Feb 18, 2021 19:13 Asia/Jakarta
  • One Belt One Road
    One Belt One Road

Salah satu kekhawatiran utama Amerika atas perkembangan ekonomi Cina adalah rencana transit yang dikenal dengan One Belt One Road (OBOR). Presiden Cina Xi Jinping menyatakan tujuan dari rencana jalur sutra baru ini atau One Belt One Road adalah peluang bagi pembangunan berbagai negara. Ia menekankan sejumlah klaim bahwa pemerintah Beijing ingin membangun club Cina adalah tertolak.

Xi Jinping saat memberi jaminan kepada negara lain mengklaim bahwa rencana Jalur Sutra sebuah inovasi ekonomi dan tujuannya bukan untuk menciptakan persatuan militer dan geopolitik. Presiden Cina juga berjanji bahwa program ini akan menciptakan keseimbangan perdagangan dan mencegah ancaman serta kendala keamanan.

Rencana OBOR bertumpu pada jalur sutera darat dan laut. Jalur Sutra darat sebuah rute dan jalur yang saling berhubungan bagi perdagangan di Asia yang menghubungan timur, barat dan selatan benua ini serta menghubungkannya dengan utara Afrika dan Eropa. Jalur Sutra ini merupakan jalur perdagangan terbesar sepanjang sejarah selama 1700 tahun. Proyek One-Belt  One Road, yang mencakup Jalur Sutra darat serta Jalur Sutra Laut, adalah inisiatif global yang pertama kali diusulkan pada musim gugur 2013 oleh Presiden China Xi Jinping saat bertemu dengan mitranya dari Kazakhstan dan Indonesia. Proyek "Satu Jalan - Satu Sabuk" mencakup jaringan jalan darat yang luas, termasuk laut dan rel kereta api, jaringan pipa minyak dan gas, dan proyek infrastruktur lainnya, mulai dari kota Xi'an di tengah Cina dan melalui Asia Tengah menuju ke Moskow, Rotterdam, dan Venesia di Italia.

OBOR

Cina sejauh ini telah menginvestasikan lebih dari 60 miliar dolar di negara-negara kawasan"One Road-One Belt". Angka ini merupakan tambahan dari 50 miliar dolar yang dialokasikan untuk membangun koridor ekonomi antara Cina dan Pakistan, yang merupakan bagian dari koneksi jalan satu jalur. Pemerintah AS sangat menentang rencana komprehensif "One Belt, One Road" dan  dengan mendeklarasikan Zona Bebas Indo-Pasifik mulai melawan rencana ini. Dengan memperkuat posisi India dalam kerja sama kawasan, khususnya di bidang ekonomi, Washington berupaya mencegah implementasi transit dan rencana ekonomi besar-besaran Cina. Area rencana geo-Pasifik membentang dari pantai barat Amerika Serikat hingga pantai barat India.

Untuk membujuk India agar memainkan peran regional kunci dalam kebijakan dan program Washington, Amerika Serikat bermaksud untuk mengurangi kendali atas ekspor produk pertahanan berteknologi tinggi ke India sebagai bagian dari posisi perdagangan istimewanya. Selain itu, Amerika Serikat telah mengalokasikan 113 juta dolar untuk memperkuat kawasan Indo-Pasifik dan untuk membantu negara-negara di kawasan tersebut. Pemerintah AS sedang berbicara tentang menciptakan zona terbuka dan bebas di daerah ini, ketika pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan Gwadar di Pakistan berada di bawah pengelolaan dan rekonstruksi perusahaan Cina.

Mantan presiden AS Donald Trump menggunakan kata "bebas" untuk menggambarkan rencana Indo-Pasifik. Washington berusaha menghasut negara-negara anti China dan di sisi lain menunjukkan Amerika Serikat sebagai pembela kedaulatan nasional kawasan Indo-Pasifik. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Trump menekankan dua hal, pertama, bahwa semua negara memiliki akses terbuka ke laut, termasuk Laut Cina Selatan dan rute udara, dan kedua, negara-negara tersebut tampaknya dapat membela kedaulatan nasionalnya dari ancaman dan paksaan  negara lain. Melihat lebih dekat sikap Trump menunjukkan bahwa Washington serius dalam konfrontasi dengan Beijing.

