May 31, 2022 19:24 Asia/Jakarta
  • Rencana Kesepakatan Abad
    Rencana Kesepakatan Abad

Setelah perang Arab-Israel di bulan Juni 1967, kita menyaksikan lusinan rencana dan perundingan damai untuk menstabilkan posisi rezim Zionis di kawasan.

Sejumlah upaya ini dilakukan di tingkat bilateral, termasuk perundingan antara rezim Zionis dan Mesir yang hasilnya untuk menjamin tujuan Tel Aviv, namun pergerakan ini tidak pernah dilakukan untuk menyelesaikan akar permasalahan dan konflik, yakni pendudukan Palestina. Oleh karena itu, sampai saat ini perundingan semacam ini belum pernah membuahkan hasil dan gagal.

Sekaitan dengan ini, seiring dengan berkuasanya Donald Trump di Amerika, muncul gagasan menggelar perundingan "Kesepakatan Abad". Sebuah rencnaa yang menurut banyak pengamat seperti rencana-rencana sebelumnya yang pasti gagal dengan alasan yang jelas.

Rencana Kesepakatan abad

Rencana Kesepakatan Abad sejatinya kelanjutan dari konspirasi yang digagas AS-Israel dan Arab Saudi untuk mengubah konstelasi keamanan kawasan dan menguasai penuh dunia Islam. Pengakuan resmi al-Quds sebagai ibu kota rezim Zionis, penyerahan 30 persen wilayah Tepi Barat kepada Tel Aviv, penentangan atas pemulangan pengungsi Palestina ke negara mereka, serta pelucutan penuh senjata Palestina termasuk tujuan dari rencana ini.

Majid Safataj, pengamat isu-isu Palestina saat menganalisa tujuan Amerika di proyek "Kesepakatan Abad" mengatakan, "Israel melalui kesepakatan abad ingin menghapus hak kepulangan warga Palestina, dan Arab Saudi serta Uni Emirat Arab (UEA) dan sejumlah negara lain serta Amerika Serikat ingin mengoperasionalkan masalah ini."

Amerika Serikat ingin menciptakan hubungan diplomatik dan ekonomi nyata dan terang-terangan antara rezim Zionis dan negara-negara Arab untuk mencitrakan legalistas rezim penjajah al-Quds  di dunia Arab dan umat Islam. Strategi ini dikejar dengan dua tujuan:

Pertama, memudarkan urgensi wacana "Muqawama dan Resistensi" serta menggantikannya dengan arus kompromi dalam bentuk proyek Kesepakatan Abad.

Kedua, keruntuhan lunak dan perlahan melalui sanksi ekonomi dan menciptakan tantangan keamanan di negara-negara yang menjalin hubungan dengan rezim Zionis dalam jangka menengah dan panjang.

Republik Islam Iran meyakini bahwa hak bangsa Palestina yang dirampas hanya dapat diraih melalui diakhirinya pendudukan di bumi Palestina, pemulihan hak penuh bangsa ini termasuk hak menentukan nasib sendiri, pemulangan seluruh pengungsi Palestina ke tanah air mereka, dan pembentukan negara bersatu Palestina dengan ibu kota al-Quds melalui penyelenggaraan referendum yang diikuti seluruh etnis dan penduduk asli wilayah ini, baik Muslim, Kristen dan Yahudi.

Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei saat mengusulkan mekanisme demokratis untuk menyelesaikan isu Palestina, menilai membela Palestina juga kewajiban seluruh negara Islam.

Kepada seluruh bangsa Muslim di kawasan, Rahbar mengingatkan, "Amerika ingin Palestina yang tidak berdaya melawan rezim penjahat Zionis, Suriah dan Lebanon dikuasai oleh pemerintah yang berafialisi dengannya dan para anasir bayarannya, dan Irak dan kekayaan minyaknya sepenuhnya milik mereka."

Lebih lanjut, Rahbar mengungkapkan, Amerika untuk tujuan busuknya ini telah melakukan kezaliman terbesar dan kejahatan seperti ujian berat beberapa tahun Suriah, mengobarkan fitnah beruntun di Lebanon serta sabotase dan sabotase terus menerus di Irak.

Rahbar Ayatullah Ali Khamenei

Rahbar di pesannya bertepatan dengan manasik haji seraya menekankan persatuan umat Islam melawan Amerika agresor dan rezim Zionis serta urgensi membantu Palestina yang tertindas, belasungkawa untuk warga Yaman yang terluka dan keprihatinan Muslim yang tertindas di mana-mana, menasihati para pemimpin sejumlah negara Islam yang demi keuntungan pribadi jangka pendeknya rela bersahabat dengan rezim Zionis untuk menghindari perilaku hina ini.

Terkait kehadiran Amerika di kawasan dan peristiwa di Amerika saat ini, Rahbar mengatakan, "Kehadiran Amerika di Asia Barat merugikan bangsa kawasan ini dan memicu instabilitas serta kehancuran dan ketertinggalan berbagai negara. Dalam kasus Amerika Serikat saat ini dan gerakan anti-diskriminasi, sikap tegas kami adalah berpihak pada rakyat dan mengutuk kekejaman pemerintah rasis negara ini."

Sejak tahun 2005, yakni setelah meletusnya infitada pertama di bumi pendudukan Palestina, kondisi perlawanan di Palestina meningkat dan perlawanan dari menggunakan batu, berubah menjadi perlawanan bersenjata. Oleh karena itu, sejakt ahun 2005, proses penguatan muqawama dari sisi militer dimulai. Digerakan strategis ini, Syahid Qasem Soleimani, mantan komandan pasukan al-Quds IRGC memainkan peran unggul dalam mengupgrade muqawama bersenjata di Jalur Gaza.

Naser Abu Sharif, wakil Gerakan Jihad Islam Palestina sekaitan dengan ini mengatakan, "Dukungan Iran yang mendorong berbagai faksi muqawama Palestina mampu melawan rezim Zionis Israel. Iran sejak pertama dukungan terhadap isu Palestina telah mengambil langkah di seluruh bidang termasuk politik, spiritual, material...dan Tehran senantiasa berjalan di jalur ini."

Di transformasi ini, peran Syahid Soleimani sangat besar dalam membentuk poros muqawama di kawasan dan menyatukan berbagai elemen poros ini terkait isu Palestina. Tujuan terpenting dan mendasar Amerika Serikat meneror Syahid Soleimani di dekat bandara Baghdad adalah melemahkan poros muqawama di seluruh kawasan; Amerika meski melakukan kejahatan ini tetap tidak mampu meraih tujuannya terhadap muqawama.

Syahid Qasem Soleimani

Berlanjutnya pendudukan bumi Palestina dan kejahatan rezim Zionis terhadap bangsa tertindas Palestina selalu dilakukan dengan dukungan penuh Amerika Serikat terhadap Tel Aviv. Dukungan ini tetap gagal mencegah kekalahan Israel dalam menghadapi arus muqawama.

Wajar bahwa kebungkaman dan sikap pasif terhadap kejahatan ini baik di masa lalu atau saat ini yang berlanjut dengan penindasan dan perang yang dipaksakan terhadap bangsa-bangsa di kawasan ini, adalah salah satu masalah yang merugikan umat manusia.