Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (7)
Pertumbuhan cepat Cina telah menjadi sumber ketakutan dan keprihatinan Barat, khususnya Amerika Serikat. AS khawatir akan tertinggal dalam persaingan dengan Cina dan ini jauh melampaui kekhawatiran Washington tentang ekstremisme di Asia Barat.
Para pakar di think tank (wadah pemikir) Carnegie Europe percaya bahwa Cina telah mencapai kepercayaan diri yang tinggi melalui pertumbuhan ekonomi dan pengaruh yang besar di pasar global, di mana menyebabkan munculnya perubahan serius di lingkungan strategis tatanan internasional yang merugikan AS.
Di samping mengejar pertumbuhan ekonomi, Cina juga bertekad untuk memperkuat militernya dan memodernisasi pasukan dengan meningkatkan anggaran militernya sebesar 7,5 persen pada tahun 2019 atau hampir 177 miliar dolar. Cina ingin tampil lebih unggul di hadapan Amerika terutama di Laut Cina Selatan.
Beijing sangat menyadari bahwa tantangan keamanan di Laut Cina Selatan yang semakin kompleks dengan intervensi berbagai kekuatan termasuk Amerika, akan menjadi arena utama konfrontasi bagi Cina di masa depan. Oleh karena itu, Cina ingin mengubah pasukannya menjadi tentara modern pada 2035. Mereka memangas jumlah tentaranya hingga 300 ribu personel dan membelanjakan lebih banyak untuk persenjataan baru.
Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), salah satu wadah pemikir yang paling terpercaya di bidang pertahanan global dan perdagangan senjata, mencatat bahwa Cina menduduki peringkat kedua dari segi pengeluaran militer setelah AS dan belanja militernya pada 2018 naik lima persen dibandingkan tahun 2017. Pengeluaran militer Cina pada 2018 adalah sepuluh kali lipat dari anggaran militer negara itu pada 1994 atau setara dengan 14 persen dari total belanja militer dunia.
Menurut catatan SIPRI, sejak 2013 Cina telah menghabiskan sekitar 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya untuk belanja militer, di mana terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi mereka.
Pemerintah Beijing di samping mengerahkan lebih banyak pasukan dan persenjataan di Laut Cina Selatan, juga sedang membangun pulau-pulau buatan di kawasan sehingga memiliki kekuatan yang tangguh di hadapan AS.
Upaya Cina untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh politik-ekonomi di antara negara-negara anggota Uni Eropa, juga telah menjadi kekhawatiran lain AS dan sebagian sekutunya di Benua Biru. Cina dengan cepat meningkatkan aktivitas ekonominya di Eropa. Sebagian dari investasi mereka bersifat strategis dan membuat negara-negara Eropa Timur dan Balkan bergantung pada Cina.
Meskipun kebijakan pengerahan pasukan AS di perairan sekitar Cina dimulai pada masa kepresidenan Barack Obama pada 2013, namun Donald Trump telah menyulut krisis di Laut Cina Selatan dengan mengambil kebijakan agresif terhadap Beijing. Di sisi lain, Cina mengkritik kebijakan AS yang terobsesi dari pemikiran usang termasuk mentalitas Perang Dingin.
Hubungan Beijing dan Washington diwarnai ketegangan. AS sedang menyulut konflik dengan mengerahkan pasukannya ke perairan sekitar wilayah Cina, termasuk Laut Cina Selatan. Di sisi lain, Beijing juga memperkuat kehadiran militernya di wilayah itu sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara kawasan sekaligus menciptakan tantangan khusus bagi Washington.
Sejak 2014, Cina mulai memperkuat armada dan perlengkapan angkatan lautnya untuk melawan patroli maritim pasukan AS. Pemerintah Cina telah menerbitkan Buku Putih berjudul “China’s National Defence in the New Era” yang menjelaskan karakteristik kebijakan pertahanan negara. Dalam buku itu, Cina mengklaim tidak berniat mengejar kebijakan hegemonik dan kebijakan ekspansif, atau menciptakan kawasan di bawah pengaruhnya.
Buku Putih itu menjelaskan bahwa militer Cina yang tangguh merupakan sebuah kekuatan untuk perdamaian dunia, stabilitas, dan pembangunan komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia. Buku ini tampaknya ditujukan kepada para tetangga Beijing di perairan Laut Cina Selatan, di mana beberapa di antaranya mengikuti kebijakan Washington.
