Pesona Iran yang Mendunia (65)
Abu Ismail Abdullah bin Mansur Ansari dikenal dengan karyanya Manazil Al-Sairin. Buku yang ditulis dalam bahasa Arab tahun 475 Hq ini menjelaskan mengenai tahap-tahap perjalanan menjadi seorang pesuluk hingga mencapai hakikat. Sebelum menulis buku Manazil Al-Sairin, Khawaja Abdullah Ansari telah menulis buku Sad Meydan (100 tahapan pesuluk) di tahun 448 Hq. Di kedua buku tersebut, Khawaja Abdullah Ansari menjelaskan tingkatan-tingkatan apa saja yang harus ditempuh dari awal hingga akhir oleh seo
Hingga kini, buku tersebut masih menjadi panduan klasik irfan amali karena karakteristiknya yang sangat sistematis mengenai tahapan-tahapan yang harus ditempuh oleh seorang pesuluk. Khawaja Abdullah Ansari menjelaskan 10 bab dan setiap bab terdiri dari 10 tangga yang harus ditempuh, sehingga seluruhnya ada 100 tahapan.
Salah satu pembahasan dalam kedua buku tersebut adalah masalah Faqr (miskin ) dan Gina (kaya). Dua masalah ini dalam sastra Farsi, terutama dalam karya sufistik memiliki sejarah yang panjang dan kedudukan khusus. Faqr secara istilah bermakna tidak punya atau tidak memiliki. Sebaliknya, Gina bermakna memiliki dan tidak membutuhkan.
Dalam pandangan sufistik, kaya bermakna tidak membutuhkan dan secara hakikat dan hanya Allah swt semata. Sedangkan kaya secara khusus bagi manusia adalah kaya hati atau disebut sebagai gina qalb. Artinya, orang dalam kedudukan ini dalam hatinya tidak membutuhkan pihak lain kecuali Allah swt, dan hanya Allah-lah yang Maha Kaya.
Khawaja Abdullah Ansari dalam buku Sad Meydan menjelaskan kedudukan Gina dengan bersandar kepada al-Quran surat 93 ayat ke-8. Gina bermakna mampu dan kaya. Artinya kemampuan seorang hamba dari tiga hal, yaitu: kaya harta, kaya diri dan kaya hati.
Pengertian kaya harta yang dimaksud oleh Khawaja Abdullah Ansari berbeda dengan pemahaman yang diyakini masyarakat awam. Dengan kacamata sufistiknya, Khawaja Abdullah memiliki definisi lain. Menurutnya, harta yang melimpah menjadi sarana manusia berbuat kerusakan dan penentangan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, mata mereka senantiasa tertuju kepada harta yang menjadi tujuan hidupnya. Bahkan, menurut Khawaja Ansari, jika harta itu didapatkan secara halal sekalipun.
Khawaja Abdullah Ansari memberikan petuah kepada para pesuluk supaya tidak menumpuk-numpuk harta sehingga selamat dari bencana. Beliau meyakini kaya harta adalah mencukupi kebutuhan materialnya dengan bekerja dan berusaha, tapi tidak menjadikan harta sebagai tujuan dengan menumpuk harta sebanyak-banyaknya.
Tahap kaya kedua menurut Khawaja Abdullah Ansari adalah kaya diri. Hijab paling sulit bagi para pesuluk adalah masalah dirinya sendiri. Sebab, orang yang masih memperturutkan dirinya sendiri akan sulit melangkah mencapai ridha Allah swt.
Menurut keyakinan Khawaja Abdullah Ansari, Gina Nafs adalah tidak membutuhkan dirinya sendiri, dan hanya membutuhkan al-Haq. Seorang pesuluk ketika mencapai kedudukan kaya diri, maka ia tidak membutuhkan manfaat dari dunia ini, dan hatinya hanya terhubung dengan al-Haq.
Kedudukan tertinggi dari kaya harta dan kaya diri adalah kaya hati atau Gina Qalb. Pesuluk yang kaya harta dan kaya diri adalah orang yang kaya. Tapi itu saja belum cukup, ada tangga selanjutnya yang harus ditempuh, yaitu kaya hati dengan menghilangkan seluruh kebutuhan dalam dirinya selain Allah swt.
Hati pesuluk tidak membutuhkan dunia dan isinya, sebab ia memiliki yang Maha kaya, yaitu Allah swt. Menurut Khawaja Abdullah Ansari, hamba yang telah sampai pada kedudukan ini memiliki sifat tenang yang luas, bahkan melampaui tujuh langit dan bumi.
