AS, Pemicu  di Balik Uji Nuklir Korut
(last modified Thu, 29 Sep 2016 04:38:42 GMT )
Sep 29, 2016 11:38 Asia/Jakarta

Korea Utara Jumat (9/9) lalu kembali melakukan uji coba nuklir kelima. Pengujian yang dilakukan sekitar Punggye-ri ini memicu ledakan yang diindikasikan monitor seismik sebagai ledakan terbesar dibandingkan tes-tes sebelumnya.

Seorang penyiar televisi pemerintah Korea Utara, KCNA membacakan pernyataan dari Institut Penelitian Senjata Nuklir Korea Utara mengenai uji nuklir kelima yang dilakukan untuk menilai kapasitas hulu ledak nuklir yang sekarang dapat diperkecil agar bisa dipasang pada berbagai jenis misil. Pada Januari 2016 lalu, Korea Utara sukses menguji bom hidrogennya. Sebelumnya, Pyongyang juga melakukan sejumlah pengujian nuklir pada tahun 2013, 2009, dan 2006.

Pengujian nuklir kelima digelar bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-68 berdirinya Korea Utara. Para analis politik menilai pengujian nuklir ini sebagai reaksi atas ancaman berulangkali AS dan sekutunya di kawasan. Ancaman tersebut bukan kali ini saja, tapi sudah berlangsung selama enam dekade lamanya, terutama sejak penempatan resmi sistem nuklir AS di Korea Selatan tahun 1958.

Korea Utara mengklaim AS meningkatkan jumlah senjata nuklirnya di Korea Selatan sejak tahun 1967. Akibat ulah AS-lah, tensi friksi kedua Korea semakin memanas. Sejumlah laporan mengungkapkan jumlah hulu ledak nuklir AS yang ditempatkan di Korea Selatan mencapai 980 buah.

Tapi, seiring semakin sensitifnya situasi di kawasan dan dimulainya keruntuhan Uni Soviet, AS mengubah kebijakannya di tahun 1980 dengan mengurangi jumlah hulu ledak nuklirnya di Korea Selatan menjadi 150 buah. Pada tahun 1991, George Bush mengintruksikan penarikan seluruh senjata nuklir AS yang berada di Korea Selatan.

Di tengah memanasnya tensi ketegangan antara dua Korea dan perang dingin antara AS dan Uni Soviet , Washington mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap Korea Utara. Pemimpin Korea Utara ketika itu, Kim Il-sung bertekad untuk membalas ancaman AS dengan memproduksi senjata nuklir. Oleh karena itu, Pyongyang untuk pertama kalinya di tahun 1960 memproduksi senjata nuklir dengan menggandeng Uni Soviet. Dua dekade kemudian, Cina untuk pertama kalinya membangun reaktor nuklir berkekuatan 20 megawatt di sekitar kota Yongbyon di tahun 1986.

Pasca runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin, Korut berada dalam kondisi terjepit. Pyongyang kehilangan sekutu utamanya dan tekanan Washington pun semakin tinggi terhadap Korea Utara. Pyongyang memilih dua opsi perundingan dengan AS dan juga melanjutkan kebijakannya memproduksi senjata nuklir. Sebab, Korut mengkhawatirkan dampak ancaman Barat, terutama AS. Tapi pada saat yang sama berupaya menunjukkan kebijakan logisnya untuk berunding dengan Washington.

Hasil dari perundingan antara Korut dan AS adalah ditandatanganinya kesepakatan Jenewa di tahun 1994. Berdasarkan perjanjian tersebut, Korea Utara harus menghentikan program nuklirnya. Sebaliknya, AS dan sekutunya memulai kerja sama baru dengan Pyongyang, dan mencabut sanksi yang telah diterapkan sejak tahun 1953. Selain itu, Korea Utara juga berhak mengelola dua reaktor modern pembangkit listrik dengan air berat, dan kebutuhan bahan bakarnya dipenuhi oleh AS dan sekutunya.

Meskipun demikian, Korut tetap melanjutkan program nuklirnya secara rahasia, sebab Pyongyang tidak mempercayai Washington. Selain itu, transformasi pasca 11 September 2001 dan pengaruh dinamika regional dan global, termasuk Cina dan Rusia, menyebabkan Korut semakin serius untuk melanjutkan program senjata nuklirnya.

Bejing dan Moskow yang mengkhawatirkan pengaruh AS di kawasan dan dunia kembali meningkatkan kerja sama di berbagai bidang militer, rudal dan nuklir dengan Pyongyang. Meskipun Korut belum melupakan getirnya dampak pemutusan dukungan Moskow dan Beijing dari tahun 1990 hingga 2000, tapi kesepatan ini dipergunakan untuk meraih ambisi Pyongyang memproduksi senjata nuklir.

