Amerika Pasca Obama
(last modified Thu, 19 Jan 2017 05:05:23 GMT )
Jan 19, 2017 12:05 Asia/Jakarta

Hari ini tanggal 19 Januari 2017 adalah hari terakhir periode delapan tahun Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat. Besok, 20 Januari 2017, Obama akan menyerahkan kunci Gedung Putih kepada penggantinya, Donald Trump dan dengan demikian sebuah era sejarah yang tak lama di Amerika bakal ditutup.

Selama delapan tahun lalu, Amerika mengalami pasang surut yang cukup besar. Obama ketika berkuasa, menggantikan George W. Bush di mana Amerika memasuki krisis ekonomi terparah setelah resesi besar tahun 1929. Krisis ini bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.

 

Di saat jutaan warga Amerika kehilangan pekerjaan, aset dan tabungan mereka akibat resesi ekonomi, dana besar bagi perang di Afghanistan dan Irak kian menambah kesulitan ekonomi dan sosial warga Amerika. Di tingkat internasional, kebijakan unilateralisme pemerintahan Bush pasca insiden 11 September merusak wajah Amerika di mata sekutu dan publik. Di kondisi seperti ini, Barack Obama berhasil menang di pilpres dengan memanfaatkan tuntutan perubahan yang diserukan warga.

 

Saat kampanye, Obama menyuarakan slogan dan janji-janji seperti mengorganisir perekonimian yang dirundung krisis, menciptakan lapangan pekerjaan baru, memulihkan citra rusak Ameirka di mata publik dunia, mempermudah undang-undang migrasi serta meluncurkan program asuransi kesehatan. Oleh karena itu, untuk mengkaji kesuksesan atau kegagalan Obama selama delapan tahun berkuasa, maka perlu kajian intensif terhadap janji yang telah ia tebar selama kampanye.

 

Terkait pengorganisiran ekonomi yang dilanda krisis, harus diakui bahwa Obama sedikit banyak berhasil dalam kasus ini. Melalui kebijakan ekspansif dan suntikan ratusan miliar dolar ke pasar, pemerintah Obama berhasil mencegah kebangkrutan dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Pemeritah Obama meratifikasi sejumlah undang-undang yang berhasil memulihkan disiplin finansial ke Wall Street.

 

Namun demikian, program pemerintah Obama untuk mengendalikan krisis finansial 2007-2008 juga memiliki dampak yang tidak menyenangkan bagi perekonomian negara ini. Misalnya, hutang pemerintah Amerika menjadi dua kali lipat dan melampaui angka 19 triliun dolar. Friksi terkait penetapan anggaran dan melawan tingginya hutang negara mendorong aktivitas pemerintah federal untuk kedua kalinya sepanjang sejarah terhenti. Selain itu, lapangan pekerjaan yang ada atau laju ekonomi yang dihasilkan dari kinerja ekonomi pemerintah Obama tidak pernah mampu menjawab tuntutan rakyat, sehingga Hillary Clinton, kandidat presiden dari kubu Demokrat dan dukungan Obama akhirnya gagal di pemilu presiden 2016.

 

Sementara di sektor sosial, Obama juga mengumbar banyak janji selama periode kampanye pemilu presiden. Salah satu gagasan Obama di bidang ini adalah asuransi kesehatan murah bagi warga yang pada akhirnya berhasil lolos di Kongres. Program kesehatan Obama dikenal dengan Obamacare. Berdasarkan undang-undang ini, seluruh warga Amerika mendapat asuransi kesehatan murah dan balai kesehatan diwajibkan memberikan jasa pelayanan kepada mereka.

 

Program Obamacare tercatat sebagai salah satu tranformasi sosial terpenting di Amerika. Namun begitu, musuh-musuh yang kuat tetap berbaris melawan Obama. Kubu ini menuding Obama melanggar prinsip pasar bebas dan mengintervensi urusan ekonomi dan kehidupan warga. Selain itu, akibat sabotase Kongres yang dikuasai kubu Republik, undang-undang Obamacare mengalami banyak kendala dan menambah ketidakpuasan warga.

