Perjuangan Intelektual Imam Askari as
(last modified Sat, 15 Dec 2018 03:18:39 GMT )
Des 15, 2018 10:18 Asia/Jakarta
  • Perjuangan Intelektual Imam Askari as

Imam Hasan Askari as – imam ke-11 pengikut Syiah dan keturunan Rasulullah Saw – lahir pada 8 Rabiul Awal tahun 232 Hijriyah di Madinah. Dia adalah anak Imam Ali Hadi as dan ayah dari Imam Mahdi as.

Setelah bayi itu lahir, Imam Hadi mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya dan berkata, "Namailah bayi suci ini dengan Hasan." Sejak Imam Askari dipaksa oleh khalifah Abbasiyah untuk tinggal di distrik militer di Samarra, ia mulai dikenal dengan julukan "Askari." Di antara gelarnya yang paling populer adalah Naqi dan Zaki dan ia dijuluki dengan Abu Muhammad.

Sejarah kehidupan Imam Askari bisa dibagi dalam tiga periode: pertama periode 13 tahun kehidupannya di Madinah, kedua masa 23 tahun kehidupannya di Samarra, dan ketiga era kepemimpinan umat selama 6 tahun.

Selama 6 tahun itu, Imam Askari menghadapi situasi yang sulit dan penuh rintangan. Karena, para penguasa Abbasiyah menerapkan pembatasan yang ketat dan mengawasi gerak-gerik imam.

Sejarah mencatat bahwa situasi sosial dan politik selama dekade pertama abad kedua Hijriyah tidak memihak pada Ahlul Bait. Oleh sebab itu, beberapa imam harus meninggalkan tanah kelahirannya, Madinah atas paksaan penguasa Abbasiyah dan hidup di tempat terasing. Begitu juga situasi yang dihadapi oleh Imam Askari as.

Dia bersama orang tuanya, Imam Ali Hadi dipaksa untuk menetap di sebuah distrik militer di kota Samarra – pusat pemerintahan Abbasiyah – dan selalu berada di bawah pengawasan penguasa.

Meski demikian, Imam Askari tetap berjuang untuk menjelaskan hakikat agama ketika bid'ah mulai menerpa agama Islam dan kebodohan menguasai pemikiran masyarakat. Ia – sama seperti para imam Ahlul Bait lainnya – memiliki ilmu yang sangat luas dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Argumentasi Imam Askari dalam kajian ilmiah sangat kuat dan jelas sehingga filsuf Irak, Ya'qub ibn Ishak al-Kindi memahami hakikat setelah berdebat dengannya dan al-Kindi membakar sebuah buku yang ditulisnya untuk membuktikan kontradiksi ayat-ayat al-Quran.

Dalam jihad ilmiahnya, imam selalu mengobati rasa dahaga para pencari hakikat. Banyak pemikir yang mendapat manfaat dari pengetahuannya yang dikaruniai Allah Swt dan mereka kemudian tumbuh menjadi ilmuwan terkemuka di bidang yurisprudensi, fikih, tafsir, filsafat, teologi, dan bidang-bidang lain.

Syeikh Thusi mencatat bahwa murid-murid Imam Askari melebihi dari 100 orang, dimana antaranya adalah para tokoh besar seperti, Ahmad Asy'ari Qummi, Usman ibn Sa'id Amri, Ali ibn Ja'far, dan Muhammad ibn Hasan Saffar.

Imam Askari as sering berdiskusi dengan orang-orang agnostik pada masa itu tentang keberadaan Tuhan dan dalil-dalil perlunya para Nabi dan imam, sehingga banyak ateis mengubah keyakinan mereka dan menerima Islam.

Makam Imam Ali Hadi dan Imam Hasan Askari as di Samarra, Irak.

Imam Askari juga merupakan salah satu guru besar tafsir al-Quran. Ayat-ayat yang pernah ditafsirkan olehnya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku dengan judul "Tafsir Imam al-Askari."

Muhammad bin Salih al-Armani pernah bertanya kepada imam tentang firman Allah bahwa "Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang)…" dan sang imam berkata, "Perintah itu adalah milik-Nya sebelum Dia mengeluarkannya, dan perintah adalah milik-Nya setelah Dia memerintah sesuai kehendak-Nya."

Imam Askari menekankan pentingnya pemikiran dan penalaran dalam persoalan ilmiah dan berkata, "Ibadah tidak terletak pada banyak melakukan shalat dan puasa, tetapi ibadah adalah memperbanyak berpikir tentang kekuasaan Allah."

Jadi, landasan ibadah adalah berpikir dan perenungan, serta mengetahui tujuan penciptaan. Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ibnu Mas’ud! Setiap kali engkau ingin melakukan satu pekerjaan harus berdasarkan ilmu. Jangan lakukan pekerjaan tanpa berpikir dan ilmu. Karena Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali."

