Pesona Iran yang Mendunia (72)
Muhammad bin Muhammad bin Yahya, yang lebih dikenal dengan nama Abu Al-Wafa Buzjani, adalah seorang matematikawan dan astronom terkemuka Muslim Persia di abad keempat Hijriah atau abad kesepuluh Masehi. Ia dilahirkan pada satu Ramadhan 328 Hq di kota Buzjan, Torbat Jam, provinsi Khorasan, Iran.
Abu Al-Wafa belajar matematika tingkat dasar di kota kelahirannya Buzjan dari paman dan uaknya. Kedua orang itu, dikenal sebagai matematikawan terkemuka di masanya. kemudian Abu Al-Wafa meninggalkan tanah kelahirannya menuju Baghdad untuk melanjutkan menuntut ilmu dari para ilmuwan terkemuka, sekaligus merintis karir intelektualnya di sana. Dalam waktu yang relatif singkat, ia dikenal sebagai seorang ilmuwan matematika dan astronom terkemuka. Masyarakat memanggil Abu Al-Wafa dengan sebutan “Hasib” dan “Mohandes”.
Di bidang matematika, terutama trigonometri dan astronomi, Abu Al-Wafa tidak hanya fasih memahami dan menjelaskan kembali karya-karya pemikir sebelumnya dari Iran, Yunani dan India. Tapi lebih dari itu, ia berhasil mengembangkannya dengan terobosan signifikan dari sisi teori dan juga terapan matematika di bidang astronomi.
Abu Al-Wafa Buzjani hidup di era ketiga tahapan penyempurnaan disiplin ilmu matematika. Karyanya dengan jelas menunjukkan karakter periode tersebut. Secara umum, proses penyempurnaan disiplin ilmu matematika hingga periode Abu Al-Wafa mengalami tiga tahapan.
Tahapan Pertama, periode abad kelima dan keenam sebelum masehi yang dikenal sebagai matematika pra-Yunani. Ketika itu, matematika dipergunakan sebagai pengetahuan praktis untuk kebutuhan masyarakat seperti keahlian berhitung dalam transaksi perdagangan dan lainnya.
Bersamaan dengan itu, mulai disusun definisi dan pembahasan masalah teoritis dalam bentuk yang sangat sederhana dan belum sistematis.Tampaknya berbagai bangsa dunia memiliki kontribusi besar terhadap penyempurnaan periode tersebut.
Tahapan kedua berlangsung sekitar sepuluh abad dan jantung perkembangannya terletak di Yunani, kemudian di Macedonia. Periode ini memiliki arah teroritis yang lebih jelas dari tahapan sebelumnya. Pada periode kedua ini, argumentasi logika deduksi menggantikan pengalaman dan induksi.
Selanjutnya, tahapan ketiga dari proses penyempurnaan matematika, yang dimulai di era pertengahan abad kedua hingga akhir abad 10 Hijriah, atau pertengahan abad kedelapan Masehi hingga akhir abad kelima belas Masehi.
Pada periode ini, kecenderungan matematika mengarah menuju aspek terapan, tapi mengalami penajaman teoritis. Berbeda dari dua periode sebelumnya, di era ini mengalami kemajuan pesat dan relatif berhasil mengatasi berbagai kelemahan dari teori terdahulu, dan bererientasi penerapan praktis.
Pada periode ketiga, aspek teoritis matematika semakin diperkaya dan disempurnakan. Melebihi periode sebelumnya, pada fase ini para matematikawan berhasil menyelesaikan berbagai masalah matematis pada tingkat yang sangat sulit. Pekerjaan paling sulit dari penelitian matematika pada periode ini berada di pundak ilmuwan Muslim Iran.
Deretan nama besar seperti Ibnu Musa, Khawarizmi hingga Ghiyath Al-Din Jamshid Kashani memberikan arah yang baik bagi penyempurnaan matematika, sekaligus membentangkan jalan yang lapang bagi periode keempat dengan munculnya para ilmuwan matematika di negara-negara Barat.
Para ilmuwan Iran bukan hanya berperan sebagai penerjemah karya-karya matematika para ilmuwan Yunani. Tapi, mereka menyelamatkan warisan ilmu pengetahuan berharga itu, dan menyempurnakannya hingga sampai ke tangan saintis Barat, dan lahirnya matematika modern dewasa ini.
Lebih dari itu, para ilmuwan Iran juga memperkaya pembahasan matematika dengan memberikan penguatan teoritis pada disiplin ilmu matematika. Selain penguatan pada sisi teori, mereka meletakkan metode baru, dan mengarahkan matematika menuju aplikasi terapan seperti yang dilakukan Abu Al-Wafa dalam disiplin ilmu astronomi.
