Mar 11, 2019 20:15 Asia/Jakarta
  • Abū Jaʿfar Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī
    Abū Jaʿfar Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī

Abū Jaʿfar Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī dilahirkan di kota Amol, wilayah utara Iran di tahun 224 Hq. Sejak kecil, Tabari dikenal memiliki kecerdasan tinggi dan sangat tekun belajar. Hingga usia 12 tahun, Tabari menuntut ilmu dasar di tempat kelahirannya. Tapi kemudian, atas saran ayahnya, ia meninggalkan Amol untuk meneruskan menuntut ilmu agama ke kota lain.

Ketika itu, kota Ray menjadi pusat pendidikan di Iran. Tabari muda belajar ilmu hadis dari Muhammad bin Razi, dan belajar sejarah Islam kepada Muhammad bin Ishaq Vaqidi. Dia juga mengunjungi daerah lain sekitar Ray untuk berguru kepada para ulama di bidangnya masing-masing.

Tabari menuturkan perjalanan hidupnya, "Saya belajar sejarah kepada Ahmad bin Hamad Dulabi. Setiap hari saya pergi ke salah satu desa sekitar Ray untuk belajar kepada Sheikh Ahmad. Saya duduk sangat antusias mendengarkan pelajaran hadis Muhammad bin Hamid Razi,".  

Sumber tertua, lengkap dan paling otoritatif mengenai kehidupan Tabari disampaikan Ibnu Nadim dalam bukunya "Al Fihrist" yang ditulis tahun 344 Hq, sekitar 64 tahun setelah kematian Tabari. Selain menjelaskan mengenai kehidupan Tabari, Ibnu Nadim juga menyebut beberapa nama murid dan pengikut beliau, terutama mazhab fiqh yang didirikannya, Jaririah.

Tabari meneruskan studi ke Baghdad untuk menimba ilmu kepada Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal. Tapi ketika tiba di kota Baghdad, Sheikh Hanbal dalam kondisi sakit, dan beberapa hari menjelang kematiannya.

Kemudian Tabari meninggalkan Baghdad menuju daerah antara Bashrah dan Kufah untuk menuntut ilmu hadist kepada para ulama terkemuka di kota itu, termasuk di antaranya Muhammad bin A'la Hamedani. Setelah itu, Tabari kembali ke Baghdad menjadi seorang faqih yang memberikan fatwa bagi masyarakat.

Tingginya semangat Tabari untuk menuntut ilmu membawanya meninggalkan Baghdad menuju Transoxiana. Ia juga mengunjungi Mesir untuk bertemu dengan para ilmuwan di wilayah itu. Perjalanannya menuju Mesir melalui Suriah dan Beirut.

Akhirnya, ia tiba di Mesir di era pemerintahan Ahmad ibn Tulun pada tahun 253 Hq. Tabari berada di Mesir selama tiga tahun. Ia belajar kepada sejumlah ilmuwan di Mesir. Di sana, Tabari juga menulis hadis dari Anas bin Malik dan Syafie.

Perjalanannya ke berbagai wilayah dan pertemuannya dengan para ilmuwan dimanfaatkan untuk menimba ilmu termasuk sejarah yang menjadi bahan karya magnum opusnya, "Tarikh Al-Rusul wa al-Muluk" yang terkenal dengan sebutan Tarikh Tabari.

 

Kitab Tarikh Tabari

Karya sejarah ini menghabiskan waktu Tabari sekitar 40 tahun. Setiap hari ia mengumpulkan empat puluh lembar bahan sejarah untuk bukunya tersebut. Buku sejarah ini dipenuhi informasi penting dan salah satu referensi tertua mengenai sejarah dunia.

Meskipun demikian ada juga kritikus yang menghubungkan keyakinan agama yang dianutnya dengan karya sejarah tersebut yang dinilai bias dalam beberapa masalah. Kemahiran Tabari dalam sastra menunjukkan kematangannya dalam menyusun buku sejarah yang menempatkan Tarikh Al-Rusul wa al-Muluk sebagai salah satu buku sastra klasik.

Kitab dengan nama lain Al-Umam wa al-Muluk ini terdiri dari dua bagian yaitu sejarah dunia dan sejarah Islam. Sejarah dunia dimulai dari awal penciptaan manusia hingga di masa hidupnya.

