Upaya Teror terhadap Ayatullah Sistani
Unjuk rasa di beberapa kota di Irak termasuk di Baghdad, ibu kota negara ini meletus pada hari Senin, 30 September 2019. Demonstrasi untuk memprotes pengangguran, korupsi dan persoalan ekonomi lainnya itu berakhir ricuh dan menyebabkan puluhan orang tewas dan terluka.
Bukti-bukti ditemukan bahwa unjuk rasa itu bukan terjadi secara spontan, namun ada pihak-pihak asing yang berperan atas meletusnya kerusuhan di Irak. Di tengah-tengah kerusuhan tersebut, ada upaya pihak tertentu untuk melancarkan teror dan pembunuhan terhadap tokoh terkemuka Irak.
Jaringan televisi Lebanon, al-Mayadeen mengutip Gubernur Provinsi Najaf Luay al-Yassiry menyebutkan bahwa pada hari Jumat, 4 Oktober 2019, tim teror berencana membunuh ulama terkemuka Syiah, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Sistani di kota suci Najaf, yang terletak sekitar 160 kilometer selatan Baghdad, ibu kota Irak dan telah menyusup ke bagian kota lama untuk tujuan tersebut.
Menurut gubernur Najaf, tim yang ditugasi untuk mengacaukan keamanan di kawasan pemukiman Marja' Besar Irak telah ditangkap. Mereka ditahan usai memasuki sektor lama kota Najaf.
Sementara menurut stasiun televisi al-Alam, sejumlah pengunjuk rasa menyusup ke daerah tempat tinggal Ayatullah Sistani. Tujuan mereka adalah mendorong pengunjuk rasa ke tindakan anarkis dan meneror ulama panutan rakyat Irak tersebut. Namun aparat keamanan Najaf sukses menangkap para perusuh itu.
Sebelumnya, ulama terkemuka Irak tersebut mendesak pasukan keamanan dan pengunjuk rasa untuk menghindari kekerasan, dan menyatakan prihatin atas terjadinya kerusuhan sporadis yang menyebabkan korban jiwa dan luka.
"Sangat menyedihkan ada begitu banyak kematian, korban dan kehancuran akibat bentrokan antara demonstran anti-pemerintah dan pasukan keamanan dalam beberapa hari terakhir," ungkap Ayatullah Sistani dalam suratnya.
Dalam surat yang dibacakan oleh wakilnya, Ahmed al-Safi, dalam khutbah di kota Karbala, Ayatullah Sistani mendesak semua pihak untuk menghindari kekerasan.
Ulama besar Syiah itu mengkritik para pejabat dan elit politik yang dinilainya gagal merespon tuntutan rakyat untuk memerangi korupsi, dan mendesak mereka agar mengindahkan tuntutan para pemrotes sebelum terlambat.
"Anggota parlemen memegang tanggung jawab terbesar atas apa yang terjadi," tulis Ayatullah Sayid Sistani.
Di sisi lain, Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga stabilitas nasional yang sedang diganggu dari luar.
"Keamanan yang terganggu akan menghancurkan seluruh negara. Menjaga 'rumah besar' ini tanggung jawab kita semua," ujar PM Irak hari Jumat (4/10/2019).
Dalam pidato yang disampaikan kepada rakyat Irak melalui siaran televisi nasional negara ini, Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi mengungkapkan supaya masyarakat tidak memperhatikan plot sebagian pihak yang berusaha mengembalikan militerisme di negaranya.
"Periode ilusi ini sudah berakhir, dan kita telah membayar mahal ilusi ini dengan darah dan harta kita semua, kini saatnya membangun masa depan kita," ujar Adel Abdul Mahdi.
PM Irak mengungkapkan, berdasarkan rencana pemerintahan baru, setiap keluarga yang tidak memiliki penghasilan yang cukup akan diberi gaji bulanan untuk memenuhi mendasar setiap keluarga Irak.
Adel Abdul Mahdi juga meminta pemrotes menghormati hukum, karena menjaga keamanan dan stabilitas nasional berada di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Sebuah laporan menyebutkan bahwa 79% dari Hashtag (tagar) di Twitter terkait protes di Irak berasal dari Arab Saudi dan hanya 6% berasal dari Irak, di mana ini sangat berbeda dengan klaim bahwa demonstrasi akhir-akhir ini spontan.
Waktu dimulainya protes yang menjelang Pawai Besar Arbain membangkitkan kecurigaan, sebab temuan baru menunjukkan bahwa Arab Saudi beralih ke ruang cyber untuk merangsang publik melalui media sosial.
Hanya 6% dari seruan untuk demonstrasi jalanan berasal dari Irak, sementara yang dominan dari Arab Saudi di mana hampir 80% dari konten media sosial dirancang dan diposting.
Ini bukan hal baru bahwa Arab Saudi menggunakan puluhan bot Twitter yang tugasnya dalam skala besar adalah mengajak demonstran bergabung dalam aksi demonstrasi jalanan.
Bahkan volume tagar yang dikirim dari Kuwait lebih besar dari Irak, 7% tweet pro-demonstran berasal dari negara kecil di selatan Irak itu. UEA, Mesir, dan AS adalah negara-negara lain yang menciptakan tweet yang mempromosikan protes anti-pemerintah di Irak. (RA)