Sikap Tegas Rahbar Menghadapi Tekanan AS
Sikap tegas Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei terhadap tawaran perundingan oleh Gedung Putih, kembali memperlihatkan kekuatan Republik Islam, sementara Amerika Serikat berada di posisi yang lemah untuk bisa memaksakan kehendaknya.
Pada 13 Juni 2019, Ayatullah Khamenei menerima kunjungan Perdana Menteri Jepang Abe Shinzo di Tehran, yang datang membawa pesan dari Presiden AS Donald Trump.
Kunjungan bersejarah Abe ke Iran mendapat sorotan luas dari media-media dunia. Mereka menyoroti misi utama lawatan Abe ini yaitu menyampaikan pesan Trump kepada Iran.
Bersamaan dengan pertemuan tersebut, dua kapal tanker minyak diserang di Laut Oman dan seketika menjadi berita-berita utama dunia. AS dan sekutunya langsung menunjuk Iran sebagai pelakunya, dan tudingan gegabah ini membuktikan bahwa mereka terus berusaha memantik ketegangan di wilayah Asia Barat.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi mengatakan Republik Islam menganggap insiden di Laut Oman bertentangan dengan upaya regional dan internasional untuk mengurangi ketegangan di kawasan.
Di tengah serangan tak berdasar AS, sikap tegas Rahbar dalam pertemuan dengan PM Jepang di Tehran menunjukkan bahwa Iran benar-benar memahami perkembangan regional dan dunia dan tidak akan termakan tipu daya Amerika.
"Republik Islam Iran tidak percaya sedikit pun terhadap AS, dan pengalaman getir perundingan sebelumnya dengan AS dalam bentuk perjanjian nuklir JCPOA tidak akan terulang lagi. Sebab, tidak ada bangsa merdeka dan berakal yang mau berunding di bawah tekanan," tegas Ayatullah Khamenei dalam pertemuan tersebut.
Di awal pertemuan, PM Jepang Abe Shinzo mengungkapkan tujuannya bertemu dengan Ayatullah Khamenei, salah satunya untuk menyampaikan pesan dari Presiden Donald Trump. "Saya bermaksud menyampaikan pesan Presiden AS kepada yang mulia," tutur Abe.
Abe dengan mengutip pernyataan Trump mengatakan bahwa AS tidak bermaksud mengubah rezim di Iran. Menanggapi itu Ayatullah Khamenei menegaskan, "Masalah kami dengan AS bukan mengenai isu perubahan rezim, sebab jika mereka pun berniat melakukannya, tetap tidak akan berhasil, sebagaimana presiden-presiden AS sebelumnya selama 40 tahun silam tidak mampu menghancurkan Republik Islam Iran."
Pada kesempatan itu, Abe juga menyampaikan bahwa AS siap melakukan perundingan yang jujur dengan Iran. Namun Rahbar menandaskan, "Kami tidak meragukan niat baik Anda (Abe). Tapi mengenai sosok Presiden AS, saya melihat Trump tidak layak untuk memberikan satu pesan pun, dan kami tidak akan memberikan balasannya."
Jawaban tegas ini dengan jelas memperlihatkan perbedaan Iran dengan negara-negara Asia Barat lainnya. Republik Islam adalah sebuah negara independen dengan kemampuan yang mapan di bidang ekonomi, pertahanan, dan politik, di mana tidak berada di bawah pengaruh asing.
Independensi, ketahanan, rasa percaya diri, dan komponen-komponen penting kekuatan yang dimilikinya, telah menjadikan Iran sebagai sebuah negara yang efektif dalam perimbangan regional dan global. Oleh karena itu AS dan sekutunya melancarkan permusuhan terhadap Iran.
Pasca kemenangan Revolusi Islam, Iran tampil sebagai sebuah negara penting di Asia Barat. Kebijakan Republik Islam yang tidak sejalan dengan kehendak Paman Sam, merupakan alasan utama permusuhan panjang Washington terhadap Tehran. Berbagai pemerintah di Washington menetapkan tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk melawan Republik Islam selama 40 tahun lalu dengan tujuan akhir adalah perubahan rezim di Iran.
