Rahbar Bersama Korban Gempa Kermanshah
https://parstoday.ir/id/radio/iran-i47237-rahbar_bersama_korban_gempa_kermanshah
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei hari Senin dini hari (20/11) mengunjungi lokasi gempa bumi di Provinsi Kermanshah, wilayah barat Iran, dan bertemu dengan masyarakat di tenda-tenda penampungan sementara.
(last modified 2025-11-26T09:49:57+00:00 )
Nov 25, 2017 10:35 Asia/Jakarta

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei hari Senin dini hari (20/11) mengunjungi lokasi gempa bumi di Provinsi Kermanshah, wilayah barat Iran, dan bertemu dengan masyarakat di tenda-tenda penampungan sementara.

Kehadiran seorang pemimpin di tengah kondisi sulit sebagaimana yang dirasakan korban gempa Kermanshah membuat mereka lebih tegar menghadapi musibah ini. Ayatullah Khamenei menyampai belasungkawa yang terdalam disertai aksi nyata terjun di lapangan.

Kunjungan Rahbar ini memiliki banyak dimensi, termasuk salah satunya dari aspek media. Selama bertahun-tahun pandangan mata dunia tertuju ke arah Iran. Apapun yang terjadi di negara ini, dari produksi stem sel, kue kuning untuk industri nuklir hingga peluncuran roket peluncur satelit, bahkan penyelanggaraan pemilu, tak pernah luput dari incaran media global, tentu saja dengan framing yang sesuai kepentingannya.

Rahbar mengunjungi korban gempa Kermanshah

Bahkan, ketika terjadi bencana alam di Iran, misalnya peristiwa terbaru gempa bumi di Kermanshah yang terletak di wilayah barat Iran, media global juga menurunkan berbagai laporannya disertai bumbu kepentingan yang terselip di dalamnya, termasuk propaganda menyerang pola penanggulangannya demi melemahkan pengaruh Republik Islam Iran di tingkat dunia.

Saat ini, bencana gempa Kermanshah menjadi salah satu peristiwa yang menyita perhatian besar media Barat. Ketika sebuah bencana alam terjadi, terkadang muncul adanya kurang kooridnasi dalam penanganan bencana yang terjadi di sebuah negara. Sampai batasan tertentu barangkali masalah tersebut masih wajar, karena terjadi juga di berbagai negara. Tapi ketika menimpa Iran, warna politis pemberitaan penanganan gempa cenderung tendensius.

Barangkali sedikit perbandingan penanganan bencana yang dilakukan Iran dan negara lain bisa memberikan pemahaman yang lebih jelas. Misalnya, masalah penanganan terhadap ribuan orang korban banjir di kota New Orleans.

Pada 29 Agustus 2005 terjadi badai Katrina menghancurkan sebagian wilayah AS, dari Louisiana hingga Florida Panhandle. Negara bagian Louisiana dan Mississippi menjadi lokasi terparah. Bahkan, delapan puluh persen Kota New Orleans tertutup banjir setelah tanggul-tanggul pelindung banjir roboh.

Sebagian penduduk New Orleans terpaksa mengungsi ke atap rumah selama berhari-hari. Parahnya, ribuan warga yang mencari perlindungan di sebuah arena olahraga tertutup di kota itu, Superdome, akhirnya justru terdampar berhari-hari dengan sedikit makanan dan air minum. Jenazah korban terabaikan.

Dilaporkan, ribuan bangunan rusak parah dan korban tewas mencapai 1.800 jiwa. Sejuta penduduk harus mengungsi. Truk-truk pengangkut bahan bantuan pemerintah federal yang bergerak menuju wilayah bencana dinilai sangat jauh dari memadai. Pemerintah saling tuding.

Walikota New Orleans saat itu Ray Nagin menyalahkan pemerintah federal atas keterlambatan bantuan. Sedangkan, Gubernur Louisiana, Kathleen Blanco mengecam Badan Pengelolaan Keadaan Darurat Federal, FEMA.

Banjir di Louisiana, Amerika

Wakil Partai Demokrat, Bennie Thompson dari Mississippi mengatakan para korban badai menderita karena pemerintah tidak siap. Menurutnya, Bush tidak belajar dari pengalaman 11 September, dan Amerika harus siap setiap saat menghadapi bencana.

Palang Merah setempat telah mengerahkan segenap upaya untuk membantu para korban, termasuk penyediaan bantuan makanan, air bersih dan akses komunikasi serta perawatan medis. Tapi, langkah itu belum mampu menangani seluruh kebutuhan pengungsi.

Ribuan warga makin putus asa menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Akibatnya penjarahan meraja lela. Kepolisian New Orleans menyatakan sudah tidak sanggup lagi mengendalikan keamanan dan ketertiban.

Sebuah ledakan besar terjadi di gudang bahan kimia di pinggiran Kota New Orleans. Kilang-kilang minyak di wilayah tersebut banyak yang ditutup akibat bencana, mengakibatkan melambungnya harga bahan bakar minyak.