India dan Amerika Serikat sedang bekerja untuk memperluas ruang lingkup pertukaran ekonomi dan memperluas pengaruhnya di seluruh Asia dan Eropa hingga Amerika Serikat, Bank Investasi Infrastruktur Asia mengatakan, dengan negara-negara berkembang di kawasan Asia-Pasifik hanya memperluas infrastruktur pada akhir tahun 2030 membutuhkan 26 triliun dolar. Amerika Serikat tidak hanya tidak berniat untuk melakukan investasi seperti itu, tetapi juga belum memenuhi harapan negara-negara pesisir Laut Cina Selatan.

Pada 2018, surat kabar India The Indian Express menulis dalam penilaian penggunaan pejabat AS atas kawasan Indo-Pasifik alih-alih Asia-Pasifik menulis, "Penggunaan seluruh petinggi Amerika atas istilah ini memiliki arti bahwa seluruh penguasa Amerika bertekad membentuk front baru anti Cina. Dengan demikian Washington berusaha membentuk hubungannya dengan New Delhi sedemikian rupa yang akan menjadi model pengganti bagi segala sesuatu yang dipasarkan Cina kepada dunia." Amerika Serikat menggambarkan Cina sebagai negara tertutup dengan partisipasi rakyat yang rendah dalam pembuatan kebijakan. Jadi dalam rencana seriusnya untuk Asia, ia mencoba memasukkan India sebagai negara demokrasi terbesar di dunia untuk memperbesar konsep-konsep seperti supremasi hukum, kebebasan navigasi laut, perdagangan bebas dan demokrasi.

Presiden Cina dan PM India

Kebalikan dari pandangan publikasi India ini adalah sikap Global Times of China tahun 2018, yang menyatakan dalam artikelnya: "Upaya dan tujuan AS menggunakan istilah 'Zona Indo-Pacific ' berarti mendirikan kawasan yang berpusat di India di Asia Selatan dengan membentuk "Aliansi militer strategis." Namun, dari sudut pandang beberapa kalangan politik, hubungan dan posisi India dalam politik regional AS lebih mementingkan Pakistan dan Afghanistan serta model hubungan Washington dengan Islamabad terkait transformasi negara ini daripada dengan Cina.

Selama pembicaraan AS-Taliban (setelah sembilan putaran) di Doha, Qatar, yang dihentikan sementara pada September 2019 atas perintah Donald Trump, hubungan India dengan Washington dipengaruhi oleh upaya pemerintah Perdana Menteri Pakistan Imran Khan untuk bekerja sama dengan AS dan mulai dilemahkan. Untuk itu, pemerintah India tampaknya sangat meragukan kesungguhan Trump menjadikan negara ini sebagai pengganti Pakistan dalam kebijakan regional Washington serta investasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan Indo-Pasifik.

Meskipun Cina dan India menghadapi sengketa perbatasan dan teritorial dan berperang pada tahun 1960-an, kebijakan proteksionis industri dan perdagangan Mantan presiden AS Donald Trump terhadap mitra Washington, membuat pemerintah New Delhi  berusaha untuk membuka jalan bagi kerja sama ekonomi dan investasi dengan bekerja sama dengan Cina di isu-isu regional, termasuk Afghanistan. Pada saat yang sama, pendekatan pemerintah AS untuk mencairkan es dalam hubungannya dengan Pakistan dan mendorongnya untuk membujuk Taliban mencapai kesepakatan dengan AS telah membuat India percaya bahwa AS hanya mengejar kepentingannya sendiri dalam kerja sama regional, pasalnya negara ini tidak bisa menjadi mitra terpercaya bagi New Delhi. 

