Gerakan Perjuangan Mahasiswa Iran (2-habis)
(last modified Thu, 06 Dec 2018 09:49:31 GMT )
Des 06, 2018 16:49 Asia/Jakarta
  • Pawai perayaan kemenangan Revolusi Islam Iran di Tehran. (dok)
    Pawai perayaan kemenangan Revolusi Islam Iran di Tehran. (dok)

Tepat 60 tahun setelah kudeta 28 Mordad, Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) pada 19 Agustus 2013 mengakui secara terbuka bahwa mereka berada di balik kudeta penggulingan Perdana Menteri Iran yang terpilih secara demokratis, Mohammad Mossadegh.

Salah satu kutipan dokumen CIA berbunyi, "Kudeta militer dilakukan di bawah arahan CIA sebagai tindakan dari pelaksanaan kebijakan luar negeri Amerika Serikat." CIA menggunakan sandi TPAJAX (Operation Ajax) untuk plot penggulingan Mossadegh pada 19 Agustus 1953. Dokumen itu menyinggung kehadiran Kermit Roosevelt Jr, salah satu agen senior CIA di Timur Tengah di Tehran menjelang pelaksanaan kudeta.

Dokumen CIA menjelaskan secara detail bagaimana AS dengan bantuan Inggris melakukan kudeta terhadap Mosaddeq. Dalam hal ini, majalah Foreign Policy menulis, "Inggris dan terutama menlunya, Sir Anthony Eden menganggap Mosaddeq sebagai ancaman serius bagi kepentingan strategis dan ekonominya setelah pemimpin Iran menasionalisasikan industri minyak. Namun, Inggris membutuhkan dukungan AS. Pemerintahan Eisenhower di Washington dengan mudah bisa dibujuk."

Dinas intelijen AS dan Inggris untuk mencapai tujuannya dalam kudeta, menjalankan sebuah proyek yang rumit secara bersamaan. Ia terdiri dari beberapa langkah; menggunakan propaganda untuk melemahkan Mossadegh secara politik, mendorong Shah untuk bekerja sama, menyuap anggota parlemen, mengorganisir pasukan keamanan, dan memulai demonstrasi publik.

CIA pada salah satu bagian dari dokumen kudeta menulis, "Tujuan operasi AJAK adalah menggulingkan pemerintahan Mohammad Mossadegh, memulihkan kekuasaan Shah, dan mengganti pemerintahan Mossadegh dengan sebuah pemerintah yang akan mengatur Iran dengan kebijakan konstruktif."

Amerika dan Inggris juga ingin menghadirkan sebuah pemerintah yang membuat Barat bisa mencapai kontrak minyak dengan Iran.

Pasca kemenangan Revolusi Islam, para perwira CIA berusaha mencegah penyebaran revolusi ke seluruh pelosok Iran dengan menyusup ke berbagai elemen masyarakat dan tokoh. Kedutaan AS di Tehran (sarang spionase) membentuk jaringan mata-mata untuk menciptakan krisis, memperlemah kekuatan revolusioner, merusak kedudukan Imam Khomeini ra di mata masyarakat, dan menciptakan perpecahan di antara pemimpin revolusi dan pemuda.

Mengenai akar permusuhan AS dengan Iran, analis politik dan intelektual Amerika, Noam Chomsky menuturkan, “Amerika Serikat dan Israel tidak bisa menerima keberadaan sebuah kekuatan independen di kawasan, yang menganggap dirinya sebagai tuan di kawasan itu.”

Surat kabar The Washington Post dalam sebuah artikel pada November 2016, mengulas peran AS dalam kudeta Agustus 1953 dan mengutip pandangan para pejabat Washington di era sekarang yang berbicara tentang urgensitas perubahan sistem di Iran. “Para pejabat AS dengan melupakan sejarah masa lalu sedang melakukan sebuah permainan yang berbahaya, yang bisa berujung pada kekalahan diri mereka,” tulisnya.

Hari ini AS juga sedang mengejar tujuan hegemonik dengan beragam cara. Namun, sistem Republik Islam Iran dibangun atas prinsip anti-hegemonik dan akan menolak tunduk atau menyerah di hadapan kekuatan arogan.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pertemuan dengan para pelajar dan mahasiswa Iran pada 3 November 2018 mengatakan, “AS dalam arti yang sebenarnya adalah musuh jahat dan utama, dan fakta ini bukan karena sikap fanatik dan prasangka, tetapi bersumber dari pengalaman, pemahaman yang benar akan masalah, dan pengamatan realitas di lapangan.”

Pemerintahan Trump telah berbuat banyak kesalahan dan mungkin bisa dikatakan bahwa dia lebih banyak melakukan kesalahan dibanding pemerintah-pemerintah sebelumnya. Trump sebenarnya telah menciptakan tantangan yang sulit bagi AS.

Trump menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran dan mempertontonkan inkonsistensi negara itu di hadapan masyarakat dunia. Dia juga menciptakan konflik dalam hubungan AS dengan Rusia, Cina, dan bahkan Uni Eropa. Trump secara terbuka ingin menghancurkan kesepakatan nuklir Iran yang berkontribusi pada perdamaian dan keamanan regional dan internasional.

Perilaku AS tentu saja tidak bisa diterima oleh masyarakat internasional dan negara itu tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada pihak lain.