Tujuan utama pemerintahan Trump juga melakukan perubahan rezim di Iran, tetapi seperti diungkapkan oleh Ayatullah Khamenei, "Jika Trump berkata tidak ingin mengubah rezim, ini sebuah kebohongan, karena jika ia mampu melakukan itu, ia sudah melakukannya, namun ia tidak mampu."
Ketidakmampuan dan kekalahan AS dalam menghadapi Iran terus tampak ke permukaan. Trump pertama-tama menarik AS keluar dari perjanjian nuklir JCPOA dan kemudian mengeluarkan ancaman serta menerapkan kebijakan tekanan maksimum terhadap Tehran. Namun, ancaman dan tekanan maksimum tidak membuahkan hasil sehingga Trump menawarkan perundingan dengan Tehran.
Akan tetapi, Ayatullah Khamenei menuturkan pengalaman perundingan JCPOA menunjukkan bahwa AS tidak jujur dalam berunding.
JCPOA merupakan produk dari perundingan Iran dengan kelompok 5+1 yang termasuk pemerintah AS, namun pemerintah Barack Obama tidak memenuji kewajiban AS berdasarkan perjanjian tersebut dan sekarang Trump justru keluar secara sepihak dari JCPOA.
Pengalaman pahit perundingan Iran-AS dalam konteks JCPOA dan puluhan contoh lain membuktikan bahwa para pejabat Washington tidak memiliki kejujuran. Hal ini mengantarkan Iran pada kesimpulan bahwa negosiasi dengan AS tidak membawa keuntungan apapun.
Menurut ungkapan Rahbar, AS tidak memenuji kewajiban JCPOA dan melanggar perjanjian nuklir, dengan demikian orang berakal tidak akan bersedia berunding kembali dengan sebuah negara yang melanggar semua kesepakatan internasional.
AS berbicara tentang sebuah perundingan yang jujur di tengah penerapan sanksi ekonomi yang ketat terhadap bangsa Iran dan menjalankan kebijakan terorisme ekonomi terhadap pihak lain. Dengan cara ini, AS juga tidak akan berhasil menyeret Iran ke meja perundingan dan berdasarkan pengalaman 40 tahun, pihak yang akan memenangi pertarungan tekad ini adalah bangsa Iran.
Dalam hal ini Duta Besar Iran untuk Inggris, Hamid Baeidinejad selama wawancara dengan televisi CNN, mengatakan Washington tidak mampu memaksa Tehran untuk pembicaraan apapun dan apa yang dilakukan AS saat ini merupakan terorisme ekonomi.
AS – dengan strategi sanksi, tekanan maksimum, ancaman, tudingan tak berdasar, dan tawaran perundingan – berusaha menyandera Iran dalam kerangka kebijakannya, tetapi statemen Rahbar dalam pertemuan dengan PM Jepang menunjukkan bahwa Republik Islam tidak akan pernah terjebak dalam perangkap AS.
Iran – sebagai sebuah negara yang mematuhi Piagam PBB – senantiasa berusaha untuk mengurangi ketegangan di wilayah Asia Barat dan Teluk Persia. Dalam situasi seperti ini, tudingan tak berdasar terhadap Tehran tidak akan membawa Washington pada maksudnya.
Aktivis politik Partai Republik AS, Mark Dankof menilai tudingan para pejabat Washington terkait peran Tehran dalam serangan kapal tanker di Laut Oman sebagai pengulangan kebohongan bersejarah pemerintah AS untuk memulai sebuah perang. "Mereka membuat dokumen palsu untuk menuding Iran," ujarnya.
Surat kabar The Washington Post juga menulis, "Karena kurangnya kredibilitas dan banyak kebohongan, tuduhan baru-baru ini Presiden AS Donald Trump terhadap Iran atas serangan dua tanker, tidak mendapat sambutan."
Kegagalan strategi Washington terhadap Tehran terlihat dengan jelas selama kunjungan Presiden Iran Hassan Rouhani ke Kirgizstan dan Tajikistan. Para pemimpin Rusia dan Cina menyambut hangat kehadiran Presiden Iran tanpa mempedulikan klaim-klaim Donald Trump.
Penekanan para pemimpin dunia dalam dua KTT di Kirgizstan dan Tajikistan tentang pentingnya pendekatan multilateralisme dalam tatanan global, merupakan bentuk penolakan bersama terhadap unilateralisme AS. (RM)