Nestapa Muslim Rohingya (1)
(last modified Sun, 26 Feb 2017 13:21:23 GMT )
Feb 26, 2017 20:21 Asia/Jakarta

Oleh: Purkon Hidayat. Myanmar adalah sebuah negara berdaulat yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Negara seluas 676.578 kilometer persegi ini dihuni oleh 54.363.426 orang (worldometers.info, 17/1/2017). Di sebelah barat, Myanmar berbatasan dengan Bangladesh, India, dan Teluk Benggala. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Laos, Thailand, dan Cina. Adapun di sebelah selatan, Myanmar berbatasan dengan Laut Andaman, dan sebelah utara berbatasan dengan sebagian wilayah Cina.

Pada 4 Januari 1948, Myanmar yang saat itu bernama Burma memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Inggris. Junta militer yang berkuasa mengganti nama negaranya dari Burma menjadi Myanmar pada 18 Juni 1989. Negara anggota ASEAN ini kaya dengan sumber daya alam, terutama kayu, barang tambang seperti batu mulia, terutama giok, juga gas dan minyak. Oleh karena itu, sebagian wilayah di Myanmar menjadi incaran korporasi multinasional hingga kini, terutama melirik cadangan migasnya yang besar.

 

Data yang dikeluarkan The World Factbook menyebutkan cadangan gas Myanmar sebesar 283,2 miliar kaki kubik, sedangkan cadangan minyaknya sebesar 50,5 juta barel. Selain itu Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang menguntungkan, terutama bagi China, karena menjadi akses strategis terhadap laut India dan laut Andaman.

 

Sekitar setengah dari wilayah Myanmar berupa hutan yang banyak menghasilkan kayu melimpah. Di dataran rendah banyak digunakan sebagai lahan pertanian. Myanmar termasuk negara penghasil beras di Asia Tenggara. Menurut laporan Departemen Agrikultural AS (USDA), luas daerah pertanian Myanmar di tahun 2015 sebesar 7,1 juta hektar, dan produksi beras giling sebesar 12,8 juta ton. Hingga kini, sektor pertanian masih menjadi tumpuan mata pencaharian sebagian besar rakyat Myanmar.

 

Meskipun kaya dengan sumber daya alam, tapi selama rejim Junta militer berkuasa, Myanmar menjadi negara termiskin di Asia Tenggara dan sepertiga penduduknya berada dalam kemiskinan akut, pada saat yang sama hanya 20 keluarga di Myanmar yang menguasai setengah lebih perekonomian nrgara ini.(The Guardian, Jumat, 26/4/2013).

 

Berdasarkan laporan Bertelsmann Stiftung’s Transformation Index (BTI) 2016, sekitar 70 persen tinggal di daerah pedesaan. Banyak petani bertahan pada tingkat  pendapatan yang sangat rendah. Mengutip data dari World Food Program, BTI (2016) menjelaskan lebih dari sepertiga kematian anak terkait dengan gizi buruk.

 

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF) tahun 2016, produk domestik bruto (PDB) nominal Myanmar sebesar 68.277 juta dolar, sedangkan pendapatan perkapita negara ini sebesar 1.212 dolar (2015). Hingga kini, pemerintah Myanmar menghadapi masalah pelik pengembangan sumber daya manusia.

 

Laporan UNDP tahun 2015 menunjukkan nilai indeks pengembangan manusia (HDI) Myanmar sangat rendah, dan berada di posisi 148 dari 188 negara dengan nilai 0,536. Di kalangan negara anggota ASEAN, hanya Myanmar yang berada di level HDI rendah. Sebab, indeks pengembangan manusia di negara anggota ASEAN lainnya berada di tingkat medium dan tinggi, bahkan ada dua yang sangat tinggi yaitu Singapura dan Brunei.

 

BTI (2016) melaporkan, sekitar 17 persen dari keluarga Myanmar menghadapi masalah ketidakstabilan pasokan makanan, terutama di daerah-daerah yang dilanda konflik seperti: Kachin dan Rakhine. Laporan WHO (2013) menunjukkan kematian di bawah usia lima tahun termasuk tinggi di Myamar dengan persentase 52 kematian dari setiap 1.000 kelahiran.

 

Tampaknya, rendahnya tingkat pendidikan juga dipicu masalah ekonomi yang melilit negara di kawasan Asia Tenggara itu. Pemerintah Myanmar tidak menyediakan dana memadai untuk pendidikan, sehingga sekolah memungut biaya yang relatif besar, akibatnya banyak orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah setelah tamat sekolah dasar. Bahkan, seperempat dari anak-anak di Myanmar meninggalkan sekolah dasar sebelum menginjak kelas lima.

