Komponen Keamanan Berkelanjutan di Kawasan Menurut Rahbar (24)
Salah satu poin penting dan strategis yang ditekankan oleh Rahbar adalah urgensi mempertahankan kewaspadaan terhadap arus-arus pengobar perpecahan antar bangsa dan negara Islam.
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei di pidatonya dalam pertemuan dengan peserta Konferensi Persatuan Islam pada Oktober 2019 seraya menyinggung dampak buruk kehadiran Amerika di kawasan, menilai hasil dari kehadiran pasukan Amerika tersebut adalah instabilitas, kejahatan dan kerusakan.
Ayatullah Khamenei mengatakan, kehadiran Amerika di kawasan ini hanya menimbulkan kejahatan dan kerusakan; Mereka menginjakkan kaki di kawasan ini, dan mereka membawa kejahatan serta kerusakan. Di mana pun mereka menginjakkan kakinya, yang timbul adalah ketidakamanan atau perang saudara, atau langkah-langkah seperti membentuk Daesh (ISIS)."
Peristiwa selama beberapa dekade terakhir di Asia Barat menjadi saksi atas fakta ini.
Selama bulan-bulan awal perang Irak terhadap Iran, Zbigniew Brzezinski, penasihat keamanan nasional AS saat itu, mengkonfirmasi urgensi untuk merevisi perjanjian Sykes–Picot, dan menyusul instruksi Departemen Pertahanan AS (Pentagon), Bernard Lewis ditugaskan untuk merumuskan rencananya yang terkenal tentang penghancuran kesatuan hukum negara-negara Islam dan Arab.
Rencana ini mencakup negara-negara seperti Irak, Suriah, Lebanon, Mesir, Sudan, Iran, Turki, Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk Persia dan Afrika Utara. Namun ini bukan satu-satunya operasi yang dimulai pasukan Amerika. Pada tahun 2003, militan dari suku "Darfur" di Sudan menyerang fasilitas pemerintah dan petani Arab di negara ini, menciptakan salah satu krisis paling berdarah di abad ke-21. Krisis yang terus ada hari demi hari lebih dalam dan lebih buruk dari masa lalu dengan reaksi tergesa-gesa dari pemerintah pusat dan akhirnya menyebabkan disintegrasi negara ini.
Krisis di Sudan dan akhirnya disintegrasi negara ini adalah akibat lain dari kehadiran Amerika di wilayah tersebut. Sebagai proyek kolonial, masalah ini berhasil melewati tahap pertama, dan Amerika menyingkirkan wilayah kaya Sudan Selatan dari kendali pemerintah Islam Khartoum tanpa membayar banyak atau bahkan melakukan intervensi kontroversial di wilayah tersebut.
Di sisi lain, pada tahun 2007, Senat AS menyetujui rencana di mana negara Irak dibagi menjadi 3 wilayah Sunni, Syiah, dan Kurdi, dan wilayah ini juga diberikan otonomi. Rencana yang disampaikan oleh Joseph (Joe) Biden ini dan merupakan rencana yang diusulkan untuk keluar dari krisis akibat pendudukan negara ini pada tahun 2003, menunjukkan bahwa separatisme di kawasan telah diterima bahkan di lembaga non-keamanan Amerika Serikat.
Persetujuan rencana ini di Senat menunjukkan pentingnya pembagian negara-negara kawasan di mata pejabat Amerika selama tahun-tahun awal abad ini dan membuat kumpulan dokumen yang tersedia dalam hal ini menjadi sensitivitas ganda. Di antara dokumen-dokumen ini adalah rencana "Bernard Lewis" untuk pembagian Asia Barat dan Afrika Utara, yang diselenggarakan pada 1980-an.
Mojtaba Shahsavani, pengamat internasional terkait tujuan kehadiran Amerika di kawasan dan peran pangkalan militer negara ini dalam mengobarkan instabilitas di kawasan mengatakan, "Amerika secara langsung atau tidak, memiliki banyak pangkalan militer di Asia Barat, di mana saat membangun setiap pangkalan tersebut, AS mengklaim bahwa tujuannya adalah menjamin keamanan kawasan, tapi sejarah membuktikan bahwa kehadiran lebih besar militer AS di kawasan hanya menciptakan instabilitas dan meningkatkan tensi bagi kawasan."
Amerika Serika menyusul kekalahan yang dideritanya dan kerugian besar, di luarnya tampak ingin keluar dari kawasan, tapi secara praktis mengejar skenario baru di negara-negara kawasan untuk tetap aktif dan hadir.
Rahbar saat bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah dan duta besar negara-negara Islam pada Mei 2019 mengatakan, " Dimanapun kebijakan Inggris, dan saat ini kebijakan Amerika, memasuki negara-negara Islam, muncul fitnah; Mereka menciptakan friksi dan perpecahan di antara negara-negara Islam, mereka menciptakan kebencian dan kepahitan, dan dalam satu negara."
Amerika Serikat sejak Perang Dunia Kedua dan selanjutnya menganggap dirinya sebagai kekuatan tak terkalahkan dan polisi dunia, tapi selama satu dekade terakhir, banyak pembicaraan mengenai tenggelamnya matahari Amerika di tingkat global, dan oleh karena itu, Washington melalui skenario baru yakni terorisme dan dengan memainkan peran pemimpin melawan terorisme, berusaha menghidupkan kembali hegemoninya yang hilang.
Teror Syahid Soleimani dalam hal ini bagi Trump sama halnya dengan menangguhkan keruntuhan hegemoni Amerika, tapi Washington dengan kejahatannya ini bukan saja tidak berhasil meraih ambisinya, bahkan jelas-jelas mengubahnya menjadi awal berakhirnya kehadirannya di kawasan.