Tenggelam Dalam Duka Zainab
(last modified Thu, 13 Apr 2017 12:11:23 GMT )
Apr 13, 2017 19:11 Asia/Jakarta

Tanah yang subur dan bersih akan menumbuhkan bunga-bunga indah dan menawan. Namun sebaliknya lahan tandus dan kering hanya akan menumbuhkan tanaman berduri dan semak-semak tak bernilai. Begitu pula Sayidah Zainab Kubra, ia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang seluruh anggotanya hidup dalam kesucian dan pelopor keutamaan dan kemuliaan manusia. Rasulullah Saw adalah kakek Sayidah Zainab dari pihak ibu, orang yang disebut di dalam Al Quran sebagai Rahmatan Lil Aalamin.

Di hari kelahiran Sayidah Zainab, malaikat Jibril turun menghampiri Rasulullah Saw dan berkata, “Ya Rasulullah namailah anak ini Zainab”, saat itu juga Jibril menangis dan Rasulullah Saw menanyakan sebabnya. Jibril menjawab, “Anak perempuan ini sejak awal hingga akhir hidupnya akan selalu ditimpa penderitaan. Lebih dari itu, ia akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan besar di Karbala. Rambutnya memutih dan badannya bungkuk.” Mendengar itu semua orang yang hadir menangis. Tiba-tiba Sayidah Fatimah Zahra berkata, “Apa pahala menangisi putriku Zainab?” Nabi Muhammad Saw bersabda, “Pahala menangisi musibah-musibah yang ditanggung Zainab Kubra seperti pahala menangisi saudaranya Husein”.

 

Ketika Sayidah Zainab mencapai usia pernikahan, ia menikah dengan Abdullah bin Jakfar, putra pamannya. Abdullah adalah salah satu orang kaya Arab. Tapi hati Zainab tidak pernah terikat dengan gemerlapnya kehidupan materi. Ia yang memiliki pemikiran jauh lebih luhur, tidak memenjarakan dirinya dalam tampilan-tampilan fisik kehidupan materialistis. Ia memahami, kapanpun dan di manapun tidak boleh mengorbankan permata hakikat kepada para penindas yang serakah.

 

Sayidah Zainab ketika dipinang oleh Abdullah mengajukan syarat yaitu agar senantiasa mendampingi saudaranya, Imam Husein as, sepanjang hidupnya. Abdullah pun menerima syarat Sayidah Zainab itu. Itulah mengapa Sayidah Zainab bisa menemani perjalanan penentu sejarah Imam Husein as dari kota Madinah ke Karbala dan bangkit dalam peristiwa heroik Karbala melawan Yazid, penguasa fasik dan zalim dari Bani Umayah.

 

Keutamaan-keutamaan Sayidah Zainab di antaranya adalah qanaah, zuhud, ahli ibadah dan bersabar menghadapi kesulitan serta masalah-masalah kehidupan. Salah satu hal yang menakjubkan dari Perempuan Pejuang Islam ini adalah, dalam usia enam tahun ia sudah bisa menghafal ceramah ibunya di Masjid Nabi Saw terkait Tanah Fadak dan kepemimpinan Imam Ali as. Bashir bin Khuzaim Assadi, salah satu tokoh penting kota Kufah menuturkan, “Saya bersumpah kepada Tuhan, saya tidak pernah menyaksikan seorang perempuan yang begitu pemalu dan menjaga kesucian, paling ahli berpidato dibanding Zainab. Ia berpidato seperti Imam Ali as dan sepertinya ia belajar pidato dari beliau.”

 

Kedudukan ilmu dan sosial Sayidah Zainab sedemikian tinggi sehingga Abdullah, suaminya memanggil beliau, “Wahai Putri Murtadha, wahai perempuan bijak Bani Hasyim.” Imam Sajjad as setelah pidato berapi-api Sayidah Zainab di Kufah berkata, “Alhamdulillah Anda (Sayidah Zainab) adalah seorang ilmuwan tanpa pengajar dan seorang pemikir tanpa guru.”

