Lintasan Sejarah 15 Juli 2022
Jul 15, 2022 20:50 Asia/Jakarta
Kelahiran Imam Ali Al-Hadi as
1231 tahun yang lalu, tanggal 15 Dzulhijjah 212 HQ, Imam Ali an-Naqi as, yang memiliki nama panggilan "Imam Hadi", terlahir ke dunia di kota Madinah.
Beliau adalah keturunan Rasulullah generasi kesepuluh dan putra dari Imam Jawad as, imam kesembilan Muslimin. Setelah Imam Jawad gugur syahid akibat dibunuh oleh penguasa, Imam Hadi menggantikan posisi beliau sebagi pemimpin umat Islam. Saat itu, kekhalifahan Islam tengah berada di tangan Khalifah Mutawakil dari Dinasti Abbasiah.
Mutawakil yang khawatir akan meluasnya pengaruh Imam Hadi di tengah masyarakat, kemudian mengasingkan beliau ke kota Samara, Irak. Meskipun mengalami tekanan yang sangat besar dari penguasa, Imam Hadi terus berusaha menyampaikan risalah Rasululah dan membimbing umat Islam. Beliau mendidik banyak murid yang kelak di antaranya menjadi ulama terkemuka, salah satunya adalah Sayid Abdul Adzhim Hasani.
Salah satu di antara hadis Imam Hadi berbunyi, "Yang lebih baik dari segala kebaikan adalah orang yang melakukan kebaikan itu; yang lebih indah dari perkataan yang bernilai, adalah si penyampai perkataan itu; dan yang lebih tinggi dari ilmu adalah si pembawa ilmu tersebut."
Hijrah Ulama Tehran ke Qom, di Masa Revolusi Konstitusi
116 tahun yang lalu, tanggal 24 Tir 1285 HS, Ayatullah Sayid Mohammad Tabatabai dan Sayid Abdullah Bahbahani memimpin sebuah kelompok berjumlah 1000 orang bergerak ke kota Qom yang akhirnya dikenal sebagai Mohajerat Kubro.
Hal itu dilakukan sebagai kelanjutan Revolusi Konstitusi, pasca tidak diterimanya tuntutan ulama dan rakyat terkait pendirian pengadilan dan penerapan hukum Islam, ulama memutuskan untuk berhijrah ke kota Qom dan melakukan aksi mogok di komplek suci Sayidah Fathimah Maksumah as.
Tiga hari setelahnya, Sheikh Fazlollah Nouri mempersiapkan jumlah orang yang lebih banyak untuk melakukan hijrah dari Tehran ke Qom. Hijrah ini menciptakan gelombang kebangkitan di seluruh negeri dan ulama besar waktu itu seperti Agha Najafi Isfahani di Isfahan dan Akhond Mulla Ghorbanali Zanjani dari Zanjan, ikut bergabung dalam aksi mogok itu. Menyusul aksi itu, para ulama dari pelbagai kota mendapat telegram untuk ikut dan mereka bergabung melakukan aksi mogok di Qom.
Mozaffaruddin Shah akhirnya menerima tuntutan itu. Tapi ketika aksi ini berada di puncak keberhasilannya, ada gerakan mencurigakan yang mengarah pada penyimpangan gerakan ini. Sejumlah warga secara tidak sadar justru meminta suaka ke Kedutaan Besar Inggris dan melakukan aksi mogok di halaman Kedubes Inggris.
Aksi mogok lebih dari 20 ribu warga di Kedubes Inggris, sekalipun alasan pertamanya untuk menyelamatkan diri, tapi pada intinya aksi pelanggaran terhadap hukum Islam yang memang diinginkan oleh negara imperialis ini. Penyimpangan ini terus berlanjut hingga Sheikh Fazlollah Nouri yang merupakan pemimpin Revolusi Konstitusi, harus digantung akibat penolakannya terhadap kebangkitan Revolusi Konsitusi yang tidak sah.
Akhirnya, akibat tekanan para pelaku aksi mogok, Mozaffaruddin Shah menerima seluruh tuntutan mereka dan tanggal 14 Mordad 1285, lewat sebuah perintah, selain pemecatan Ain ad-Dowleh, Perdana Menterinya, Mozaffaruddin Shah mengeluarkan perintah penyelenggaraan pemilu dan pendirian parlemen. Para ulama dan rakyat yang melakukan aksi mogok di Qom kembali ke tehran setelah 10 hari sejak penandatangan Perintah Revolusi Konstitusi.
Jean Bertrand Aristide Lahir
69 tahun yang lalu, tanggal 15 Juli tahun 1953, Jean-Bertrand Aristide, mantan Presiden Haiti, terlahir ke dunia.
Aristide menuntut ilmu di bidang psikologi dan kemudian belajar teologi di Roma dan Israel. Pada tahun 1983, Aristide kembali ke Haiti sebagai pendeta Katolik yang aktif menentang rezim Duvalier yang berkuasa di Haiti saat itu.
Pada tahun 1990, Aristide terpilih sebagai Presiden Haiti dengan suara mayoritas dalam pemilu. Namun setahun kemudian, dia dikudeta oleh militer dan terpaksa mengungsi ke AS. Pada tahun 1994, atas bantuan AS, Aristide berhasil merebut kembali kekuasaannya.
Namun, akhirnya di tahun 2004, AS pulalah yang mendukung gerakan pemberontakan rakyat Haiti melawan Aristide. Akibatnya, pada tanggal 29 Februari 2004, Aristide terpaksa mengungsi ke Republik Afrika Tengah ketika pemberontakan dan kekacauan politik di negaranya tak terbendung lagi.
Meskipun telah merdeka dari Perancis selama 200 tahun, namun Haiti tidak pernah luput dari pertikaian politik dalam negeri yang terkadang diwarnai dengan pertikaian berdarah. Negara dengan penduduk 8,3 juta orang itu dikategorikan sebagai negara miskin karena pendapatan perkapita rakyatnya sekitar 100 dolar AS/tahun. Tingkat penganggguran mencapai 70 persen dan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 80 persen.[]