Para sejarawan berkata, "Imam Hasan Askari dipenjara atas perintah Mutawakkil Abbasi – musuh bebuyutan Ahlul Bait – dan memerintahkan para sipir untuk bersikap keras kepadanya, namun para sipir justru tersihir dengan kesempurnaan beliau dan bahkan mereka tidak mampu menatap langsung matanya karena rasa malu. Ketika Imam dibebaskan dari penjara, mereka sudah memiliki keyakinan yang kuat kepada beliau dan kearifan dalam agama."

Penyebaran dan peningkatan jumlah populasi Syiah pada masa imam ke-11, mendorong penguasa Abbasiyah mengisolasi Imam Askari dan melarangnya dari kegiatan apapun. Namun, ia memanfaatkan setiap kesempatan untuk membimbing dan memimpin kebangkitan Syiah serta melakukan banyak pekerjaan besar selama periode singkat kepemimpinannya.

Di antara pekerjaan besar Imam Askari adalah melakukan perjuangan ilmiah, membentuk jaringan perwakilan untuk menjaga komunikasi dengan masyarakat Syiah, dan mengirim utusan ke berbagai daerah dengan membawa pesan darinya.

Di samping itu, Imam Askari juga melakukan kegiatan politik secara diam-diam termasuk memberikan dukungan finansial kepada masyarakat Syiah, dan mencurahkan perhatian politik kepada para tokoh Syiah dalam menghadapi masalah, serta mempersiapkan masyarakat untuk menjalani periode ghaibah Imam Mahdi as. Kegiatan imam lebih fokus pada upaya mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi periode ghaibah singkat dan jangka panjang.

Dalam kondisi seperti ini, Imam Askari memperkuat sistem perwakilan dan memberikan bimbingan tentang agama dan politik kepada para wakilnya. Sistem ini memiliki bentuk hirarkis dan mencakup berbagai wilayah geografis. Para wakil dikelompokkan di bawah seorang wakil senior, dimana akan bertanggung jawab untuk semua kontak di atasnya, sampai akhirnya akan mencapai imam sendiri.

Imam Askari berhasil mempertahankan komunikasi dengan masyarakat Syiah melalui sistem perwakilan ini. Dia menunjuk orang-orang dengan latar belakang pengetahuan yang luas sebagai wakilnya. Mereka dipilih dari orang-orang yang memiliki ikatan kuat dengan para imam sebelumnya atau dengan dirinya sendiri.

Makam Imam Hasan Askari.

Dengan mencermati berbagai surat dan ucapan imam, orang akan memahami bahwa surat-surat tersebut memainkan peran besar dalam membimbing komunitas Syiah. Melalui surat-surat ini, imam menekankan akuntabilitas para wakilnya dan juga menjelaskan posisi dan daerah penugasan mereka.

Dengan cara ini, ia memperkuat kepercayaan terhadap para wakilnya di tengah komunitas Syiah dan bahkan ketika tuduhan miring dialamatkan kepada seorang wakilnya, imam akan mengirimkan surat lain untuk mengklarifikasi tuduhan itu.

Sistem perwakilan juga akan mencegah penetrasi kelompok-kelompok sempalan, seperti orang-orang yang tidak percaya pada Syiah Itsna Asyariyah (Syiah pengikut 12 imam), semisal ghulaat dan sekte-sekte Syiah lainnya. Sistem ini sangat penting untuk menjaga budaya Syiah dan menghindari pikiran sesat yang dibawa oleh musuh untuk mempengaruhi mereka yang tinggal jauh dari imam.

Selain itu, sistem ini memberikan landasan bagi periode keghaiban imam terakhir, Imam al-Mahdi as. Hubungan seperti itu memungkinkan komunitas Syiah untuk melestarikan budayanya dan akhirnya mempertahankan pemikiran yang benar dari ide yang salah dari sekte lain.

Pemanfaatan sistem yang akurat seperti ini memungkinkan ajaran Syiah menyebar sampai di komunitas yang lebih kecil. Terakhir, sarana komunikasi utama adalah melalui surat, sebuah proses yang paling maju pada masanya.

Imam Askari bahkan menulis surat kepada Ali ibn Husein ibn Babuyeh Qummi, salah seorang fuqaha besar Syiah, untuk memberikan arahan yang diperlukan. Imam menulis, "Bersabarlah dan tunggulah kemunculan Imam Mahdi, karena Rasulullah Saw bersabda, 'Perbuatan terbaik umatku adalah menanti datangnya Imam Mahdi.' Pengikut Syiah kita akan terus-menerus dalam kesedihan sampai putraku, imam ke-12 muncul; sosok yang dikabarkan oleh Rasul akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebajikan, setelah ia dipenuhi oleh kezaliman dan kerusakan." (RM)