Pesona Iran yang Mendunia (63)
Abu Ismail Abdullah bin Mansur Ansari dilahirkan hari Jumat 2 Shaban 396 Hijriah Syamsiah di Kohandoz, sekitar Tus. Di abad keempat dan kelima Hijriah, Khorasan adalah pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan serta tasawuf.
Mazhab tasawuf Khorasan, terutama Nishabur sebagai jantungnya mengedepankan harmonisasi syariat dan thariqat serta menentang penyelewengan dan khurafat. Para arif besar seperti Abu Nasir Siraj dan muridnya Sollami serta Qaisyari mendirikan sebuah sekolah khusus di kota Nishabur.
Salah satu kontribusi besar dari Khawaja Abdullah Ansari terhadap mazhab Irfan Khorasan adalah tahapan dan jalan pesuluk dalam bentuk yang sistematis.

Karakteristik dan kategorisasi yang dilakukannya mengenai maqam irfan. Struktur tahapan irfani ini tidak hanya ditentukan oleh kualitas batin, tapi juga oleh akhlak. Sehingga, setiap orang yang menempuh jalan sufistik tidak meninggalkan kehidupannya, dan tetap menjalani kehidupan spiritual, dengan menempuh thariqat bersama syariat.
Sebagian peneliti sastra menilai karya prosa Khawaja Abdullah sebagai prosa pertama bahasa Farsi Dari. Para sejarawan sastra menyebut beliau sebagai orang pertama yang memasukan prosa dalam syair menjadi bab baru sastra Farsi. Selanjutnya disempurnakan oleh Saadi Shirazi dalam karyanya Bustan dan Golestan.
Di antara karya Khawaja Abdullah Ansari adalah Munajat Nameh, yang termasuk karya sastra tasawuf terkemuka hingga kini. Popularitas Munajat Nameh disebabkan kedalaman makna dan diksi yang dipakai dalam munajat tersebut. Orang-orang Iran yang mendengar maupun membaca munajat ini bisa merasakan energi spiritual yang mengalir di dalamnya. Simak petikan Munajat Nameh berikut ini:
Ilahi, Engkaulah Tuhan yang Maha Esa
Maha Kuasa, Tiada Tara
Tiada yang menyetarai-Mu
Maha Mengetahui segala sesuatu
Tiada cacat bagi-Mu
Tiada sekutu untuk-Mu
Ilahi, Engkaulah obat segala lara
Harapan setiap hati
Dikau pemilik singgasana sejati
Ilahi, demi Jalal dan Rahman-Mu
Kesempurnaan Rahmat-Mu
tiada tempat, tiada waktu
tiada sekutu, tiada serupa
Munajat Nameh Khawaja Abdullah Ansari juga dikenal dengan sebutan "Ilahi Nameh", karena diawali dengan kata ilahi. Kitab ini sangat terkenal dan termasuk dalam salah satu buku klasik sastra Irfan Islam. Terdapat berbagai versi manuskrip Munajat Nameh, tapi yang paling terkenal adalah versi manuskrip yang kini berada di perpustakaan nasional Turki yang menjadi museum, Hagia Sophia. Kitab tersebut merupakan naskah tulisan tangan di tahun 855 Hq.

