Menelisik Perang Pertahanan Suci (2)
Perang Pertahanan Suci hingga kini menjadi bagian penting dalam lembaran sejarah dan masa depan Iran. Sebab, peristiwa tersebut memainkan peran besar dalam kehidupan masyarakat Iran. Ketika rezim Baath Irak menyerang Iran hampir tidak ada analis politik yang memprediksi kemenangan Iran dalam perang tersebut. Bahkan, Saddam sesumbar dalam waktu sepekan bisa menguasai Tehran.
Di belakang rezim Saddam Irak, AS yang dibantu negara-negara Barat dan Arab mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghancurkan Iran. Tidak hanya itu, AS juga menggunakan pengaruhnya di PBB sebagai anggota tetap dewan keamanan demi mendukung rezim Saddam dalam perang dengan Iran. Dampaknya, PBB cenderung berpihak terhadap Irak, terutama di awal-awal perang meletus.
Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 479 sangat jelas menunjukkan tidak netralnya organisasi internasional ini yang memihak rezim Saddam selaku agresor. Tanpa menyinggung siapa yang memulai agresi, resolusi tersebut menyerukan supaya kedua pihak yang berkonflik menghindari pengerahan kekuatan, dan mencari solusi melalui cara-cara damai berdasarkan prinsip keadilan dan hukum internasional.
Setelah mengeluarkan resolusi no.479 yang hanya formalitas semata, Dewan Keamanan PBB selama 21 bulan hanya bungkam menyikapi berlanjutnya agresi militer rezim Saddam yang didukung negara-negara Barat dan Arab. Tapi, ketika pelabuhan strategis Khoramshahr berhasil direbut oleh para pejuang Iran dari tangan rezim Baath Irak, pada Juli 1982, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi no.514 yang menyerukan gencatan senjata, dan meminta kedua pihak untuk menarik pasukannya dari perbatasan internasional.
Resolusi itu tidak berpengaruh dan perang terus berlanjut hingga enam tahun lamanya. Kemudian, pada 20 Juli 1987, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi dengan suara mayoritas mengenai implementasi gencatan senjata antara Iran dan Irak. Untuk pertama kalinya, PBB dalam resolusi tersebut mengkritik berlanjutnya perang. Selain itu, Dewan Keamanan PBB juga menyesalkan berlanjutnya pemboman terhadap warga sipil dan serangan terhadap kapal maupun pesawat sipil.
Setahun kemudian, perang masih terus berlanjut dan PBB menyerukan dibentuknya sebuah delegasi independen untuk menyelidiki pihak mana yang memulai agresi militer. Hingga perang berakhir selama delapan tahun, sikap PBB tidak pernah jelas menunjukkan posisi rezim Saddam sebagai agresor.
Tapi sepuluh tahun kemudian, Javier Pérez de Cuéllar yang menjabat sebagai sekjen PBB ketika itu, akhirnya menyebut rezim Saddam sebagai pihak yang memulai serangan terhadap Iran. Tapi ironisnya, tanggung jawab atas agresi termasuk, termasuk ganti rugi tidak pernah bisa diraih Iran. Beda kasusnya dengan Kuwait yang mendapatkan hak ganti rugi dari Irak, meskipun agresi militer rezim Saddam hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dengan korban serta kerugian yang jauh lebih kecil dari Iran.
Semua itu tidak bisa dilepaskan dari peran AS sebagai negara utama di balik kepentingan agresi militer rezim Saddam terhadap Iran. Setelah tidak diperlukan lagi, AS justru menyerang Irak di tahun 2003, dan tumbanglah rezim Saddam bersama kematian diktator itu.
Sejak awal perang delapan tahun yang dipaksakan rezim Saddam terhadap Iran meletus, posisi AS sebagai arsitek perang sangat jelas. Tujuannya adalah menumbangkan Republik Islam Iran yang baru berdiri. Setelah perang panjang tersebut berakhir, permusuhan Gedung Putih terhadap Tehran masih terus berlanjut hingga kini.
Berbagai cara ditempuh AS dari sanksi hingga ancaman serangan militer. Tapi semua itu membentur dinding. Iran terus tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Di kawasan sendiri, Iran menghadapi berbagai ancaman yang tidak kecil. Salah satunya adalah menjamurnya ekstrimisme dan terorisme, terutama selama lima tahun terakhir pasca meletusnya perang di Suriah yang semakin berkobar dengan masuknya milisi teroris dari berbagai bangsa dunia ke negara Arab itu.
