Festival Film Fajr ke-34
(last modified Wed, 17 Feb 2016 13:47:27 GMT )
Feb 17, 2016 20:47 Asia/Jakarta

Festival internasional film Fajr merupakan festival sinema Iran yang dimulai sejak tahun 1361 Hs atau 1983 Masehi, dan terus berlanjut hingga kini.

Momentum kebudayaan yang berlangsung setiap tahun di bulan Bahman atau Februari ini digelar sebagai bagian dari peringatan kemenangan Revolusi Islam Iran.

Festival yang berlangsung di Tehran ini digelar oleh Institute Sinema Farabi yang berada di bawah otoritas kementerian budaya dan bimbingan Islam, Republik Islam Iran. Sejak festival ke-33, kategori internasional dipisahkan dan kategori nasional. Even tersebut digelar di bulan Ordibehesht atau Mei.

Penutupan festival Film Fajr ke-34 berlangsung tepat di hari peringatan kemenangan Revolusi Islam Iran pada 22 Bahman 1394 Hs atau 11 Februari 2016 di Melad Tower, Tehran. Sebanyak 22 nominator film untuk kategori “Soda-ye Simorg” dan 11 Film untuk kategori “Negah Nou” (Perspektif Baru), dan 11 film untuk kategori “Honar va Tajribeh” (Seni dan Pengalaman).

Di kategori film dokumenter, film terbaik disabet film “A157” dengan produser Behrouz Nourani Pour. Sutradara terbaik diraih oleh Mehrdad Eskavi untuk film “Roya-ha Dam Sobh” (Mimpi menjelang Subuh). Sedangkan untuk asisten teknis dan seni disabet Reza Tymori untuk film dokumenter “Ahali Yek Tarafe” (Warga Searah).

Nourani Pour yang berpengalaman dalam memproduksi film dokumenter berkualitas, menjelaskan tentang film besutannya, “Pandanganku terhadap film ini menyoroti masalah hilangnya kemanusiaan di dunia dewasa ini, dan upaya kelompok konstruktif untuk menampilkan sebagian dari penderitaan gadis Suriah yang menjadi korban serangan kelompok takfiri, dan penyulut perang yang hanya memikirkan kekuasaan, dan bagi mereka masalah kemanusiaan tidak penting sama sekali”.

“Jelas sekali, ISIS melancarkan serangan teroris dengan dukungan sejumlah [negara] Barat. Sebab esensi pembentukannya pun dibidani oleh Barat, sementara rakyat tak berdosa Suriah menjadi korban permainan perebutan kekuasaan. Masalah ini memicu reaksi seniman dan rakyat berbagai negara supaya bangkit untuk mengungkap kesadisan mereka melalui berbagai cara. Dokumenter salah satu media terbaik untuk menampilkan realitas mengenai masalah tersebut,” tegas Nourani Pour.

Film A157 yang ditayangkan di berbagai festival sebelumnya, mendeskripsikan kehidupan malang tiga orang gadis Suriah setelah ayah dan ibunya tewas dalam perang melawan teroris ISIS. Mereka terpaksa hidup di kamp pengungsi yang berada di perbatasan Turki. Narasi utama film besutan Nourani Pour ini menyoroti kehidupan tiga gadis muda dan remaja yang harus bertahan hidup setelah ditinggal kedua orang tuanya yang tewas dalam perang melawan kelompok teroris ISIS.

Tapi cerita getir mereka tidak berhenti sama di sini. Ketiga perempuan itu harus menanggung penderitaan hidup yang sangat berat setelah kepergian ayahnya. Di usia belianya, mereka harus menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Kepingan film menceritakan pergolakan mental ketika mereka mengandung dan harus berjuang untuk bertahan hidup.

Sutradara film dengan sangat apik menampilkan sebagian realitas getir di Suriah. Penderitaan rakyat Suriah akibat perang dan serangan teroris diceritakan dengan sangat baik melalui narasi utama tiga gadis Suriah. Meski menorehkan kesedihan, tapi film ini juga meniupkan optimisme seperti harapan yang menyembul dari tiga gadis Suriah itu.

Tim Juri festival film Fajr yang terdiri dari tujuh pakar sinema Iran menyerahkan piala Soda-ye Simourgh kepada para pemenang. Di kategori ini, film “Abad va Yek Rouz” (Seabad dan Sehari) besutan sutradara sekaligus penulis skenario film, Saeed Rostaie yang diproduksi tahun 1394 Hs atau 2015, berhasil meraih 9 penghargaan Simourg Blourin.

