Abbas bin Ali, Manifestasi Kemuliaan
(last modified Sat, 28 Mar 2020 13:52:36 GMT )
Mar 28, 2020 20:52 Asia/Jakarta
  • Makam Suci Abul Fadhl Abbas as di kota Karbala, Irak.
    Makam Suci Abul Fadhl Abbas as di kota Karbala, Irak.

Abbas bin Ali bin Abi Thalib as dilahirkan di kota Madinah pada 4 Sya’ban tahun 26 Hijriah (646 Masehi). Kelahirannya menghadirkan kebahagiaan dan kegembiraan di rumah Amirul Mukminin.

Ketika kabar kelahiran Abbas disampaikan kepada Imam Ali as, ia bergegas pulang ke rumah dan memeluk erat bayi yang baru lahir itu. Ali as mendekap bayi tampan itu dan mencium kedua tangannya. Dia mengetahui bahwa kedua tangan Abbas akan menjadi pelindung bagi Husein as di Hari Asyura dan pengorbanannya dikenang dalam sejarah.

Imam Ali as kemudian dengan khidmat mengumandangkan adzan di telinga kanan anaknya dan iqamah di telinga kirinya. Ia memberikan infak kepada fakir miskin sebagai rasa syukur. Abbas bin Ali dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Fatimah Kilabiyah dari Kabilah Bani Kilab yang dikenal berani dan ksatria.

Abbas berada di bawah pengasuhan dan bimbingan sang ayah untuk menimba keutamaan dan makrifat. Sejak kecil, Ali as – yang dikenal sebagai ahli iman, makrifat, dan kesempurnaan – sudah mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan adab kepada putranya itu. Ia menyaksikan jiwa ksatria dan keberanian di wajah Abbas, yang kelak akan menghadirkan kebanggaan dan martabat yang mulia bagi kaum Muslim.

Ketika berbicara tentang perkembangan dan keutamaan Abbas, Imam Ali as berkata, “Abbas putraku sejak kecil belajar ilmu, dan layaknya bayi merpati yang memperoleh makanan dan minuman dari induknya, Abbas mendapatkan pengetahuan dariku.” Kebersamaan Abbas dengan dua saudaranya yang mulia seperti Imam Hasan dan Imam Husein as, juga memiliki pengaruh besar pada perkembangan dimensi spiritual dan pengembangan keutamaan dalam dirinya.

Abbas bin Ali as yang akrab dipanggil Abul Fadhl ini, mencapai derajat keilmuan dan makrifat yang tinggi dengan memanfaatkan kesempurnaan Ahlul Bait as. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Paman kami Abbas memiliki wawasan dan iman yang kuat.” Sejarah mencatat bahwa banyak orang datang kepada Abbas untuk menyelesaikan persoalan ilmiah. Di samping berilmu tinggi, Abul Fadhl Abbas juga dikenal sebagai ahli ibadah dan memperpanjang sujudnya dalam setiap ibadah. Ilmu dan makrifat tampil laksana dua sayap yang menghiasi Abbas bin Ali.

Abbas adalah mutiara berharga yang tumbuh di tengah samudera keutamaan, makrifat, dan keluhuran moral. Ia dilahirkan dari seorang ibu yang paling baik dan mulia sebagaimana kesaksian sejarah.

Setelah beberapa tahun kepergian Sayidah Fatimah Az-Zahra as, Imam Ali memanggil saudaranya, Aqil – seorang pakar nasab terkenal pada zaman itu – dan menceritakan keinginannya untuk menikah lagi dan meminta Aqil mencarikan wanita yang salehah dan sangat bagus segi keturunan sehingga bisa melahirkan putra-putri yang hebat, berani, dan tangguh.

Aqil pun memilih Fatimah Kilabiyah (Ummul Banin) dari keturunan Bani Kilab, yang merupakan kabilah yang tiada tara keberaniannya. Namanya adalah Fatimah dan ia sering disebut Ummul Banin (ibu dari para putra) dan dari penikahan ini memiliki empat putra masing-masing; Abbas, Abdullah, Ja'far dan Utsman, di mana keempat putranya ini gugur syahid di Padang Karbala dalam membela Islam.

Setelah menginjakkan kakinya di rumah Ali as, Ummul Banin bersikap dengan lembut dan penuh kasih sayang terhadap putra-putri Fatimah Az-Zahra yaitu; Imam Hasan dan Husein as serta Sayidah Zainab dan Ummu Kultsum. Para ahli sejarah mencatat bahwa kecintaan dan perhatian Ummul Banin kepada putra-putri Az-Zahra as lebih besar dibanding cinta dan perhatiannya kepada keempat anaknya.

Sejak hari pertama berada di rumah Imam Ali, ia mengusulkan kepada suaminya agar memanggil dirinya dengan sebutan Ummul Banin, sehingga tidak mengungkit kesedihan putra-putri Fatimah Az-Zahra as, karena nama Fatimah akan mengingatkan mereka pada ibunya yang telah tiada.