Provokasi Iranfobia yang dilancarkan AS terhadap Dewan Kerja Sama Teluk Persia (P-GCC) selama bertahun-tahun merupakan cara mereka menjustifikasi kehadiran pasukannya demi menekan Iran di kawasan, sekaligus meraih keuntungan besar dari konflik regional, terutama penjualan senjata dan alutsista, serta pembelian minyak murah dari negara-negara Arab terutama Saudi.
Selama lebih dari satu dekade, sejumlah anggota P-GCC tidak jernih memahami masalah tentang Iran dan kawasan, sehingga dengan mudah terprovokasi agitasi Barat dan mengambil tindakan keliru. Kesalahan strategis ini memberikan kesempatan bagi militer asing untuk membenamkan pengaruhnya di kawasan.
Berdasarkan laporan Kongres AS, negara ini menjual senjata ke Arab Saudi senilai kisaran 90 miliar dolar antara tahun 2010 hingga 2014. Jumlah tersebut terus membengkak seiring berlanjutnya konflik di Suriah dan dimulainya agresi militer koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi di Yaman sejak tahun lalu.
Fakta ini menunjukkan bahwa poros strategi AS di kawasan Timur Tengah adalah melestarikan friksi dan rekayasa konflik dengan target melemahkan Republik Islam Iran. Setelah gagal mendukung Saddam menyerang Iran, AS melancarkan provokasi sektarian di kawasan. Tidak hanya itu, AS dan negara-negara Barat juga mendukung kelompok teroris seperti MKO demi melemahkan Iran. Selain itu, AS menerapkan sanksi terhadap Iran. Setelah masalah nuklir, Washington melemparkan isu baru berupa pemberantasan terorisme dengan membentuk koalisi internasional anti-ISIS untuk mewujudkan tujuannya di Suriah, Irak dan Yaman.
Tabloid Rusia, Segodnya menyebutkan bahwa AS memanfaatkan kelompok-kelompok teroris di Timur Tengah untuk mengacaukan sebagian negara kawasan ini. Namun skenario tersebut dibuyarkan oleh Republik Islam Iran. Iran, memandang kepentingannya bergantung pada stabilitas regional Timur Tengah, sehingga pihaknya gigih melawan segala upaya yang bertujuan mengacaukan stabilitas regional.
Menghadapi besar dan masifnya tekanan dan serangan musuh terhadap- Republik Islam, Iran terus berbenah diri, termasuk mencapai swasembada di bidang industri pertahanan. Terkait hal ini, Panglima Divisi Aerospace Garda Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC) Brigadir Jenderal Amir Ali Hajizadeh mengatakan, Iran mampu untuk memproduksi peralatan militer dan alutsista, dan keahlian ini sudah bisa diekspor ke negara lain.
Selama beberapa tahun terakhir, Iran telah membuat terobosan besar di sektor pertahanan dan mencapai swasembada dalam bidang produksi sistem dan peralatan militer. Iran berhasil memproduksi beberapa rudal dalam negeri yang dikembangkan dalam jenis yang berbeda, seperti rudal Khalij-e-Fars (Teluk Persia), Mehrab (Altar), Ra’d (Guntur), Ghader (Perkasa), Nour (Cahaya) dan Zafar (Kemenangan).
Pada 23 September 2014, Iran meluncurkan UAV pertama yang dipersenjatai dengan rudal pertahanan udara, yang cocok untuk pertempuran udara. UAV ini mampu menghancurkan berbagai pesawat terbang termasuk jet tempur, drone dan helikopter. Iran juga meluncurkan dua sistem radar dengan nama Arash-2 dan Kayhan, yang mampu mendeteksi pesawat siluman dalam jarak jauh. Selain itu, Republik Islam secara kontinyu menggelar latihan militer untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya ,sekaligus menguji taktik militer dan peralatan modern.
Bulan lalu, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, atau Rahbar meninjau pameran teknologi mutakhir produksi dalam negeri berbasis ilmu pengetahuan karya Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran. Ayatullah Sayid Ali Khamenei, hari Rabu (31/8) mengatakan, peningkatan kemampuan pertahanan dan serangan adalah hak mutlak dan tak terbantahkan Republik Islam Iran. Kemajuan yang dicapai di bidang industri pertahanan adalah buah dari gerakan besar ilmu pengetahuan negara ini selama beberapa tahun terakhir.
Meskipun terus meningkatkan kemampuan industri pertahanannya, Iran menegaskan bahwa kekuatan militernya bukanlah ancaman bagi negara-negara lain, terutama negara kawasan, sebab didasarkan pada doktrin pencegahan dan pertahanan defensif.