Dampak Besar Perang Dagang AS dan Cina
Keputusan Presiden Donald Trump menandatangani undang-undang mendukung demonstran Hong Kong, semakin menyulitkan kedua pihak (AS dan Cina) untuk menyelesaikan perselisihan dalam masalah ekonomi dan perdagangan.
Trump tetap menandatangani UU kontroversial itu meskipun pemerintah Cina telah memperingatkan AS mengenai dampak-dampaknya. Trump setelah menolak memangkas tarif untuk barang-barang impor dari Cina, sekarang menaruh perhatian serius pada masalah Hong Kong. Ia benar-benar serius untuk memaksa Beijing memberikan konsesi perdagangan kepada Washington dan tidak ingin mundur dari tuntutannya itu.
Namun, Mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger memperingatkan bahwa konflik antara AS dan Cina bisa menjadi lebih buruk daripada Perang Dunia I jika dibiarkan tak terkendali. "Kita masih berada di masa-masa pasca-Perang Dingin," ucap Kissinger di New Economy Forum Bloomberg di Beijing pada 21 November lalu.
Dia termasuk salah satu politisi dan tokoh pembangun hubungan antara AS dan Cina selama lima dekade lalu. Ia menganggap perang dagang lebih lanjut akan sangat merugikan dan menekankan bahwa situasi Cina dan AS sudah sangat berbeda jika dibandingkan dengan era Perang Dingin. Menurut Kissinger, negosiasi perdagangan dapat menjadi alternatif untuk perundingan politik, yang bisa membantu memecahkan konflik.
Kissinger percaya bahwa situasi dunia terpengaruh oleh perkembangan yang terkait dengan hubungan Amerika-Cina, dan ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan kedua negara. Menurutnya, situasi hubungan Beijing dan Washington mengkhawatirkan.
Sementara itu, Presiden Cina Xi Jinping dalam forum tersebut mengatakan Cina tidak akan terlecehkan seperti di masa lalu dan setiap saat situasi menuntut, kami akan mengambil tindakan balasan.
Banyak analis percaya bahwa Trump tidak akan menang di hadapan Beijing dengan menerapkan dan menaikkan tarif atas barang-barang impor dari Cina. Sebab, pemerintah Cina telah berhasil meningkatkan konsumsi dalam negeri melalui kebijakan moneter yang ramah dan pemangkasan pajak.
Di samping itu, pemerintah Cina menemukan pasar baru di berbagai belahan dunia untuk menutupi penurunan ekspor ke AS. Di antara yang paling penting adalah pengembangan kerja sama ekonomi dan keuangan dalam kerangka proyek raksasa Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR), yang membuat AS sangat prihatin. Prakarsa ini membawa dampak positif bagi ekonomi Cina dan membuat ekonomi AS lesu.
Pakar ekonomi di RAND Corporation, Charles P. Ries percaya bahwa pengenaan tarif oleh Trump terhadap impor barang-barang Cina, bukan hanya tidak berhasil, tetapi juga meningkatkan tekanan pada ekonomi AS dan mengancam tingkat kesejahteraan global.
Oleh karena itu, banyak pakar ekonomi melihat tidak hanya sistem kapitalis dalam bahaya serius, tetapi juga sistem ekonomi dunia sedang terdampak oleh perang dagang Amerika dengan Cina.
Presiden Donald Trump berharap akan mengatasi dampak buruk perang dagang dengan mengakhiri perseteruan dengan Korea Utara, Uni Eropa, dan juga Meksiko. Namun, harapan itu tidak tercapai dan Trump masih menghadapi tantangan serius dalam berurusan dengan Korea Utara. Pyongyang tidak berniat lagi melanjutkan perundingan dengan Washington.
Uni Eropa, Meksiko dan negara-negara lain juga enggan mengabulkan permintaan Trump untuk membuka lebih banyak pasar bagi produk-produk Amerika.
Tarif yang diberlakukan Cina terhadap impor barang-barang AS fokus pada sektor industri, dan langkah ini tidak berdampak besar pada konsumen Cina. Namun, karena sebagian besar ekspor Cina ke AS adalah barang-barang konsumtif, maka penambahan tarif oleh Trump akan memberikan tekanan yang lebih besar terhadap konsumen Amerika.
Surat kabar Austria, Standart dalam sebuah analisa tentang perang dagang antara AS dan Cina, menulis bahwa Trump sepertinya telah salah perhitungan, alih-alih meningkatkan tekanan pada ekonomi Cina, namun justru konsumen Amerika yang menderita kerugian.
Meski kubu Demokrat dan Republik mendukung kebijakan Trump terhadap Cina untuk memperlambat laju ekonominya, namun para petinggi partai Demokrat sangat menyadari bahwa meningkatnya perang dagang Trump dengan Cina pada akhirnya akan membahayakan posisinya dalam pemilu presiden AS 2020.
Ketidakmampuan perusahaan manufaktur dan importir AS untuk mencari alternatif atas barang-barang konsumsi impor dari Cina serta ketidakmampuan mereka untuk memproduksinya dengan biaya murah, telah mendorong naiknya biaya dan inflasi di pasar keuangan dan perdagangan AS. Ketidakpastian seputar situasi ekonomi di AS dan Cina juga membuat investor lebih berhati-hati dalam berinvestasi di AS.
Anatole Kaletsky, pakar ekonomi dari Gavekal Dragonomics, mengatakan bahwa AS tidak dapat memenangkan perang tarifnya dengan Cina, terlepas dari apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Presiden Trump dalam beberapa bulan ke depan.
"Trump percaya bahwa ia berada di atas angin dalam konflik ini, karena ekonomi AS sangat kuat dan juga karena politisi kedua partai mendukung tujuan strategis untuk menggagalkan kebangkitan Cina dan menjaga dominasi global AS. Namun, ironisnya kekuatan nyata ini adalah kelemahan fatal Trump. Cina memiliki berbagai alat untuk mengatasi dan melawan tekanan ekonomi AS," jelasnya.
Oleh karena itu, pemerintah AS dengan menunggangi demonstrasi di Hong Kong, sedang mencoba untuk memaksa Cina menyerah dalam perang dagang dan di bidang politik. (RM)