Peran AS dalam Konflik Laut Cina Selatan (10)
Konflik antara Amerika Serikat dan Cina di Laut Cina Selatan saat ini semakin serius dan tidak diragukan lagi bahwa alasannya adalah urgensitas dan posisi strategis kawasan ini. Pastinya berlanjutnya konflik ini tidak mungkin tanpa dibarengi dengan biaya serta dampak.
Dampak pertama dari konflik ini adalah eskalasi nyata dari biaya transportasi. Saat ini berbagai perusahaan asuransi, menaikkan tarifnya bagi kapal dagang dan ada potensi bahwa seiring dengan meningkatkan konflik, lalu lalang perdagangan di perairan Cina akan dibatasi. Sementara itu, jalur alternatif akan memakan biaya tinggi mengingat jalurnya lebih panjang dan konsumsi bahan bakar yang meningkat. Dengan demikian jalur alternatif ini tidak ekonomis.
Ketergantungan ekonomi negara-negara di pesisir Laut Cina Selatan terhadap ekonomi Cina juga menjadi isu penting di konflik Beijing-Washington. Tahun 2012 dan seiring dengan meningkatnya potensi bentrokan militer antara Filipina dan Cina, Beijing memboikot pembelian pisang dari Manila dan agen-agen travel juga menangguhkan pengiriman wisatawan ke Filipina. Hal ini membuat Filipina terpaksa mundur.
Level perdagangan antara Filipina dan Cina dari 874 juta dolar di tahun 1995, naik menjadi 2,7 miliar dolar di tahun 2002 serta 12,6 miliar dolar di tahun 2011. Sementara di tahun 2019 angka ini mengalami kenaikan hingga 16,5 miliar dolar. Jika ada sanksi ekonomi dari Cina, maka ekonomi Vietnam juga terganggu. Cina tercatat sebagai mitra dagang terbesar Vietnam. Cina mengeskpor peralatan eletronik ke negara ini dan mengimpor produk petrokimia dan batu bara dari Vietnam. Sementara di sektor ekonomi, Cina menanam investasi besar di industri perkapalan Vietnam.
Ketika Filipina lebih memilih Cina dan berpaling dari Amerika, lanskap kawasan dan pengaturan politiknya menguntungkan pemerintah Beijing. Amerika Serikat akan kesulitan melanjutkan intervensi militernya di Laut Cina Selatan ketika Vietnam memilih menyelesaikan sengketa dan mengakhiri tensi melalui dialog di bawah ASEAN. Oleh karena itu, satu-satunya alasan Amerika untuk melanjutkan kehadiran militernya di Laut Cina Selatan adalah melindungi pelayaran bebas dan lalu lalang kapal.
Amerika Serikat melalui strategi Asianya, menerapkan dua strategi secara bersamaan terkait Laut Cina Selatan. Di kebijakan pertama, memperkokoh intervensi maritimnya di Laut Cina Selatan untuk meraih keunggulan dari Cina. Oleh karena itu, hubungan Amerika dan Cina menjadi hubungan bilateral terpenting dari sudut pandang dampak dan pengaruhnya di dunia, dan setiap gangguan di hubungan ini akan berdampak pada kebijakan di sistem internasional.
Kebijakan kedua Amerika didasarkan pada strategi keseimbangan jarak, di mana Washington secara serius mengejar kebijakan ini dalam menghadapi Cina. Mengingat biaya besar dan potensi korban di konfrontasi langsung, Amerika menerapkan strategi keseimbangan jarak di berbagai wilayah dunia di samping mengirim armada kapalnya ke Laut Cina Selatan.
Kebijakan keseimbangan jarak bertumpu pada prinsip bahwa Amerika melalui metode berbiaya murah mengkoordinir transformasi tiga wilayah penting, Eropa, timur dan barat Asia.
Pendekatan Washington untuk memperluas pengaruhnya di Asia memiliki tiga dimensi yang saling berkaitan, ekonomi, politik dan militer serta dimensi ini saling memperkuat satu sama lain. Meski Cina dari sisi ekonomi menerima sistem pasar, tapi dari sisi politik, Partai Komunis masih memimpin di negara ini. Selain itu, Cina seperti mayoritas negara lain, sampai saat ini menolak sistem budaya dan ideologi Amerika Serikat serta ingin menyebarkan nilai-nilainya sendiri.
Cina berusaha keras meningkatkan kekuatannya di berbagai sektor, dan hasilnya menurut Amerika adalah Beijing masih tetap sebagai kendala penting dan utama bagi hegemoni Washington di dunia. Amerika dari sisi ini semakin khawatir bahwa pusat ekonomi global akan berpindah ke Asia-Pasifik, dan hal ini akan mempengaruhi proses pembentukan struktur keamanan di kawasan serta mekanisme pembangian kepentingan strategis negara-negara besar di kawasan.
Sebagian pengamat politik meyakini, persaingan Cina dan Amerika di samping isu ekonomi, secara bertahap mengarah ke unjuk kekuatan maritim serta peningkatan pengaruh di berbagai level. Dan kondisi ini semakin besar dan dapat disaksikan di mana Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Mengingat kemampuan pemain kawasan dan internasional mengirim dan menempatkan pasukannya di jarak jauh dengan menggunakan kekuatan maritim sebagai penggerak strategis, sejumlah pengamat meyakini kawasan Asia-Pasifik tengah memasuki era baru persaingan strategis di bidang wilayah laut. Oleh karena itu, Amerika tengah meningkatkan intervensi militernya di Asia Timur khususnya Laut Cina Selatan yang tentunya hal ini akan menambah rumit kondisi keamanan kawasan dan mempersulit kondisi Cina.