Pemerintah AS mengerahkan seluruh upayanya di ranah teoritis dan praktis untuk memicu konfrontasi dengan Iran. Lewat berbagai skenario dan konspirasi, mereka ingin menancapkan kembali hegemoninya di Iran dan membuat negara ini tunduk di hadapan Syaitan Besar. Namun, AS tidak akan pernah mencapai ambisinya dan skenario jahatnya tidak akan pernah terealisasi.

Ayatullah Khamenei dalam pertemuan dengan ratusan pemuda berprestasi Iran pada 18 Oktober 2017 di Tehran mengatakan, “Permusuhan rezim AS terhadap bangsa Iran dimulai sejak awal kemenangan Revolusi Islam. Pada masa itu, masalah energi atau rudal dan pengaruh regional Iran belum mengemuka, tetapi para pejabat AS sudah memahami bahwa kemenangan Revolusi Islam akan membuat Iran keluar dari negara yang patuh, tunduk, dan menguntungkan bagi Amerika.”

Washington masih mengejar skenario pendongkelan rezim dalam berurusan dengan bangsa-bangsa merdeka. Kebijakan perubahan sistem di Iran senantiasa menjadi agenda semua presiden AS, terutama para pembuat keputusan di bidang keamanan. Presiden Trump dan tim keamanannya juga mengejar PR yang tak pernah rampung itu.

Menurut Ayatullah Khamenei, kalkulasi seperti itu muncul dari sebuah kondisi idiot yang berpikir bisa menjadikan Iran sebagai alasan untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Demi mencapai ambisinya, Trump memperkuat kerjasama dengan rezim-rezim diktator, penjahat, dan monarki di kawasan. Segitiga Amerika-Israel-Arab Saudi adalah bagian dari kerjasama ini.

Presiden Hassan Rouhani dalam pidatonya pada pembukaan tahun ajaran baru 2018 mengatakan, “Selama 40 tahun terakhir, belum pernah ada permusuhan yang lebih besar dari yang diperlihatkan oleh pemerintahan sekarang AS terhadap Iran, rakyat Iran, dan sistem Republik Islam. Permusuhan ada sejak dulu, hanya satu orang dan sisanya tidak kental dalam permusuhan, namun sekarang orang-orang yang paling buruk berkumpul di Gedung Putih.”

Menurutnya, mereka memulai pekerjaannya dengan sebuah perang psikologis, sementara perang ekonomi menjadi tujuan jangka menengahnya. Perang untuk melemahkan legitimasi sistem adalah tujuan akhir mereka. Perubahan sistem ini akan dikejar dengan melemahkan legitimasi. Jika legitimasi tidak lemah, maka sistem tidak akan berubah.

Pendudukan Kedutaan AS (sarang spionase) di Tehran oleh mahasiswa.

Sejak kemenangan Revolusi Islam, AS memanfaatkan kekuatan keras, perang lunak, dan tekanan ekonomi untuk menghantam bangsa Iran.

Media Amerika, United Press International (UPI) dalam sebuah laporan pasca penangkapan Saddam menulis, “Sekarang fakta ini juga terkuak bahwa program kimia dan mikroba Saddam pada dekade 80-an tidak mungkin ada tanpa dukungan AS.”

Salah seorang pegawai Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS waktu itu menuturkan, “Tentu kita berperan dalam perilaku Saddam, karena kita telah membuat dia percaya bahwa dirinya sangat penting ketika tidak ada tuntutan hukum atas banyak pembunuhan yang dilakukan di negaranya.”

Tetapi manuver-manuver ini tidak mengurangi nilai-nilai sistem Republik Islam. Perlawanan anti-arogansi bangsa Iran pasca kemenangan revolusi menunjukkan bahwa semua perimbangan dan kalkulasi musuh telah buyar. Kesalahan kalkulasi ini membuat AS harus menempuh jalan panjang dalam permusuhannya dengan Iran, namun pada akhirnya manuver musuh hanya akan menambah kebesaran bangsa Iran.

Dari perspektif para analis, Republik Islam Iran sekarang lebih stabil dari sebelumnya, dan jika musuh selama ini mencoba untuk memutarbalikkan fakta tentang sistem Republik Islam, maka kini harus diterima bahwa mereka tidak mampu menyembunyikan kebenaran untuk selamanya.

Oleh karena itu, 16 Azar bukan hanya pengingat akan sebuah peristiwa yang terjadi sebelum kemenangan revolusi, tetapi sebuah tanda bahwa bangsa Iran akan terus mengobarkan perlawanan terhadap arogansi dunia tanpa mengenal kata lelah.

Arnold Oliver, seorang profesor di Fakultas Ilmu Politik di Universitas Heidelberg Ohio mengatakan, "Sebelum permusuhan AS dengan Iran memasuki tahap yang tidak bisa dipulihkan, kita (AS) benar-benar perlu untuk mengadakan sebuah kajian nasional yang rasional terkait perilaku Washington dengan Tehran. Untuk memulai kajian ini, kita harus mempelajari peristiwa-peristiwa penting pasca kudeta 1953 dan dampaknya."

"Evaluasi yang adil terhadap peristiwa tersebut akan menguak alasan mengapa rakyat Iran membenci para pejabat Amerika," ujarnya. (RM)