Keadaan pada saat itu benar-benar kacau. Padahal, sekitar 35 jam sebelum badai Katrina menghantam, pengamat badai AS sudah membahasnya dengan gubernur Mississippi, Louisiana dan juga Presiden George W Bush. Namun tindakan baru diambil setelah ribuan nyawa melayang.

Ironisnya, enam hari kemudian, Presiden Bush memecat kepala FEMA Michael Brown, padahal dianggap paling bertanggung jawab dan mengakui bahwa pemerintah federal tidak kompeten dalam menangani bantuan.

Sebanyak 300 tentara Angkatan Udara AS pun dipulangkan dari Irak dan Afganistan untuk membantu keluarga mereka mengatasi keadaan darurat. Menurut Risk Management Solutions (RMS) of Newark, California, total kerugian akibat hantaman Badai Katrina ditaksir mencapai US$ 125 miliar.

Situs The Economist menulis, Katrina telah menguak kelemahan pribadi maupun struktural Pemerintah AS. Juga menyingkap wajah tersembunyi AS dengan menurunkan judul pahitnya diskriminasi rasial, pengabaian, perasaan terbuang, kelemahan infrastruktur yang kritis. Tapi, yang paling mencengangkan sekaligus mempermalukan adalah kegagalan pemerintah untuk memberi bantuan bagi rakyatnya pada saat mereka sangat membutuhkan perlindungan.

Oliver Thomas, anggota dewan Kota New Orleans berkata, "Sebab terbesar keputusasaan kami adalah mereka tidak siap untuk menyelamatkan kami. Pertanyaannya, mengapa rakyat dibiarkan tenggelam atau tinggal di atap-atas rumah dalam kondisi kelaparan dan kehausan? Di luar dari kesiapan menghadapi badai, mereka harus siap untuk menyelamatkan rakyat ?"

Kondisi serupa terulang kembali di tenggara Puerto Rico yang dilanda badai Maria". Ironisnya, Presiden AS, Donald Trump tidak bergegas datang ke lokasi bencana. Ketika makanan dan air bersih serta obat-obatan juga mulai berkurang dan menjadi sebuah ancaman mematikan bagi para korban bencana Badai Maria, Presiden AS Donald Trump justru sedang bermain golf,  bukannya mengunjungi dan memberikan bantuan.

New York Times mengkritik keras sikap Trump dengan menulis, "Di saat badai terjadi, listrik di

Badai Maria di Puerto Rico, Amerika

padam selama sebulan. Ketika listrik mati, ketersediaan air minum sulit didapat. Pertanyaannya, berapa orang di rumah sakit yang tewas karena tidak ada aliran listrik? sejumlah orang meninggal karena penyakit akibat air yang tidak layak konsumsi? Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan ini,".

Tidak hanya itu, Trump juga melontarkan statemen yang menusuk korban badai  dengan mengatakan bencana di Puerto Rico telah 'memakan' anggaran kami melebihi batas.

Berbeda dengan fakta tersebut, di Iran seluruh jajaran pejabat tinggi langsung terjun ke lapangan. Bahkan, presiden, ketua parlemen dan pemimpin besar Revolusi segera hadir di lokasi untuk meninjau langsung bencana yang menimpa rakyat Kermanshah.

Meskipun peristiwa ini terjadi di luar prediksi, tapi dalam waktu cepat upaya penyelamatan dilakukan oleh seluruh lapisan dari militer hingga basij. Rakyat dan pemerintah Iran bahu-membahu menunjukkan tanggung jawabnya untuk membantu meringankan beban korban gempa di wilayah barat negara ini.

Pemimpin Besar Revolusi Islam sebagai pejabat tertinggi Iran tidak hanya mengirimkan tim dan wakilnya, tapi beliau langsung terjun di tengah masyarakat. Ayatullah Khamenei berkata:

"Para pejabat di berbagai instansi telah menunjukkan kecemerlangannya dalam kerja kerasnya. Demikian juga di saat-saat awal musibah terjadi, tentara bekerja di kota, dan Pasdaran terjun di desa. Mereka semua membantu mengeluarkan orang-orang yang tertimpa reruntuhan. Meski demikian, saya masih belum puas. Saya berkeyakinan bahwa para pejabat negara di berbagai instansi harus meningkatkan kerja kerasnya."

Rahbar di tengah-tengah korban gempa Kermanshah

Seluruh lapisan masyarakat gotong-royong untuk membantu meringankan penderitaan yang dialami korban bencana gempa Kermanshah. Barangkali fenomena ini akan sulit ditemukan di AS, negara yang mengklaim sebagai pengibar HAM dan demokrasi, tapi tidak memperdulikan kondisi rakyatnya sendiri, dan sebaliknya justru menyibukkan diri dengan menyerang pihak lain.