Intervensi angkatan laut Amerika di kawasan semakin meningkat ketika Cina menduduki Mischief Reef, Filipina di Laut Cina Selatan di tahun 1995. Langkah Amerika saat itu membuat Cina semakin hati-hati dan pergerakan negara ini pun berhenti serta Cina terpaksa mengambil langkah diplomatik dengan ASEAN untuk menyelesaikan friksi ini.
Statemen bersama Cina dan Filipina terkait isu ini berkaitan dengan tahun 2002. Meski demikian Laut Cina Selatan setiap hari menyaksikan peristiwa baru yang meningkatkan kekhawatiran akan meletusnya api peperangan dan tensi di kawasan.
Lembaga Rand di Amerika di sebuah laporannya dengan tema "Peninjauan Ulang Potensi Konflik dengan Cina" mengkonfirmasi potensi perang mematikan antara kedua negara AS dan Cina dalam beberapa tahun mendatang. Lembaga ini menekankan, "Ada potensi besar konfrontasi militer mematikan antara AS dan Cina. Kemajuan dan reformasi militer Cina, membuat negar aini menjadi salah satu musuh berat Amerika dan isu terpenting yang berpotensi mengobarkan perang antara kedua negara adalah program nuklir dan rudal Korea Utara yang meski telah digelar sejumlah perundingan resmi dan pertemuan pemimpin Korut dan Amerika, friksi ini masih berlanjut dan malah terus meningkat."
Berkuasanya Donald Trump di Gedung Putih tahun 2017 membuat kebijakan Amerika terhadap Cina semakin ofensif. Selama kampanye pemilu presiden di tahun 2016, Trump menyebut Cina sebagai penyebab krisis ekonomi Amerika karena perdagangan yang tidak adil. Setelah berkuasa Trump menerapkan pendekatan militer dan ekonomi lebih keras kepada Cina.
Di sektor ekonomi, Trump sejak awal tahun 2019 selain menaikkan tarif perdagangan terhadap produk impor dari Cina, selain ingin memangkat pendapatan dagang Beijing, juga berusaha menurunkan laju ekonomi negara ini.
Selain itu, Trump menuding Cina tidak menunaikan janjinya untuk membeli produk pertanian lebih besar. Resistensi Cina melawan represi ekonomi Amerika mendorong Trump juga meningkatkan tekanan militer terhadap Beijing di Laut Cina Selatan. Namun terkait Laut Cina Selatan, pendekatan Donald Trump masih melanjutkan kebijakan pendahulunya, Barack Obama dan bedanya adalah Trump lebih banyak mengirim kapal perang ke Laut Cina Selatan. Ia juga menekankan pendekatan militer lebih besar ketimbang Obama.
Mengingat bahwa penyeimbangan kekuatan di hadapan kekuatan Cina yang terus meningkat menjadi acuan Amerika di Asia, metode dan sarana penyeimbangan Gedung Putih terhadap Cina di era Donald Trump mengalami perubahan di banding dengan era Obama.
Sikap Amerika mengusung isu India-Pasifik dan langkahnya di bidang taktis bisa menjadi bahan pembahasan, bukan di bidang strategis. Strategis yakni menciptakan keseimbangan di hadapan Cina yang di kemungkinan besar akan dilajutkan oleh pemerintahan Joe Biden.
Dengan kata lain, selain pusat konflik tradisional antara Cina dan AS, yakni Taiwan, Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan sebagai dua fokus konflik kedua negara diprediksikan selama beberapa tahun mendatang akan menghiasi halaman media massa. Penambahan bujet militer Cina selama laju ekonomi negara ini berlanjut, dan kepentingannya mendunia, maka konflik akan berpotensi berlarut-larut.
Namun begitu di perang dingin ini, Cina tidak seperti Uni Soviet dan Amerika saat itu. Cina secara tegas menentukan kepentingan nasionalnya dan berusaha melindungi kepentingan ini dengan meningkatkan kekuatan militer. Di bidang ini, mungkin saja persaingan strategis Cina dengan AS atau negara kawasan meningkat drastis. Oleh karena itu, Cina akan menjadi rival utama AS di abad 21. Perhitungan lembaga CSBA di Washington menunjukkan jika terjadi konfrontasi maritim antara kapal perang AS dan Cina, atau bahkan Rusia, maka Amerika akan kalah.
Angkatan Laut AS berada dalam bahaya kehilangan supremasinya dan menghadapi masalah serius di hadapan kekuatan besar seperti Rusia dan Cina. Penilaian baru, yang memeriksa strategi dan kemampuan militer AS, memperingatkan bahwa armada angkatan laut AS saat ini dan strategi pertahanannya jika dibiarkan, tidak akan dapat menang dalam perang melawan kapal-kapal Rusia dan Cina. Karena skuadron udara Angkatan Laut AS (CVWS) tidak memiliki jangkauan efektif, daya tahan, kelangsungan hidup, dan keahlian untuk menerapkan konsep operasional yang diperlukan untuk mengalahkan pasukan kekuatan besar.
Mengingat pembahasan yang kami sampaikan di berbagai episode acara ini, konfrontasi politik dan strategi Beijing dalam menghadapi Washington dan kontradiksi antara Cina dan negara-negara kawasan Laut Cina Selatan dapat menjadi peluang bagi membuka peluang bagi ketamakan negara hegemon dan bahkan konftrontasi militer di kawasan.