 

Pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia yang terhambat di Myanmar juga dipicu oleh masalah produksi dan perdagangan narkotika di negara ini. Kantor PBB urusan narkotika dan kejahatan, UNODC melaporkan, produksi opium di Myanmar menjadi penyumbang utama produk domestik bruto daerah (PDB). Burma menjadi produsen opium terbesar kedua di dunia setelah Afghanistan, yang memproduksi sekitar 25 persen dari opium dunia, dan menjadi bagian dari Segitiga Emas.

 

Selama sepuluh tahun terakhir produksi opium di Myanmar meningkat. Jumlah lahan yang dipergunakan untuk budidaya opium naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2006. Secara historis, industri opium merupakan monopoli di era kolonial dan sejak itu telah dioperasikan secara ilegal oleh pejabat korup di kalangan militer dan kelompok milisi pemberontak, terutama sebagai dasar untuk pembuatan heroin.

 

Produksinya terkonsentrasi di negara bagian Shan dan Kachin. Berdasarkan laporan UNODC, budidaya opium di Mynamar pada tahun 2015 sebesar 55.000 hektar yang merupakan terbesar di kawasan Asia Tenggara disusul Laos sebesar 5.700 hektar.

 

Kemiskinan menyebabkan para petani tergiur untuk menanam opium yang menghasilkan keuntungan finansial 17 kali lebih dari beras. Data tahun 2012 menunjukkan produksi opium sebesar 690 ton, yang bernilai 359 juta dolar. Jeremy Douglas, direktur UNODC untuk kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. memperingatkan bahwa bisnis opium dan heroin bisnis mengancam rencana pembangunan daerah.

 

Survei sosial ekonomi terhadap para petani di desa-desa penanam opium menunjukkan bahwa uang yang dihasilkan dari budidaya opium sangat penting bagi penduduk desa yang terancam rawan pangan dan kemiskinan. "Terdapat hubungan jelas antara budidaya opium dan kemiskinan, kondisi hidup yang sulit, utang rumah tangga, dan kurangnya sumber pendapatan alternatif," kata Tun Nay Soe, koordinator program UNODC SMART di Asia Tenggara.

 

Wilayah Myanmar yang sebagian besar hutan ditambah lemahnya pengawasan pemerintah dan kemiskinan yang melilit rakyat menyebabkan negara ini sebagai produsen sekaligus tempat budidaya opium tidak bisa dihindari hingga kini.

 

Seorang peneliti, Patrick Meehan (EastAsiaForum,14/6/2016) mengungkapkan bahwa pemerintah Mynamar, terutama dari kalangan militer memanfaatkan bisnis opium untuk mengamankan kepentingannya demi membiayai sejumlah besar milisi lokal yang melakukan berbagai tugas keamanan dan anti-pemberontakan.

 

Menurut Meehan, milisi telah dikerahkan untuk melindungi proyek-proyek pembangunan di negara bagian Shan, termasuk jaringan pipa minyak, gas dan bendungan, sekaligus merebut tanah dari petani untuk proyek-proyek pertanian skala besar, terutama perkebunan karet. Milisi lokal tidak dibayar langsung oleh pemerintah tetapi dengan imbalan jasa mereka telah diberikan berbagai peluang bisnis, termasuk hak untuk pajak petani opium dan impunitas bisnis narkotika.

 

Cara-cara pengerahan milisi lokal untuk mengamankan kepentingan pusat Myanmar, terutama di era junta militer secara sosiologis membentuk pola relasi kuasa simbiosis mutualisme antara pusat dari daerah. Fakta sosial tersebut tidak hanya terjadi di negara bagian Shan, tapi juga diterapkan di negara bagian Rakhine dengan memanfaatkan sentimen SARA yang kental.

 

NGO Myanmar yang berbasis di London, Burma Campaign UK (BCUK) mengungkapkan masalah perampasan tanah yang marak di era presiden Thein Sein. Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya yang berjudul  “Discrimination in Arakan” menjelaskan kehadiran tentara di Arakan yang menimbulkan masalah bagi warga etnis Rohingya.

 

Menurut HRW, pemerintah pusat Myanmar tidak mampu mendanai 450.000 tentara, yang acapkali melakukan pemerasan dan pencurian serta kerja paksa terhadap warga Rohingya. Tentara yang melakukan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya mendapatkan impunitas hukum.

 

Lebih dari itu, masalah paling besar bagi Rohingya adalah undang-undang kewarganegaraan  tahun 1982 yang menghalangi mereka menjadi warga negara resmi Myanmar. Masalah tersebut akan dibahas pada pertemuan mendatang.(PH)

 

Tags