Film ini menerima sebanyak 6 Simourg untuk kategori utama, 2 Simorgh untuk kategori Negah Nou, dan Simourg untuk film terbaik menurut kriteria penonton. Film garapan sutradara muda Iran ini meraih penghargaan terbanyak pada festival film Fajr ke-34 kali ini.

Cerita film mengenai persiapan acara pesta pernikahan salah seorang gadis di sebuah tempat di Iran. Sebuah peristiwa menyebabkan hubungan persaudaraan antara anak perempuan dan anak laki-laki renggang, yang berujung sebuah petualangan yang sulit diprediksi alurnya. Film ini menampilkan para pemain dengan karakternya yang kuat sebagai kelebihan lain yang ditampilkan.

Film Abad va Yek Rouz bercerita tentang drama keluarga miskin yang menghadapi berbagai masalah dalam kehidupannya, tapi mereka tidak kehilangan harapan. Mereka bergantung kepada suatu hari baik yang menjadi harapannya. Sekilas dari sisi cerita, film seperti ini tampaknya biasa saja, tapi yang khas dari film Abad va Yek Rouz adalah pandangan dunia film dan perspektif baru yang ditampilkan kepada penonton.

Dalam kehidupan ini, manusia senantiasa menghadapi peristiwa buruk maupun baik tapi bagaimana bisa mengatasinya dengan tidak besar kepala. Kekuatan film bertumpu pada detail yang tertata dengan apik sekaligus didukung oleh karakter para pemainnya. Film ini termasuk kategori film realis dan tidak monoton.

Film “Istadeh dar Ghobar” (Bertahan dalam Debu) besutan sutradara Mohammad Hossein Mahdavian menyabet tiga penghargaan Simourgh Blourin. Film ini bercerita tentang Haji Ahmad Motavasolian, salah seorang komandan perang yang dipaksakan rezim saddam Irak terhadap Iran di tahun 1980-1988. Cerita dimulai ketika ia kecil hingga hilang dalam perang tersebut.

Film “Bertahan dalam Debu” secara sangat profesional menggunakan dukomentasi era perang pertahanan suci, termasuk menggunakan suara para veteran perang yang masih hidup. Selain film ini, Mohammad Hossein Mahdavian juga membuat film dokumenter tentang perang pertahanan suci lain.

Ahmad Motavasolian Yazdi dilahirkan di Tehran pada tahun 1332 Hs atau 1954 Masehi, dan menjadi komandan brigade 27 Nabi Muhammad Saw dalam perang pertahanan suci. Beliau termasuk salah seorang diplomat Iran yang diculik Israel di Lebanon pada tahun 1983 M. Hingga kini nasibnya tidak diketahui. Sebagian sumber menyebutnya, beliau telah gugur di tangan rezim Zionis. Tapi sebagian sumber lain mengungkapkan bahwa beliau masih hidup, dan kini mendekam dalam penjara Israel.

Jika ditelisik lebih dalam, kebanyakan film yang memenangi penghargaan Simourg mengenai isu sosial dan keluarga. Hal ini menunjukkan maslah tersebut menjadi perhatian para pelaku sinema Iran. Sebagian film menayangkan kepingan perjalanan getir kehidupan sosial, dan sebagian lainnya mengenai masalah keluarga. Selain itu, komedi, polisi dan isu lainnya juga menjadi sorotan cinema Iran.

Di tengah berbagai ragam tema yang ditawarkan, perang pertahanan suci masih menjadi perhatian di sinema Iran. Salah satunya adalah film Bodyguard besutan Ebrahim Hatamikia, dan film “Nafas” garapan sutradara Narges Abyar, yang menceritakan tentang perang pertahanan suci.

Film Nafas menjelaskan kehidupan empat anak bersama kakek dan neneknya. Pada acara penutupan festival film Fajr ke-34, direktur eksekutif Khane Sinema Iran menyerahkan penghargaan film terbaik menurut kategori penonton. Lima film terbaik tersebut antara lain: Ezdeha Vared Mesavad (Naga akan Masuk), Istadeh dar Ghobar (bertahan dalam Debu), barkod (barcode), Bodyguard, dan Abad va rek Rouz (Seabad dan Sehari).

Tags