 

Tak hanya itu, isu sosial dan budaya lainnya seperti toleransi antar etnis, kekerasan dan perkawinan sesama jenis selama delapan tahun terus membayangi kepemimpinan Obama. Meski Obama tercatat sebagai presiden kulit hitam pertama di sejarah Amerika, namun begitu selama kekuasaannya, raksasa rasisme dan diskriminasi di negara ini kembali terbangun. Berbagai serangan polisi terhadap warga kulit hitam membuat berbagai kota di negara ini dilanda aksi protes besar-besaran. Keragu-raguan serta kelambanan pemerintah merevisi undang-undang migrasi juga menambah ketidakpuasan dan implementasi undang-undang pro perkawinan sesama jenis membuat kubu konservatif menyerang Obama.

 

Obama di tahun 2008 berhasil memasuki Gedung Putih dengan dukungan besar dari warga dan kubu Demokrat serta Liberal. Seorang warga kulit hitam berhasil menjadi presiden di Amerika bagi jutaan warga merupakan sebuah keajaiban di negara ini. Bersamaan dengan kemenangan Obama di pilpres Amerika, dua lembaga tinggi lainnya, Kongres dan Senat dikuasai oleh kubu Demokrat. Namun begitu hal ini tidak berjalan lama. Ketidakmampuan Obama membuktikan slogan perubahan yang ia kampanyekan telah mengubah pandangan warga terhadap dirinya.

 

Di pemilu pertama yang digelar selama periode kepemimpinan Obama di tahun 2010, akhirnya kubu Demokrat kehilangan suara mayoritasnya baik di Kongres atau Senat. Kekuasaan kubu Republik di dua lembaga ini terus berlanjut hingga enam tahun berikutnya. Baik Obama maupun Demokrat gagal menguasai Kongres di pemilu tahun 2012, 2014 dan 2016. Sementara Obama di pilpres 2012 kembali menang, namun mengingat ketidakmampuan dirinya memajukan sejumlah program akibat penentangan kubu Repiblik di Kongres, maka jalan untuk memuluskan kandidat presiden dari kubu Demokrat di pilpres 2016 semakin sulit.

 

Selama enam tahun lalu, kubu Republik melawan Gedung Putih dengan segala kekuatannya. Misalnya kubu Republik tidak membiarkan janji Obama menutup penjara Guantanamo terealisasi. Selain itu, keputusan untuk merevisi undang-undang pengawasan senjata ditentang oleh kubu Republik dan bujet yang diajukan Obama diratifikasi hanya untuk sementara. Proses ini terus berlanjut hingga November 2016 ketika Demokrat akhirnya kehilangan Gedung Putin dan juga Kongres. Akhirnya Demokrat gagal mengubah konstelasi di Mahkamah Agung Ferderal demi keuntungan kubu Liberal.

 

Barack Obama menang di pemilu ketika rakyat negara ini marah akibat perang yang mengeruk bujet negara dan korban besar di perang Afghanistan serta Irak. Pemerintah George W. Bush dengan dalih peristiwa 11 September 2001 akhrinya menginvasi Afghanistan dan dengan dalih keberadaan senjata pemusnah massal, Washington juga menyerbu Irak. Dua perang ini hingga akhir 2008 menghabiskan pajak warga sekitar satu triliun dolar secara langsung dan empat triliun dolar secara tidak langsung. Dua perang ini tercatat sebagai perang paling mahal dan penuh korban setelah perang Vietnam di dekade 1960 dan 1970.

 

Seiring dengan tidak ditemukannya senjata pemusnah massal di Irak serta kegagalan militer Amerika menghancurkan al-Qaeda serta Taliban di Afghanistan, protes terhadap pemerintah Bush dan terorisme pemerintah mencapai puncaknya. Di kondisi seperti ini, Obama dengan slogan perubahan termasuk mengakhiri perang di Afghanistan dan Irak berhasil memasuki Gedung Putih. Harapan terhadap presiden baru Amerika mengakhiri kebijakan haus perang akhirnya membuat Obama meraih hadiah Nobek Perdamaian.