 

Manifestasi paling jelas untuk mengenal kepribadian agung Sayidah Zainab adalah peristiwa Asyura dan penawanan keluarga Nabi Muhammad Saw. Reaksinya terhadap para penindas sebagaimana detail masalah itu dicatat sejarah, membuktikan keagungan putri Imam Ali as tersebut. Atas izin suaminya, Abdullah bin Jakfar yang tengah sakit dan tidak bisa menyertai Imam Husein, Sayidah Zainab berangkat membantu Imam Husein dan ia bahkan memposisikan diri sebagai pengganti dan pemegang wasiat guna menjaga nyawa Imam Sajjad. Sayidah Zainab adalah bagian penyempurna gerakan Imam Hussin.

 

Jika Allah Swt menempatkan di sisi Nabi Adam, Hawa, istrinya, di sisi Nabi Isa, Maryam, ibunya dan di sisi Nabi Muhammad Saw, Sayidah Fatimah, putrinya, maka di sisi Imam Husein, Tuhan menempatkan Sayidah Zainab yang keduanya berasal dari sumber yang sama.

 

Jika Sayidah Zainab sebagai saksi agung dan saksi-saksi lain yang menyertainya, tidak memainkan perannya di Karbala, maka sampai kapanpun darah syuhada tidak akan berguna dan inilah hikmah dari keputusan Imam Husein membawa serta keluarganya dalam perjalanan itu. Kepala-kepala terpenggal, adalah bukti terjelas yang menunjukkan ketertindasan Ahlul Bait as, dan khutbah Imam Sajjad dan Sayidah Zainab serta sindiran kepada penguasa zalim Umawi dan pemerintahan mereka, merupakan revolusi kebudayaan terbesar sepanjang sejarah Islam.

 

Sayidah Zainab adalah teladan terbaik bagi Muslimah dalam membela hak dan bersabar menanggung penderitaan dalam perjalananan menuju Sang Kekasih. Imam Jakfar Shadiq berkata, “Orang bebas dalam setiap kondisi akan tetap bebas. Jika musibah menimpanya, ia akan bersabar. Jika musibah beruntun datang kepadanya, itu tidak akan mampu mematahkannya dan jika ia ditawan dan seseorang menguasainya sehingga merampas ketenangannya, layaknya Nabi Yusuf, perbudakan, dominasi dan penyanderaan tidak akan pernah mengganggu kebebasannya.

 

Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dalam menjelaskan karakteristik Sayidah Zainab mengatakan, “Sayidah Zainab adalah contoh sempurna seorang perempuan Muslim. Ia adalah seorang teladan yang diberikan Islam untuk mendidik para perempuan dunia. Zainab memiliki karakteristik multi dimensi. Berpengetahuan dan cerdas serta memiliki makrifat tinggi dan merupakan seorang manusia unggul. Setiap orang yang menyaksikan keagungannya akan takjub. Zainab menggabungkan semangat dan gairah dengan keagungan dan ketenangan batin, karena ia pasrah pada rahmat Allah Swt sehingga mencapai kedudukan agung yang semua peristiwa besar di hadapannya menjadi kecil dan hina dan peristiwa getir seperti Asyura tidak mampu mematahkan Zainab.

 

Sayidah Zainab pasca kesyahidan Imam Husein tidak hidup lebih dari 1,5 tahun dan pada pertengahan bulan Rajab tahun 62 Hijriah, pada usia 56 tahun meninggal dunia. Penulis kitab Bahrul Mashaib mengatakan, Sayidah Zainab pasca tragedi Karbala dan setelah menanggung penderitaan selama di Syam, begitu sering menangis sehingga punggungya bungkuk dan rambutnya memutih dan hidupnya penuh kesedihan hingga akhir. Hidup setahun di Madinah tanpa Imam Husein sangat berat bagi Sayidah Zainab.

 

Jika Zainab tidak punya kesabaran tinggi dalam menghadapi ujian-ujian Allah Swt, pasti sejak berakhirnya peristiwa Asyura ia sudah meninggal, namun Zainab adalah hamba Tuhan yang mulia dan ia menunjukkan penghambaan Tuhan di setiap kesempatan dan mentaati perintah Fasbir Sabran Jamila, dan kesabarannya menyertai Imam Husein merupakan fenomena terindah dalam sejarah umat manusia. Ruh agung itu akhirnya menyambut seruan Sang Kekasih setelah hidup dalam keagungan dan memberikan pelajaran kehidupan, kesucian, pengorbanan, janji dan kesabaran kepada semua manusia.