Para sejarawan tidak menyebutkan secara rinci tanggal penulisan karya monumental ini. Tapi yang jelas disusun setelah Tabari menulis kitab tafsirnya yang selesai tahun 290 Hq. Cerita para nabi dari Nabi Adam dan Hawa, Habil dan Qabil, dan para Nabi dari Nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Saw diuraikan dengan terang.

Kemudian Tabari menjelaskan sejarah umat manusia dan sejarah Iran. Ia juga menjelaskan pandangan orang-orang mengenai penciptaan manusia, termasuk mitologi yang berkembang ketika itu.

Penjelasan Tabari mengenai sejarah Iran bersandar pada sumber-sumber dari Iran. Sejarah dinasti Sasanid lebih rinci diuraikan oleh Tabari dibandingkan penjelasan penguasa Iran sebelumnya. Sejarah bangsa lain, seperti sejarah bangsa Yaman juga dipaparkan Tabari dalam karyanya itu.   

Tabari hidup di zaman perkembangan peradaban Islam. Di masanya, banyak ilmuwan Muslim yang tersebar di berbagai wilayah yang dikuasai pasukan Muslim.

Buku sejarah karya Tabari dipenuhi nama-nama ilmuwan terpercaya yang memberikan kontribusi besar terhadap pengayaan bahannya. Misalnya, Waqidi yang dijadikan rujukan oleh Tabari menempatkan karyanya di jajaran buku sejarah terpercaya.

Selain itu, karakteristik lain dari karya sejarah Tabari menunjukkan independensinya sebagai ilmuwan yang tidak mudah diintervensi kepentingan politik dinasti Umayah yang berkuasa saat itu.

 

Tafsir Tabari 

Selain sejarah, Tabari juga memiliki karya di bidang lain seperti ilmu hadis, fiqh dan tafsir Al-Quran. Karyanya di bidang tafsir al-Quran berjudul "Jāmiʿ al-Bayān an Taʾwīl āy al-Qurʾān". Tapi kitab tafsir al-Quran ini lebih dikenal dengan sebutan "Tafsir Tabari".

Sebagaimana otoritas sejarahnya,Tafsir al-Tabari terkenal karena kelengkapan dan kutipan dari sumber-sumber ganda yang terkadang saling bertentangan. Meskipun demikian, Tabari tidak ragu untuk menyatakan penilaian independennya. Tafsir Tabari diterjemahkan ke bahasa Farsi oleh sekelompok ulama dari Transoxania atas perintah raja dinasti Samanid, Mansur I (961–976).

Tafsir Tabari memberi informasi lengkap yang mencakup kamus, catatan sejarah, hukum, teologi, dan sastra Arab yang membuatnya menjadi kitab yang sangat direferensikan sepanjang sejarah. Para sarjana termasuk Suyuti menyatakan kekagumannya terhadap tafsir Tabari yang dipandang sebagai salah satu tafsir yang paling berharga.

Di bidang ilmu hadis, Tabari juga diakui oleh para ulama otoritatif di zamannya. Ketekunannya menelaah hadist menghasilkan karya berjudul "Tahdhīb al-Āthār" yang memuat hadist-hadist Nabi Muhammad Saw. Al-Kattani menggambarkannya sebagai salah satu karya luar biasa al-Tabari, meskipun tidak selesai.

Al-Tabari mengumpulkan hadits-hadits yang dinilai otentik dari masing-masing sahabat Nabi disertai jalur periwayatan serta penilaian validitasnya. Di bidang fiqh, Tabari awalnya diidentifikasi sebagai seorang pengikut Syafi'. Tapi kemudian mendirikan mazhab fiqh sendiri bernama Jaririah. Ibnu Nadim dalam kitabnya "Al-Fihrist" memasukkan Tabari sebagai pemuka mazhab fiqh Jaririah.

Karya lain Tabari berjudul "Al-Fadhail" menjelaskan kehidupan Khalifah Rasyidin, dan penilaiannya tentang validitas hadis Ghadir yang menunjukkan keutamaan Imam Ali. Selain itu, Tabari juga menghasilkan karya di antaranya: Al-Fasl baina al-Qira'ah, Kitab Dzil al-Madzil dan lainnya. Tabari meninggal dunia pada Senin 26 syawal 310 Hq, dan dimakamkan di rumahnya di Baghdad.(PH)

 

Tags