 

Sementara itu, presiden Amerika saat itu tidak banyak melakukan upaya mengakhiri perang di dunia dan selanjutnya ia pun tidak melakukan hal tersebut. Namun begitu, penarikan pasukan Amerika dari Irak terjadi di era kepemimpinan Obama. Tapi kesepakatan penarikan militer Amerika ini ditandatangani oleh Bush dan petinggi pemerintah Irak saat itu. Di sisi lain, Obama ternyata masih menempatkan pasukan Amerika di Afghanistan dan hal ini berbeda dengan janjinya.

 

Selain itu, perang di Libya meletus atas arahan pemerintahan Obama dan presiden AS berulang kali menginstruksikan serangan drone di luar perbatasan negara ini. Obama yang meraih hadiah nobel perdamaian sejatinya bertanggung jawab atas kematian ribuan manusia akibat serangan drone dan ini lebih buruk dari pendahulunya, Bush. Tanggung jawab atas munculnya Daesh di Irak dan Suriah serta kejahatan sadis kelompok teroris Takfiri ini juga tak diragukan lagi berada di pundak Obama.

 

Obama selama delapan tahun memimpin Amerika juga sedikti banyak dapat dikatakan berhasil di kebijakan luar negeri, namun ia juga lemah dalam memajukan sejumlah programnya. Misalnya pemerintahan Obama berhasil mengakhiri permusuhan AS dan Kuba serta menjalin kembali hubungan diplomatik antara kedua negara setelah setengah abad. Hubungan AS dan Myanmar juga pulih di era Obama. Amerika juga membuat kesepakatan nuklir antara Iran dan Kelompok 5+1 yang disebut JCPOA berhasil diraih dengan mengendurkan sejumlah sikapnya.

 

Obama berusaha menjadikan tiga isu ini, yakni perdamaian dengan Kuba, Myanmar serta kesepakatan nuklir dengan Iran sebagai warisan pemerintahannya di sektor kebijakan luar negeri. Meski demikian kegagalan Obama di transformasi global juga cukup banyak. Selama periode delapan tahun kepresidenan Obama, hubungan Moskow-Washington semakin renggang, bahkan dengan dalih intervensi Rusia di Ukraina dan upaya negara ini menganeksasi Crimea, Amerika tak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada Rusia.

 

Tapi kebijakan sanksi Amerika terhadap Moskow tidak mampu menciptakan perubahan berarti di kebijakan Rusia di kawasan seperti Eropa timur dan Asia Barat. Selama protes rakyat di dunia Arab, Amerika juga gagal meraih ambisinya di Asia Barat dan Afrika utara. Kegagalan ini semakin kentara di Suriah, karena pemerintah dan rakyat Suriah gigih berjuang melawan kelompok teroris dukungan Barat dan sejumlah negara Arab. Selama lima tahun, Obama berusaha keras menggulingkan Presiden Bashar al-Assad di Suriah, namun hingga berakhirnya masa jabatannya, Obama gagal merealisasikan ambisi tersebut. Pembebasan kota Aleppo dari tangan teroris dan gencatan senjata menyeluruh di Suriah kian menunjukkan kelemahan Obama dan pemerintah Amerika.

 

Sementara untuk Asia Timur, pemerintah Obama gagal menekan Cina untuk mengubah kebijakannya terkait sejumlah isu seperti hubungan perdagangan dan pamer kekuatan di Laut Cina Selatan. Seluruh tranformasi di Eropa, Asia dan Afrika membuat Obama didakwa tidak mampu menjaga hegemoni Amerika di tingkat internasional dan Donald Trump dengan slogan “Saya akan Mengembalikan Kejayaan AS” berhasil unggul di pemilu presiden 2016.