Jejak Kebudayaan Iran di Nusantara
Asia Tenggara sejak dahulu menjadi perhatian bangsa-bangsa yang datang dari berbagai penjuru dunia termasuk Asia Barat ke kawasan ini. Sebelum Islam masuk ke kawasan ini, bangsa-bangsa Asia Tenggara telah menjalin hubungan perdagangan dan budaya dengan Iran. Berbagai literatur termasuk sumber catatan orang-orang Cina, Arab dan Persia menunjukkan kehadiran orang-orang Iran di bandar-bandar sepanjang tepian selat Malaka.
Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Persia di Nusantara di antaranya penemuan artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol dan jambangan di Barus, Tapanuli Tengah Sumatera Utara, dan pantai timur Jambi, yaitu wilayah Muara Jambi, Muara Sabak, dan Lambur.
Hubungan perdagangan dan budaya antara Persia dan Nusantara di era kerajaan Sriwijaya telah berlangsung sekitar abad ke-7 Masehi. Para arkeolog memandang hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia dan Sriwijaya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan yang menjalin mitra dagang.
Interaksi yang terjalin di antara mereka memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial, termasuk keyakinan keagamaan yang dianut masyarakat di Asia Tenggara, terutama dunia Melayu yang saat ini mayoritasnya menganut agama Islam.
Bukti masuk dan penyebaran Islam ke dunia Melayu bisa dilacak dari jejak peninggalan sejarah. Salah satunya yang paling tua berkaitan dengan batu nisan di gresik. Para sarjana menengarai masuknya Islam ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran bangsa-bangsa dunia, termasuk Persia, selain Arab, India dan Cina.

Peneliti Asia Tenggara dari Pusat Riset Ensiklopedia Dunia Islam, Iran, Dr. Faezeh Rahman menjelaskan,
Wawancara 1
Berdasarkan catatan sejarah kuno Cina, pada abad kesepuluh Masehi atau abad ke-4 Hijriah, keluarga Iran dari berbagai wilayah seperti Kashan, Abarkouh Yazd, Lorestan dan lainnya bermigrasi ke wilayah Nusantara.Tampaknya, keluarga yang terbesar datang ke wilayah ini dari keluarga Lor sekitar tahun 912 Masehi dan mereka tinggal di sebuah daerah Gresik bernama Loran (atau Lorin) yang berarti orang-orang Lor. Hingga kini tempat tersebut dinamai demikian.
Naskah sejarah kuno menunjukkan kedatangan orang-orang Lor ke Jawa Timur diperkuat dengan bukti prasasti batu nisan Fatimah binti Maimun yang dimakamkan di Lorin, Gresik.
Selain itu, keluarga Iran lainnya yang datang ke Nusantara adalah keluarga Jawani. Khat Melayu-Arab yang dikenal di Malaysia dengan sebutan khat Jawi atau Arab Pegon di Jawa dinisbatkan kepada Jawani Kurdi. Keluarga Jawani pernah memerintah di Iran sekitar tahun 913 Masehi atau 301 Hijriah.
Wawancara 2
Selain itu, keluarga Jawani Kurdi dari Iran datang ke wilayah Pasai, Aceh di wilayah utara pulau Sumatera. Sebagian peneliti berkeyakinan bahwa keluarga inilah yang menyusun khat Jawi.
Jejak khat Jawi di dunia melayu bisa dilacak dari bukti yang paling tua berupa batu bersurat Terengganu, Malaysia. Prasasti yang dipahat di granit ini memuat khazanah klasik Melayu dalam tulisan Jawi bertanggal sekitar 702 H atau 1303 M.
Artefak ini menjadi bukti paling awal dari jejak khat Jawi yang dipergunakan kerajaan Melayu, sekaligus menjadi salah satu fakta sejarah tertua tentang kedatangan Islam sebagai agama negara di kawasan itu.
UNESCO telah menetapkan prasasti Trengganu sebagai warisan budaya dunia pada pertemuan Komite Penasihat Internasional UNESCO (IAC) yang diadakan di Barbados, pada tahun 2009. Posisi penting prasasti ini dijelaskan Dr. Faezeh Rahman:
Wawancara 3
Prasasti ini sangat penting, sebab merupakan salah satu bukti tertua tentang penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara. Saat ini prasasti tersebut disimpan di museum Kuala Lumpur Malaysia. Prasasti ini dikenal dengan sebutan Batu Bersurat Trengganu. Prasasti ini dibuat atas perintah langsung dari Sultan Trengganu di masa awal masuknya Islam di daerah ini. Diperkirakan prasasti ini dibuat ketika Islam belum tersebar sebagai agama yang dianut secara luas oleh masyarakat. Prasasti ini dibuat dari empat sisi dengan khat Jawi.

Selain keluarga Lor dan Jawani Kurdi, para peneliti seperti Sq.Fatimi, dan Wan Husein Azmi menyebut kehadiran keluarga Syiah Iran yang mendirikan perkampungan yang dikenal dengan nama “Siak”, lalu berkembang menjadi Nagari Siak, yang diberi nama “Siak Seri Inderapura”. Diperkirakan mereka datang di era pemerintahan Ruknuddaulah Ibn Hasan Ibn Buwaih Al-Dailami sekitar tahun 969 Masehi.
Jejak kebudayaan Persia juga ditemukan di batu nisan Sultan Malik as-Saleh Aksara yang dipahat pada batu nisan tersebut merupakan aksara Shulus yang cirinya berbentuk segitiga pada bagian ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang di Persia sebagai karya seni kaligrafi.
Batu nisan lain yang ditemukan di Barus atas nama Na'ina Husam al-Din terdapat kutipan syair dari penyair terkemuka Persia, Syeikh Muslim al-Din Saa'di (1193-1292 M), yang dipahat dalam bahasa Farsi.
Mengenai batu nisan ini, pakar Asia Tenggara dari Iran, Dr. Mahmoud Esfandiyar menjelaskan:
Wawancara 4
Salah satu bukti yang menarik mengenai kehadiran sastra Farsi di kawasan (Asia Tenggara) ini adalah kutipan bait syair dari Saadi dari batu nisan di tahun 823 Hq. isi baitnya: Bertahun-tahun engkau pergi ditelan bumi, air mengalir, dan ngin sepoi bertiup. Lima hari waktu yang ada bagi manusia. Mengapa harus takabur di tanah yang lain? Bait ini dipilih dengan sangat teliti. Isi bait ini sangat sesuai dengan batu nisan ini sebagai nasihat bagi orang-orang yang melihat batu nisan tersebut tentang kefanaan dunia dan hidup sebagai manusia yang tidak terperdaya oleh dunia.
Jejak lain dari sastra Persia bisa dilihat dari banyaknya kosa kata Melayu yang diserap dari bahasa Farsi seperti anggur, pahlawan, saudagar, tahta dan lain-lain. Karya-karya sastra klasik Melayu seperti risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri seperti Syarab al-Asyiqin, Asrar al-Arifin dan Muntahi yang mengambil rujukan dari teks-teks dan syair tasawuf penulis Persia seperti Attar, Rumi, Jami dan lain-lain.
Karya-karya sastra berbentuk prosa dari Persia berpengaruh signifikan terhadap kesusasteraan Indonesia. Misalnya kitab Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa diadaptasi dari cerita Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Cerita-cerita Menak biasanya ditampilkan dalam bentuk wayang golek yang konon diciptakan oleh Sunan Kudus, dan wayang kulit yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan wayang gedog oleh Sunan Giri.