Buku Putih China’s National Defence in the New Era memandang Amerika Serikat sebagai pihak yang tidak dapat dipercaya untuk melakukan negosiasi dalam semua masalah. Karenanya, Cina fokus memperkuat angkatan lautnya sejak 2014. Beijing merasa dirinya rentan dari wilayah perairan dan AS juga fokus untuk mengepung Cina melalui wilayah perairan di sekitarnya.
Menurut para pakar Barat, militer Cina saat ini memiliki 400 kapal perang dan kapal selam, dan jumlah ini akan meningkat menjadi 530 unit pada tahun 2030. Vassily B. Kashin, seorang peneliti di Departemen Timur Jauh Russian Academy of Sciences di Moskow, meyakini bahwa kehadiran kapal induk Cina, Liaoning di perairan Laut Cina Selatan di samping untuk memperkuat pasukan di pulau-pulau di kawasan termasuk Kepulauan Paracel, juga akan mengubah pulau-pulau tersebut menjadi pangkalan yang tangguh bagi kapal selam militer Cina.
Negara-negara lain di perairan Laut Cina Selatan dapat dirugikan oleh meningkatnya ketegangan antara Washington dan Beijing di kawasan. Dapat dikatakan bahwa konsekuensi dari tekanan militer AS terhadap Cina akan memicu ketidakpuasan dari negara-negara lain di kawasan. Jika merasa dirugikan, negara-negara tersebut – suka atau tidak suka – dapat menyulut ketegangan di kawasan dengan memihak ke salah satu sisi (AS atau Cina) dan mengajukan pengaduan ke lembaga hukum internasional.
AS sepertinya ingin memberikan tekanan maksimal kepada Cina untuk memaksanya mengadopsi langkah-langkah yang dapat memicu protes dari negara-negara lain di Laut Cina Selatan. Namun, sejauh ini hanya Filipina yang mengajukan gugatan hukum terhadap Cina di pengadilan internasional.
Pengerahan kapal-kapal perang AS secara rutin ke Laut Cina Selatan telah mendorong pejabat militer dan politik Beijing untuk menekankan kesiapan penuh pasukan Cina jika diperlukan untuk melindungi “kedaulatan nasional.”
Pada 20 Desember 2018, Wakil Kepala Akademi Ilmu Militer Cina, Laksamana Muda Luo Yuan mengatakan, “Ketegangan dengan Washington di Laut Cina Selatan dan Laut Timur akan berakhir dengan menenggelamkan dua kapal induk AS. Kemampuan rudal jelajah anti-kapal Cina telah meningkat dan jika Cina memutuskan mengambil tindakan, maka nyawa 5.000 personel kapal tersebut berada dalam bahaya.”
Dari perspektif para komandan militer Cina, mereka perlu menggunakan kekuatan ofensif untuk menyerang kelemahan musuh, dan menyerang di titik yang ditakuti oleh musuh serta fokus pada pengembangan titik keunggulan kita sendiri.
Departemen Pertahanan AS telah memperkuat pasukannya di perairan sekitar Cina dan sekutu-sekutu Washington termasuk Jepang dan Korea Selatan. Di lain pihak, Beijing juga menyebarkan perangkat tempur elektronik di Laut Cina Selatan, termasuk di Kepulauan Spratly. Saat ini ada kekhawatiran besar tentang potensi pecahnya perang di wilayah Asia Timur akibat dari meningkatnya rivalitas antara Beijing dan Washington di Laut Cina Selatan.
Bersamaan dengan perang dagang Amerika-Cina, Washington juga memperkuat kehadiran militernya di Laut Cina Selatan yang dapat membahayakan keamanan kawasan. Dengan memperhatikan kebijakan strategis militer AS di Asia Timur, Wu Shichun, seorang pakar di National Institute for South China Sea Studies, menuturkan bahwa Washington memberikan tekanan militer pada Beijing di Laut Cina Selatan dengan alasan kebebasan navigasi, dan mereka memanfaatkan sekutunya termasuk Australia, Inggris dan Jepang untuk tujuan tersebut.
Pelaksanaan latihan bersama dengan negara-negara regional merupakan salah satu strategi AS untuk mempertahankan intervensi militernya di Laut Cina Selatan. Negeri Paman Sam sedang bekerja untuk merusak stabilitas kawasan itu dan terus mendorong Cina ke arah perlombaan senjata. (RM)