Sejarawan sains menamai abad keempat Hijriah atau abad kesepuluh Masehi sebagai abad “Era Keemasan Peradaban Islam”. Sebab, pada periode yang bertepatan dengan naiknya dinasti Al-Buyeh atau Buyid di Irak dan sebagian wilayah di Iran tersebut, ilmu pengetahuan dan filsafat berkembang pesat di dunia Islam.
Di bidang matematika dan astronomi terjadi kemajuan gemilang yang dicapai para ilmuwan di masa itu. Para sastrawan dan agawaman duduk bersama membahas berbagai masalah penting. Ketika itu, dinamika keilmuan mengalami lompatan besar karena didukung iklim intelektual yang kondusif berkat perhatian yang besar dari dinasti Al-Buyeh, Adud Al-Dawla terhadap ilmu pengetahuan.Di masa itu, berdiri sekolah dan bertebaran para ilmuwan terkemuka di berbagai bidang.
Di masa itu, Baghdad adalah pusat ilmu pengetahuan sekaligus tempat bertemunya para ulama dan ilmuwan di berbagai bidang. Selain terjadi penerjemahan besar-besaran karya-karya ilmuwan Yunani dan pemikir sebelumnya, para ilmuwan Muslim di Baghdad memberikan komentar dan catatan atas karya-karya sebelumnya. Lebih dari itu, mereka menyempurnakannya dengan menelorkan pandangan baru.
Adud Al-Dawla mengumpulkan para filsuf, ilmuwan dan ulama di sekitarnya untuk membantu kemajuan negara. Ia juga mendukung penulisan karya ilmiah di berbagai bidang. Meskipun sebagian besar karya-karya ilmuwan ditulis dalam bahasa Arab, tapi ia memiliki perhatian sangat besar terhadap budaya Iran, dan berkomitmen tinggi untuk menghidupkannya.
Iklim intelektual yang kondusif ketika itu menyebabkan para ilmuwan dan ulama yang tersebar di berbagai wilayah di Iran berdatangan ke Baghdad. Salah satunya adalah Abu Al-Wafa Buzjani, yang meninggalkan tanah kelahirannya di Khorasan menuju Baghdad, sebagai pusat ilmu pengetahuan ketika itu.
Selain mendukung kemajuan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan terjadinya penyempurnaan disiplin ilmu, Adud Al-Dawla sangat menekankan aspek praktis dari ilmu pengetahuan untuk perbaikan tarap hidup masyarakat. Oleh karena itu, periode ilmu alam dan matematika waktu itu bukan semata untuk memuaskan naluri intelektual para ilmuwan, tapi lebih dari itu berangkat dari tuntutan kemajuan masyarakat. Selain kecintaannya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, Adud Al-Dawla juga menjalin hubungan persahabatan dengan para ilmuwan dan ulama.
Perhatian besar Adud Al-Dawla terhadap ilmu pengetahuan dilanjutkan oleh anaknya bernama Sharaf al-Dawla. Ia mengadopsi semangat ayahnya dalam mendukung para sarjana matematika dan astronomi dengan memerintahkan pembangunan sebuah observatorium di taman istananya. Tapi kemudian, observatorium itu ditutup setelah kematian Sharaf Al-Dawla.
Ketika itu, Abu al-Wafa bekerja bersama dengan ilmuwan lain di observatorium tersebut. Di antara instrumen di observatorium adalah kuadran panjang lebih dari enam meter dan sekstan batu delapan belas meter, yang merupakan contoh pertama dalam sejarah di mana kuadran dinding digunakan untuk pengukuran akurat dari jarak sudut dari khatulistiwa terhadap letaknya di tengah antara titik tetap dari kutub Utara dan Selatan. Hal ini diyakini sebagai penemuan Abu al-Wafa sendiri.
Abu Al-Wafa menulis buku mengenai pengantar matematika berjudul Fima Yahtaj Ilayhi al-kuttub wal-ummal min `ilm al-hisab. Di pengantar buku ini, ia menulis bahwa bukunya bisa dipergunakan untuk berbagai kalangan baik profesional, maupun masyarakat awam dengan berbagai latar belakang, seperti pegawai pemerintah, pekerja pajak tanah, dan pedagang di pasar, serta berbagai jenis pekerjaan yang membutuhkan perhitungan matematis.
Penulisan buku ini menunjukkan perhatian besar Abu Al-Wafa terhadap pengembangan disiplin ilmu matematika, yang tidak hanya berkutat pada aspek teroritis saja, tapi juga mempertimbangkan sisi terapannya, dan manfaat yang bisa diperoleh masyarakat dari karyanya.(PH)