Di sisi lain, faqir bermakna kebalikan dari Gina. Dalam Irfan, faqir adalah kebutuhan terhadap Allah swt. Faqir dalam hal ini tidak bermakna membutuhkan dunia. Arif yang mencapai kedudukan faqir sejati adalah menyandarkan kebutuhannya terhadap Tuhan, dan dari sanalah muncul kekayaan hakiki.
Sebagian sufi, termasuk Khawaja Abdullah Ansari mensyaratkan para pesuluk dibekali ilmu yang memadai. Sebab, tanpa ilmu mereka akan tersesat karena kebodohannya. Salah satu masalah yang sangat ditekankan oleh Khawaja Abdullah Ansari adalah masalah urgensi ilmu dalam perjalanan sufistik. Pasalnya, orang-orang yang menjadi pesuluk tanpa memiliki ilmu yang memadai sebelumnya, kebanyakan cenderung menempuh jalan keliru dan tersesat.
Terkait masalah tersebut, Khawaja Abdullah Ansari menuturkan, "Ilmu bagi seorang arif adalah komitmen, tapi tanpa ilmu seorang arif akan tersesat,". Menurut Khawaja Abdullah Ansari, kebodohan bagi seorang arif laksana racun yang bisa membunuh pesuluk itu sendiri.
Khawaja Abdullah Ansari memandang ilmu sebagai lentera penerang yang menerangi jalan pesuluk. Meskipun demikian, beliau menentang penumpukkan ilmu tanpa marifat. Menurut Khawaja Ansari, marifat adalah tangga yang akan membantu pesuluk mencapai tahapan tertinggi. Oleh karena itu, jalan pesuluk tidak boleh berhenti hanya di tingkat ilmu semata. Tapi harus menjadikan ilmu sebagai jalan menuju marifat dan mengenali hakikat. Perjalanan irfani adalah bagaimana pesuluk deegan bantuan ilmu dan marifat menaiki tangga-tangga menuju Tuhan.
Penjelasan lain yang disampaikan Khawaja Abdullah Ansari dalam buku Sad Maydan dan Manazil Al-Sairin adalah masalah tawakal. Dalam istilah agama, tawakal termasuk pembahasan akhlak dan Irfan. Dalam kamus Dekhoda, tawakal diartikan sebagai mempercayai dan bersandar, atau mempercayai orang lain dan mengakui ketidakmampuannya.
Dalam terminologi irfan, tawakal memiliki makna khusus. Tawakal bermakna menyerahkan suatu perkara kepada pihak lain yang kita percayai. Pihak lain itu tentu saja harus terpercaya, dan memiliki kemampuan untuk melakukannya. Dalam pandangan Irfan, parameter mengenal tawakal adalah mempercayai Allah swt dan meyakininya, serta melepaskan dari yang lain.
Menurut Khawaja Abdullah Ansari, Taslim lebih tinggi kedudukannya dari tawakal, sebab ia telah menyerahkan seluruhnya kepada Tuhan swt. Beliau menilai seluruh urusan manusia seperti agama hingga kebutuhan hidupnya diserahkan kepada Allah, dan sepanjang hidupnya menempuh perjalanan yang sulit dan berat hingga mencapai kedudukan tinggi.
Khawaja Abdullah Ansari memandang tawakal untuk orang awam, sedangkan taslim untuk orang khusus. Maksud dari orang awam menurut beliau adalah para pesuluk atau murid-muridnya yang telah menempuh jalan irfani dengan melalui perjalanan yang berat dan sulit untuk mencapai hakikat dan meraih maqam tawakal. Tapi Taslim adalah para pencinta Haq, dan mereka telah menikmati perjumpaan.
Dalam pandangan Khawaja Abdullah Ansari, pesuluk yang bertawakal masih di perjalanan. Sebab dirinya hanya menyerahkan urusannya kepada al-Haq, tapi dirinya dan nasibnya diserahkan kepada al-Haq. Tapi orang yang sudah taslim telah menerima kebaikan al-Haq dan mencapai ketenangan. Ia menyerahkan dirinya kepada al-Haq, dan keinginannya pun diserahkan kepada Al-Haq. Sebab ia percaya, baik dan buruk bukan ditentukan oleh akal, tapi ditetapkan oleh Allah swt bagi hamba-Nya yang merupakan kebaikan mutlak.(PH)