Abul Fadhl Abbas dibesarkan di bawah pengasuhan Imam Ali as dan Ummul Banin, seorang wanita yang memiliki maktifat dan keutamaan yang tinggi. Kesantunan dan kesetiaan yang tulus merupakan tanda dari perkembangan dan keluhuran jiwa, dan Abbas bin Ali as sangat menonjol dari yang lain dalam hal keutamaan. Ia sangat menghormati ayah dan saudara-saudaranya serta sangat patuh pada perintah sang ayah, Imam Ali as.

Abbas memiliki keyakinan yang sempurna terhadap kepemimpinan (imamah) ayahnya dan juga kelanjutan kepemimpinan ini, yang akan diteruskan oleh dua saudaranya, Hasan dan Husein as. Ketika eksistensi Islam terancam oleh Bani Umayyah, Abbas bersama saudaranya Imam Husein as terjun ke medan perang dan membela Islam secara tulus. Ia mempersembahkan pengorbanan terbaik sehingga hukum-hukum Allah Swt tetap tegak di muka bumi.

Di sepanjang hidupnya, Abul Fadhl Abbas tidak pernah meninggalkan saudaranya sekaligus imamnya dan taat mutlak kepadanya dan selalu memberikan pengabdian terbaik. Kesetiaan dan rasa hormatnya kepada Imam Husein as telah menjadi buah bibir di sepanjang sejarah. Ia tidak pernah duduk di hadapan Imam Husein as kecuali setelah memperoleh izin. Ia juga selalu memanggil Imam Husein dengan sebutan “Ya Sayyidi” “Ya Aba Abdillah” atau “Yabna Rasulullah.”

Dalam sejarah disebutkan bahwa Abbas memiliki wajah yang rupawan dan bercahaya, bagaikan sinar rembulan. Karena itu, ia pun dijuluki Qamar Bani Hasyim (Purnama Bani Hasyim). Menurut catatan sejarah, Abbas adalah seorang pria yang tampan dan gagah, dan setiap kali duduk di atas kuda, kakinya akan menyentuh tanah.

Keperkasaan dan kekuatan Abbas selain diwarisi dari kabilah ibunya, juga diperoleh berkat bimbingan Imam Ali as yang tidak hanya mengajarinya ilmu pengetahuan dan makrifat Islam, tapi juga membekalinya dengan berbagai keterampilan, seperti teknik bela diri, seni memanah, dan bermain pedang. Ia kemudian mempersembahkan seluruh kekuatan fisik dan spiritualnya untuk mengabdi kepada Islam dan membela kebenaran di Padang Karbala.

Ilustrasi ketika Abbas bin Ali gugur syahid di Karbala.

Ketika Imam Husein as dan Ahlul Bait dicekik oleh dahaga di Karbala, Abbas dengan gagah berani menerobos blokade tentara musuh yang berusaha menghalangi pasukan Imam memperoleh air dari Sungai Furat. Setibanya di bibir sungai, ia segera memenuhi kantong kulit dengan air dan memacu kudanya menuju perkemahan putra-putri Bani Hasyim. Namun di tengah jalan, ia menjadi sasaran serangan musuh hingga kedua tanggannya terputus dan gugur syahid.

Pengorbanan Abbas ini lahir dari makrifat dan pengetahuan yang sempurna tentang agama Allah Swt. Pengetahuan ini telah membentuk kepribadiannya sehingga membuatnya rela berkorban di jalan Allah. Ia belajar dari ayahnya, Imam Ali as bahwa hidup ini harus memiliki tujuan.

Sifat-sifat mulia yang disandang Abbas membuatnya tersohor dengan berbagai sebutan seperti, Bab al-Hawaij (pintu permintaan hajat), Abdu Saleh (hamba yang saleh), Shahib al-Liwa' (pembawa panji), dan Qamar Bani Hasyim. Mengenai keutamaan Abbas, Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas. Dalam peperangan kedua tangannya telah dipotong oleh musuh. Sesungguhnya ia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya… Di sisi Allah ia memiliki kedudukan yang sangat agung sehingga samua para syahid pada hari kiamat cemburu kepadanya dan berharap dapat mencapai kedudukan itu."

Abbas bin Ali dikenal sebagai figur yang bertakwa, saleh, dan orang kepercayaan masyarakat. Siapa pun yang mengenalnya niscaya mengakui beliau sebagai seorang yang bijak dan mulia. Sikapnya yang terbuka dan ramah membuat siapa pun tertarik kepadanya. Abbas adalah sosok yang rendah hati dan santun. Keteguhan, kesantunan, dan kesabaran Abbas mengingatkan kita pada ucapan Imam Ali as bahwa, "Tidak ada warisan yang lebih mulia kecuali akhlak." (IRIB-Parstoday)