raimondo, merujuk pada serangan siber terhadap AS.

Gedung Putih beberapa waktu lalu memperingatkan semua perusahaan dan organisasi swasta untuk waspada terhadap serangan siber baru setelah serangan siber baru-baru ini pada jalur pipa bahan bakar terbesar di Amerika Serikat, Colonial Pipeline dan peretasan SolarWindow Technologies, Inc. Begitu juga telah disampaikan surat yang berisikan rekomendasi kepada para pemilik perusahaan tersebut untuk mengurangi resiko serangan para hacker.
"Risiko peretasan di pusat-pusat sensitif AS sangat serius serta beberapa perusahaan dan organisasi di negara ini menjadi rentan terhadap peretas ini," ungkap Anne Neuberger, Deputi Penasihat Keamanan Nasional untuk Urusan Siber AS.
Pejabat senior Biden dan Gedung Putih telah mengakui bahwa Amerika Serikat rentan terhadap serangan siber, sementara pada saat yang sama, Amerika Serikat sendiri bertanggung jawab atas banyak serangan siber di seluruh dunia. Setiap kali AS sendiri melancarkan serangan siber terhadap negara lain, seperti serangan siber terhadap fasilitas nuklir Iran dengan malware Stuxnet, mereka menganggapnya sebagai tindakan yang dibenarkan. Sementara, bila tindakan serupa dilakukan oleh negara-negara saingan atau musuh, mereka tidak bisa menolerir.
"Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat harus siap menerima kenyataan bahwa serangan siber telah menjadi hal biasa," kata Menteri Perdagangan Amerika Serikat Gina Raimondo.
Padahal, serangan siber adalah pedang bermata dua yang dapat digunakan secara efektif oleh pihak lain terhadap Amerika Serikat. Serangan siber, termasuk peretasan, sebagian besar ditujukan untuk mendapatkan akses ke informasi sensitif, terutama tentang dimensi industri, militer, dan politik, menyabotase fasilitas negara saingan atau menyadap percakapan, atau dengan motif keuangan, terutama pemerasan.
Pada saat yang sama, serangan siber yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat telah mempertanyakan klaim negara ini sebagai kekuatan dunia siber paling kuat di dunia dan menunjukkan bahwa musuh-musuh Washington dapat memberikan pukulan besar kepadanya.
"Saya lebih peduli tentang keamanan siber daripada serangan kelompok lain di ibu kota," kata Senator Karen Gibson, kepala eksekutif Senat AS yang menilai ancaman serangan siber ke Washington lebih berbahaya dari pengulangan serangan 6 Juni ke Kongres negara ini.
Serangan siber saat ini di Amerika Serikat menunjukkan bahwa benar Washington telah melakukan upaya besar Washington untuk mengembangkan kemampuan sibernya baik dalam dimensi defensif maupun ofensif. Namun pada saat yang sama, musuh-musuh AS juga telah memperkuat kemampuan siber mereka. Musuh AS bahkan dalam praktiknya telah mampu meluncurkan serangan besar-besaran kepada berbagai lembaga pemerintah federal, perusahaan swasta, dan semua jenis infrastruktur AS lalu menyeretnya ke ambang kelumpuhan total.

Pada September 2018, pemerintahan Trump mengumumkan strategi keamanan siber nasional baru yang menguraikan prioritas pertahanan pemerintah federal di dunia siber dan menekankan serangan terhadap peretas asing. Dokumen tersebut memperingatkan peretas dan kelompok siber asing ahwa serangan terhadap mereka akan meningkat mulai sekarang di bawah strategi keamanan siber AS yang baru.
Namun, sekarang jelas bahwa ancaman ini kosong, dan bahwa Washington telah menjadi begitu bingung dan pasif dalam menghadapi serangan siber terbesar di Amerika Serikat sehingga pemerintahan Biden terpaksa mengakui ketidakmampuan Washington untuk melawan serangan siber ini. (SL)