Akhirnya pada 9 Oktober 2006 untuk pertama kalinya Korut melakukan pengujian nuklir. Dengan mempertimbangkan berlanjutnya ancaman AS terhadap Korut, Pyongyang semakin serius melanjutkan programnya dalam pengujian senjata nuklir.

Dalam pandangan para politisi Korea Utara, keberhasilan pengujian nuklir merupakan kebanggan nasional. Di sisi lain, rakyat negara ini juga merayakan pengujian nuklir tersebut. Pada saat yang sama, Jet tempur pembom AS, B-1 bersama Korea Selatan terbang di angkasa negara ini, yang memicu kekhawatiran rakyat Korea Utara. Mereka juga mengkhawatirkan meningkatnya sanksi internasional terhadap negaranya.

Sementara itu, para pejabat tinggi Korea Utara memandang uji coba nuklir menyebabkan semakin kuatnya fondasi politik negara ini. Sebab menurut mereka, nuklir adalah alat untuk menghadapi ancaman AS.

Pyongyang memandang senjata nuklir akan meningkatkan daya tawar negara ini dalam menghadapi Washington, sekaligus menjaga perimbangan kekuatan di kawasan, terutama perimbangan kekuatan militer antara Korut di satu sisi dengan Jepang, dan Korut dengan Korsel. Tapi keberhasilan Pyongyang meraih senjata nuklir menyebabkan Korut memiliki kelebihan dibandingkan dua pesaingnya. Masalah ini memicu terjadinya perlombaan senjata di kawasan Asia timur.

Para analis politik menilai dampak ekonomi uji coba nuklir Korea Utara terhadap kawasan timur Asia dalam bentuk jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek akan menyebabkan rontoknya pasar finansial regional dan global, terutama Korea Selatan.

Terkait hal ini, Wall Street Journal melaporkan, pasca uji nuklir kelima Korea Utara, saham AS mengalami hari paling buruk. Sebab, para pialang mengkhawatirkan dampak dari uji nuklir terbaru Korea Utara itu. Senada dengan itu, bursa efek Asia juga merosot karena mengkhawatirkan dampak uji coba  nuklir dan meletusnya perang baru di dunia. Akibatnya saham diperdagangkan dengan harga yang lebih rendah dari sebelumnya.

Bursa efek Korea Selatan, Kosbi mengalami penurunan sebesar 1,3 poin. Dengan mempertimbangkan kondisi negara-negara kawasan yang merupakan negara-negara perekonomian, maka jatuhnya harga saham sangat berarti sekali bagi mereka.

Dalam jangka panjang berlanjutnya uji coba nuklir Korea Utara bukan hanya mendorong pengalihan anggaran dan investasi negara-negara regional ke arah anggaran militer dan pertahanan. Bahkan lebih dari itu, para investor asing pun akan mengurangi investasinya di negara-negara kawasan yang sensitif tersebut. Bila kondisi terus berlanjut, kawasan timur Asia akan menjadi tempat larinya para investor dalam dan luar negeri.

Eskalasi tekanan Washington terhadap Korea Utara, Cina dan Rusia semakin mendorong Pyongyang untuk melanjutkan pengujian nuklir generasi barunya. Meskipun demikian, para analis politik berkeyakinan bahwa uji coba nuklir Korea Utara menyebabkan semakin besarnya kekuatan manuver Cina dan Rusia dalam tranformasi regional dan internasional.

Meskipun kedua negara ini tampak dari luar menentang pengujian nuklir Korut. Tapi secara tidak langsung kekuatan nuklir Pyongyang meningkatkan posisi Beijing dan Moskow dalam persaingan dua kutub besar konflik regional, yaitu: AS dan sekutunya; Jepang dan Korea Selatan di satu sisi, dan Korea Utara bersama Cina dan Rusia.

Uji nuklir berulangkali yang dilakukan Korea Utara menunjukkan reaksinya terhadap ancaman militer AS, sekaligus mencari prestise internasional untuk menunjukkan posisinya sebagai pemain penting di kawasan, bahkan dunia.

Selama ini, instabilitas di kawasan timur Asia, terutama di semenanjung Korea dipicu oleh kebijakan interventif AS di kawasan. Selama solusi komprehensif belum disusun untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas internasional, dan AS terus melanjutkan latihan perang dengan Korea Selatan, maka keamanan Korea Utara belum bisa dijamin. Ketika itu, Pyongyang akan tetap melanjutkan uji nuklir militernya. Sebab, Korut menilai senjata nuklir sebagai haknya untuk mempertahannkan diri. Jika dilacak lebih dalam, pemicu instabilitas di kawasan timur adalah AS.