Amerika Serikat khawatir bahwa Cina, dengan berinvestasi besar-besaran dalam proyek One Belt One Road, dapat membahayakan investasinya di berbagai bidang, termasuk pantai Laut Cina Selatan, sekaligus membahayakan posisi ekonomi Washington. Karena beberapa orang di Amerika Serikat percaya bahwa negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berinvestasi dalam persaingan dengan Cina. Sementara Beijing juga khawatir bahwa kebijakan dan hubungan Washington dengan Pakistan dan Afghanistan akan menyulitkan pelaksanaan rencana tersebut. Ini karena proyek tersebut dilaksanakan dengan investasi miliaran dolar Cina, yang sebagian penting terkait dengan Pakistan dan koridor ekonomi 50 miliar dolar dengan Cina, dan juga mencakup  Afghanistan.

Konferensi OBOR di Cina tahun 2013

Amerika Serikat prihatin bahwa Cina dapat menggunakan rencana ekonomi "Satu Sabuk Satu Jalan" untuk memperluas pengaruhnya lebih dekat ke perbatasannya. Karena banyak komunikasi antar negara yang berbeda terjadi melalui Pasifik, dan dari sudut pandang Amerika, gangguan apapun terhadap tatanan maritim dan keamanan Laut Cina Selatan dan Pasifik, dapat berdampak negatif terhadap implementasi rencana ekonomi Cina. Mengingat bahwa rencana ekonomi "One Road - One Belt" terdiri dari dua bagian, darat dan laut, pembentukan keamanan maritim, meskipun menjadi prioritas dan penting bagi Cina, menciptakan ketidakamanan ekonomi bagi Amerika Serikat. Karena alasan ini, Gedung Putih sangat menentang penerapan rencana transit "Satu Sabuk Satu Jalan" dan telah memperingatkan negara-negara Eropa untuk bergabung dengannya.

Para analis strategis yakin bahwa implementasi penuh dari proyek "One Road - One Belt" senilai 8 triliun dolar tidak hanya akan membantu memperkuat ekonomi dan mempertahankan pertumbuhannya, tetapi juga dapat mengarah pada dominasi Cina di banyak daerah zona air. Analis di India mengatakan rencana "Satu Sabuk Satu Jalan" adalah langkah strategis Beijing untuk mengepung India dengan fasilitas maritim, Gwadar di Pakistan, Colombo di Sri Lanka, dan Kyaukpyu di Myanmar. Rute utara Jalan Sutra baru mencakup rute kereta api dari Cina barat laut ke Uni Eropa melalui pelabuhan Riga di Latvia, yang merupakan pelabuhan terbesar di negara itu serta negara-negara Baltik. Pelabuhan Riga terhubung ke jalan dan rel transportasi trans-Eropa. Pentingnya pelabuhan Riga lainnya adalah bahwa ia berfokus pada hubungan perdagangan antara Cina dan Uni Eropa.

Xi Jinpin, Vladimir Putin dan berbagai pemimpin Asia Tengah

Amerika berusaha mencegah kebebasan navigasi Cina di perairan internasional dengan tujuan mensukseskan rencana jalur sutra maritimnya. Upaya tersebut dilakukan Amerika dengan menguasai berbagai wilayah maritim termasuk Laut Cina Selatan atau mengobarkan instabilitas di wilayah tersebut. Peringatan Mantan menhan AS Mark Esper tahun 2019 kepada mitra Eropa Washington terkait kedekatan dengan Beijing dapat dicermati dalam upaya ini.

Saat berbicara di Royal United Services Institute (RUSI) di London, Esper mengatakan, "Cina tengah meningkatkan pengaruhnya melalui investasi dan perdagangan. Beijing memanfaatkan ekonomi dan perdagangan untuk membuat berbagai negara bergantung kepadanya."