Ilahi Nameh pertama kali dicetak dan diterbitkan dengan tambahan risalah Khawaja Abdullah Ansari di tahun 1319 Hs di Tehran, berkat upaya Soltan Hossein Tabandeh Gonabadi. Kemudian dicetak ulang di tahun 1349 Hs dengan koreksi dan editing oleh Profesor Vahed Destgiri.
Munajat Nameh diterbitkan secara mandiri dalam sebuah buku di Kabul, Afghanistan di tahun 1341 Hs. Manuskrip terpenting diterbitkan pada tahun 1377 Hs berkat usaha DR.Mohammad Sarvar Molavi dalam "Majmueh Rasail Farsi Khawaja Abdullah Ansari".Selain itu, Munajat Nameh juga diterbitkan dalam bahasa asing, terutama Inggris dengan berbagai versi cetakan.
Studi terhadap gaya dan struktur risalah ini menunjukkan aspek kemiripannya dengan sejumlah karya lain, termasuk pengulangan pembahasan dan isinya, bahkan kalimat yang dipergunakan oleh Khawaja Abdullah Ansari di tempat lain. Oleh karena itu, para peneliti memiliki keyakinan penuh bahwa kitab tersebut merupakan karyanya.
Ilahi Nameh termasuk kitab teks klasik terpenting sastra sufistik. Buku ini terdiri dari munajat, doa dan nasehat Irfani seorang pencinta dalam bentuk prosa yang menawan. Oleh karena itu, karya tersebut dari sisi Irfan dan sastra memiliki kandungan yang sangat bernilai tinggi.
Khawaja Abdullah Ansari adalah penulis pertama yang menjelaskan makna Irfan yang tinggi dalam bentuk prosa yang menawan. Metode yang dipergunakannya dalam bentuk petuah singkat bermakna tinggi dan mendekati model syair. Khawaja Abdullah Ansari dalam Munajatnya selain menggunakan irama eksoteris, dan juga harmoni esoterik. Oleh karena itu terjadi harmonisasi kalimat dan irama yang mengiringinya, bersamaan dengan keseimbangan makna sufistik dan syariat.
Terlepas dari aspek sastranya yang indah, Ilahi Nameh Khawaja Abdullah Ansari secara teknis menjadi sarana untuk mengungkapkan makna sufistik. Terkait hal ini, DR. Sarvar Molavi mengungkapkan, "Terlihat penggunaan prosa paling tua dan paling dikenal dalam kalimat nasehat sufistik. Kebanyakan diungkapkan dalam bentuk prosa dengan bahasa rumus dan isyarat. Kalimat pendek dengan makna yang luas merupakan salah satu metode untuk menyampaikan rumus dan isyarat sufistik. Oleh karena itu, para sufi dengan baik menggunakan metode ini untuk menyampaikan pemikiran dan pengalaman serta pengajaran irfaninya".
Ilahi Nameh menjelaskan berbagai pembahasan Irfan yang meliputi: prinsip-prinsip Irfan, jalan pesuluk, hukum dan aturan agama serta kehidupan zuhud. Ia termasuk sufi yang menjelaskan ajarannya secara sistematis dan terstruktur. Ia dikenal sebagai sufi mazhab "sadar dan terjaga". Khawaja Abdullah Ansari mengatakan, "Apa yang dilontarkan oleh Mansur al-Hallaj, aku juga sampaikan. Tapi bedanya, ia menyampaikan terang-terangan, sedangkan aku tersirat".

Mansur Al-Hallaj, termasuk arif besar yang terkenal dengan syathiyatnya "Ana Al-Haq". Oleh Karena itu, ia dituding kafir oleh pihak lain. Khawaja Abdullah Ansari sendiri menyakini apa yang dipahami oleh Al-Hallaj, tapi perbedaannya tidak disampaikan secara vulgar, dan diungkapkan melalui rumus dan isyarat.
Selain itu, meskipun Khawaja Abdullah Ansari seorang sufi besar, tapi dalam kehidupannya tetap memegang teguh syariat. Sebab ia berkeyakinan bahwa tasawuf seirama dengan dan syariat. Untuk meraih hakikat tidak akan bisa tercapai tanpa melalui syariat.
Pembahasan terpenting dalam Munajat Nameh meliputi: tauhid, alam semesta, manifestasi dzat dan sifat Tuhan, serta cinta dan inayah Tuhan. Khawaja Abdullah Ansari dalam risalahnya menyatakan, "Tauhid bukan yang diucapkan dengan lisan; Tauhid terbenam dalam diri."