Islamophobia di Barat (58)
Edisi kali ini akan menyelisik tentang unjuk rasa memprotes kebijakan pengetatan ekonomi serta rasisme dan akar penyebaran sentimen anti-Islam di Eropa.
Penyebaran Islamophobia dan sentimen anti-Islam di negara-negara Barat telah memicu reaksi protes. Salah satu aksi protes untuk melawan fenomena ini digelar di London. Ribuan orang dari berbagai lapisan warga Inggris turun ke jalan-jalan di kota London untuk memprotes meningkatnya serangan kebencian, rasisme, dan anti-imigran.
Para demonstran meneriakkan slogan-slogan, "Hentikan serangan rasis", "Sudah cukup untuk Islamophobia dan perang", "Tidak untuk rasisme, tidak untuk fasisme." Setelah menempuh rute panjang, mereka kemudian berkumpul di depan Kantor Perdana Menteri Inggris untuk menyampaikan tuntutannya.
Para orator dalam pidatonya mengkritik kebijakan-kebijakan yang telah menyuburkan serangan rasis dan kebencian di Inggris. Menurut mereka, salah satu kebijakan itu adalah pelaksanaan kebijakan pengetatan ekonomi dan mereka menuntut diakhirinya kebijakan tersebut.
Persoalan sosial, ekonomi, dan politik di tengah masyarakat Barat sudah saling terkait. Dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi, sosial, budaya, etnis, dan agama, masyarakat mulai kehilangan keseimbangan dan ekstremisme tumbuh dalam berbagai bentuk.
Selama beberapa dekade, masyarakat Barat khususnya di negara-negara maju Eropa selalu dipandang sebagai model toleransi di dunia dalam masalah kerukunan dengan beragam orientasi politik, etnis, dan agama. Tetapi kesan itu telah berubah di masyarakat Barat. Negara-negara maju Barat sekarang mencatat kemunduran dalam hal kerukunan antar-kelompok etnis dan agama, bahkan posisinya berada di bawah negara berkembang di dunia.
Sekarang di sebagian besar negara Barat, kita menyaksikan pertumbuhan gerakan kanan ekstrem, rasis, dan anti-Islam. Salah satu faktor meningkatnya gerakan kanan ekstrem adalah kebijakan pengetatan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Barat selama satu dekade terakhir untuk melawan krisis finansial.
Meskipun pelaksanaan kebijakan ini telah menciptakan keseimbangan dalam masalah defisit anggaran dan hutang bank, namun konsekuensi sosialnya terasa sangat besar di sebagian besar negara-negara Eropa.
Meningkatnya ketimpangan ekonomi dan pengangguran serta menurunnya daya beli masyarakat telah melemahkan nilai-nilai demokrasi liberal di Barat. Partai-partai kanan ekstrem dan anti-imigran berusaha memanfaatkan situasi ini untuk menarik dukungan rakyat.
Mereka menyalahkan imigran atas banyak persoalan, termasuk hilangnya banyak kesempatan kerja, dan menyerukan pembatasan arus imigran dan pencari suaka masuk ke negara mereka.
Secara perlahan, sikap anti-imigran dan xenophobia mulai menemukan dimensi sosial dan budaya di Eropa. Negara-negara kaya Eropa seperti Swedia dan Belanda – yang tidak begitu terdampak oleh krisis keuangan – juga mencatat sentimen anti-imigran naik secara signifikan.
Partai-partai kanan ekstrem secara mengejutkan meraih kemenangan besar dalam pemilu parlemen di Eropa. Gerakan anti-imigran secara perlahan bergeser ke arah sentimen anti-Muslim mengingat banyak dari imigran dan pencari suaka di Eropa berasal dari negara-negara Muslim.
Pemerintah-pemerintah Eropa dan kebanyakan partai kiri dan kanan moderat Eropa, memilih meningkatkan pembatasan terhadap imigran Muslim untuk memenangkan pertarungan dengan gerakan kanan ekstrem. Akibat pendekatan anti-Islam ini, warga Muslim dan pusat-pusat kegiatan umat Islam di negara-negara Eropa khususnya Inggris menjadi sasaran serangan dalam beberapa tahun terakhir.
Inggris adalah salah satu negara dengan minoritas Muslim yang paling besar di Eropa. Pertumbuhan gerakan kanan ekstrem dan anti-Islam di Inggris memicu reaksi protes dari komunitas Muslim dan kelompok pro-imigran. Salah satu bentuk reaksi itu adalah pelaksanaan demonstrasi di depan Kantor Perdana Menteri Inggris untuk memprotes kebijakan pengetatan ekonomi dan meningkatnya gerakan xenophobia dan Islamophobia.
Dalam aksinya, para demonstran menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan pengetatan ekonomi telah memicu gesekan sosial dan mereka menuntut kebijakan itu segera dihentikan.
Sejumlah peserta aksi mengatakan bahwa sentimen anti-Islam dan serangan yang disebabkan oleh kebencian dan rasisme di Inggris meningkat pasca referendum Brexit. Di antara penyebabnya adalah pidato kebencian dan anti-imigran yang disampaikan selama kampanye Brexit.
“Saya bangga menjadi bagian dari demonstrasi ini, yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat," kata seorang warga Inggris yang datang bersama ibunya. Dia menambahkan, "Meningkatnya perilaku yang disebabkan oleh kebencian sudah mengkhawatirkan. Kami menuntut dihentikannya kebijakan pengetatan ekonomi yang telah melahirkan perilaku semacam itu dan menciptakan gesekan sosial.”
Seorang wanita paruh baya dengan poster anti-rasis di tangannya juga berbicara tentang pesan yang ingin disampaikan oleh aksi protes tersebut. Menurutnya, pesan para demonstran adalah bahwa negara ini tidak boleh berubah menjadi tempat bagi kaum fasis dan rasis serta perilaku yang berbau kebencian.
Seorang pemuda Inggris mengenai tuntutannya mengatakan, warga mengikuti aksi ini dengan berbagai tuntutan. Kami menuntut agar kaum fasis dan rasis dihapus di jalan-jalan kita dan tidak memberikan tempat kepada mereka.
“Kami menginginkan digelarnya pemilihan dini dan dihentikannya pelaksanaan kebijakan pengetatan ekonomi yang telah memperluas kemiskinan di negara ini,” ujarnya.
Salah satu alasan penting pelaksanaan referendum Brexit adalah memperketat aturan masuknya imigran ke Inggris. Tuntutan ini pertama kali disuarakan oleh Partai Kemerdekaan Inggris dan kemudian Perdana Menteri Konservatif waktu itu, David Cameron melaksanakan referendum demi mendapatkan konsesi dari Uni Eropa.
Cameron sendiri mendukung agar Inggris tetap berada dalam Uni Eropa. Namun, hasil referendum bertentangan dengan harapannya, dan mayoritas warga Inggris memilih pisah dari Uni Eropa. (RM)