Pesona Iran yang Mendunia (109)
Di bagian ini masih melanjutkan mengenai salah seorang penyair terkemuka Iran abad ke-13 Masehi, Fakhruddin Iraqi.
Sheikh Fakhruddin Ibrahim Bozorgmehr bin Abdul Ghafar Hamedani, yang dikenal sebagai Fakhruddin Iraqi dilahirkan di daerah Komajan yang berada di sekitar kota Hamadan. Kebanyakan peneliti seperti Said Nafisi menyebut kelahiran Fakhruddin Iraqi tahun 610 H (1213 M). Di usia lima tahun ia mampu menghafal Al-Quran dan mampu melantunkan syair yang indah. Ketika masih berusia 8 tahun, dia sudah terkenal di Hamadan. Setelah menyelesaikan pendidikan Alqurannya, Irak pergi ke Hamedan untuk melanjutkan pendidikannya. Di usia tujuh belas tahun, Fakhruddin sudah menguasai berbagai ilmu keislaman dan mulai mengajar di Hamadan.
Fakhruddin Iraqi dalam karyanya Lamaat berbicara tentang cinta dengan ekspresi yang berapi-api, dan prosanya kadang-kadang menjadi sangat dekat dengan puisi. Menurut Profesor Zarrin Koub, "Ada beberapa potongan prosa Sufi dalam bahasa Persia yang dapat dibaca sebagai puisi prosa; misalnya munajat Khawaja Abdullah Ansari, sawanih Ahmad Ghazali, Tamhidat Ain al-Qadat Hamedan, dan lamaat Iraqi. Teks-teks ini sebenarnya adalah puisi mistis dalam bentuk teks yang disampaikan. ”
Lamaat dari sisi struktur bahasa terdiri dari kombinasi prosa dengan syair lebih mirip dengan Sawanih Ahmad Ghazali dan popularitasnya menyamai Golestan Sa'adi; tapi secara isinya mengikuti Fusus al-Hikam Ibn Arabi. Kitab Lamaat Fakhruddin Iraqi sesuai dengan dua puluh tujuh Fusus Al-Hikam dengan tema khusus pengetahuan irfani.
Fakhruddin Iraqi menulis bukunya sebagai hasil dari inspirasi yang diterimanya dalam salah satu kuliah Sadr al-Din Qunawi tentang pemikiran Ibn 'Arabi. Menurut Sayyed Hossein Nasr, buku ini lebih efektif daripada buku lain dalam memperkenalkan pemikiran Ibn Arabi dalam bahasa Persia.
Pengantar kitab Lamaat menunjukkan bahwa pemikiran Ibn al-Arabi diperkenalkan melalui karya Fakhruddin Iraqi dan Sadr al-Din Qunawi. Sadr al-Din Qunawi, putra angkat dan murid Ibnu Arabi. Sedangkan Fakhruddin Iraqi menjadi penerjemah gagasan mistis Ibnu Arabi dalam bahasa Persia.
Sheikh Fakhruddin Iraqi dengan baik memahami pandangan Ibnu Arabi dan menerjemahkan dalam bentuk kombinasi prosa dan syair dalam karyanya Lamaat. Sheikh Fakhr al-Din setiap hari mendengarkan ceramah Fusus dan menuliskannya dalam bentuk bab-bab di Lamaat. Ia mengatakan, "Fakhruddin Iraqi menjelaskan rahasia perkataan orang besar, dan Lamaat sejatinya menjelaskan Fusus."
Penulis kata pengantar kitab Lamaat mengikuti menggambarkan prosa dari bagian-bagian itu dengan berlebihan. Tetapi kata-kata Iraqi sendiri lebih tulus dan realistis. Misalnya, ia mengatakan "Beberapa kata mengenai hierarki cinta berdasarkan buku Sawanih Ahmad Ghazali yang ditulis dalam bahasa hari ini mengenai cinta dan pencinta,".
Berdasarkan pengakuan Fakhruddin Iraqi sendiri, karyanya dalam bentuk prosa dan syair banyak dipengaruhi oleh Sawanih Ahmad al-Ghazali (wafat 520 H), dan karyanya lamaat ditulis mengikuti kitab tersebut. Tentu saja, tingkat ketebalan karya Sawanih lebih lebih besar. Meskipun demikian, Lamaat memiliki karakteristik tersendiri, terutama dalam kemampuannya menyampaikan metafora.
Iraqi berusaha mengekspresikan pemikiran Ahmad al-Ghazali dalam karyanya Lamaat sehingga dengan mudah memahaminya oleh pembacanya. Meskipun demikian, tidak kehilangan tingkat kedalamannya. Makna yang mengalir seperti sungai besar mengalir terlihat dalam berbagai ungkapan yang jelas yang hanya diketahui oleh penulis dan orang-orang tertentu saja maknanaya. Di seluruh karyanya, Lamaat, prinsip ini terus dijaga dan pemikiran panjang Ibn 'Arabi telah diungkapkan di dalamnya. Pemikir kontemporer Iran, Seyyed Hossein Nasr, mengatakan,"Ijaz seperti ini bisa dilihat dalam misteri Golshan- Raz, Sheikh Mahmoud Shabestari, yang juga mengumpulkan ide-ide Ibn 'Arabi dalam keindahan yang sangat jernih dan menawan. "
Hingga kini muncul berbagai syarah kitab Lamaat, salah satunya adalah karya Jami berjudul Ashahtul lamaat yang juga termasuk buku teks tasawuf pemikiran Ibnu 'Arabi.
Jami dalam karnyanya menyebutkan Iraqi sebagai Sheikh Mosanif. Meskipun ia penulis lain dengan memeanfaatkan syarah yang ditulis pemikira lainnya. Tapi, Jami berhasil menggunakan puisinya untuk menerjemahkan pemikiran ibnu Arabi ke dalam bahasa Persia dan membuat komentarnya sendiri.
Meskipun karya prosa Jami bukan tanpa kerumitan, tetapi seperti yang ditulis Jami sendiri, "kata-kata berpadu dengan ekspresi yang menyenangkan, keteraturan dan prosa, Arab dan Persia mengenai irfan. Kebangkitan kesadaran, yang mengungkapkan tentang rahasia. "
Dalam bukunya, Jami menunjukkan bahwa ia telah membaca dan memberikan komentar terhadap karya Iraqi. Dia percaya bahwa karya-kaya Iraqi, meskipun padat dan menarik, lebih dipahami daripada syarah yang ditulis mengenai lamaat. Dalam hal ini, Jami mengatakan, "Ketika menemui masalah umum dan menemukan pertanyaan sulit, saya akan merujuk syarah sehingga segalanya bisa bisa dipahami, maupun diartikulasi."(PH)