Nestapa Muslim Rohingya (3)
(last modified Wed, 08 Mar 2017 04:54:00 GMT )
Mar 08, 2017 11:54 Asia/Jakarta

Persekusi terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya hingga kini masih terus berlanjut, bahkan ketika rezim telah beralih tangan dari junta militer kepada pemerintah sipil.  Situs resmi pemerintah Mynamar hanya mengakui 8 suku nasional besar dan 135 kelompok etnis.

Suku Kachin dengan 12 kelompok etnis, suku Kayah dengan 9 kelompok etnis, suku Kayin (Karen) dengan 11 kelompok etnis, suku Chin dengan 53 kelompok etnis, suku Mon dengan satu kelompok etnis, suku Bamar dengan 9 kelompok etnis, suku Shan dengan 33 kelompok etnis, serta suku Rakhine dengan 7 kelompok etnis.

 

Berdasarkan daftar yang dijadikan ketentuan oleh pemerintah Myanmar hingga kini, Rohingya bukan etnis yang diakui pemerintah pusat Naypyidaw. Alasan dominan yang sering mengemuka, Rohingya adalah imigran Bengali yang bukan ras asli Mynamar, dan tidak memiliki akar di Arakan. Lalu, bagaimana dokumen sejarah yang obyektif menjelaskan masalah tersebut. 

 

Terkait hal ini sejarawan internasional, Jacques P. Leider menuturkan urgensi penelusuran sejarah Muslim Rohingya dan konteks sosial, politik dan budaya yang terjadi di dalamnya.

 

Berbicara tentang awal kehadiran Muslim [di Arakan], kita perlu memeriksa bukti. Kita perlu melihat konteks periode awal masuknya Islam ke Bengal sekitar abad ke-13, dan urgensi posisi kultural Arakan, dan pengaruh kesultanan Bengal pada abad ke-14, juga koin emas, dan bukti-bukti historis lainnya.

 

Secara umum terdapat dua teori besar mengenai kehadiran minoritas Muslim Rohingya di Myanmar, terutama Arakan. Teori pertama meyakini Muslim Rohingya sebagian besar adalah imigran Bengali yang datang dari Pakistan Timur, yang sekarang menjadi Bangladesh sejak merdeka pada 26 Maret 1971. Gelombang besar kedatangan mereka sebelum berdiri Pakistan bersamaan dengan dimulainya penjajahan Inggris atas Burma tahun 1824.

 

Teori ini lebih didasarkan pada kedekatan bahasa Bengali yang kuat dengan Dialek Chittagongnya. Pandangan yang diadopsi para sarjana dan mayoritas masyarakat umum Myanmar ini dijadikan acuan oleh rezim Myanmar untuk menentukan kategori Rohingya tidak termasuk dalam daftar 135 kelompok etnis yang diakui negara. Teori ini pula yang menjadi dasar kebijakan rasis Ne Win yang berujung persekusi terhadap minoritas Muslim Mynmar itu.

 

Sebagaimana kebanyakan pendukung rezim Myanmar, seorang sarjana negara ini, Aye Chan meyakini istilah Rohingya tidak ditemukan dalam sumber sejarah sebelum tahun 1950-an. Chan dalam tulisannya “The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma (Myanmar)” (Vol.3, No. 2, 2005) mengungkapkan bahwa orang-orang yang menyebut dirinya Rohingya adalah Muslim dari wilayah perbatasan Mayu, kini Buthidaung dan Maungdaw di Arakan (Rakhine), yang merupakan sebuah provinsi terpencil yang hanya dibatasi sungai Naaf dengan Bangladesh.

 

Meskipun demikian, sarjana Burma ini mengakui kehadiran Muslim di Arakan dengan merujuk pada laporan Inggris abad ke-19. Data serupa juga diperkuat dengan penelitian Moshe Yegar berjudul “The Muslim of Burma: A Study of a Minority Group” (1972) yang mengutip data sensus Inggris yang menyebut komunitas Muslim dengan Mohammedan.

 

Persoalan serius dalam Studi Chan dan para sarjana lainnya yang menyebut kelahiran istilah Rohingya baru muncul pada dekade 1950, selalu melepaskan konteks “tabu” yang lahir dari proses dinamika politik Mynamar pasca kudeta militer Ne Win.

 

Studi lain yang dilakukan Imtiaz Ahmed, profesor hubungan Internasional Universitas Dhaka dalam tulisannya “The Rohingya: From stateless to Refugee” menunjukkan kuatnya narasi politik identitas yang dimainkan rezim junta militer dan diamini hingga kini oleh pemerintah sipil Myanmar untuk mengeluarkan Rohingya bukan bagian dari kelompok etnis negara itu.

 

Hingga ini, di level sosial, penyebutan nama Rohingya sebagai tabu bagi masyarakat Myanmar. Bahkan, Museum Nasional Yangon, yang memiliki koleksi yang sangat baik dari seluruh ras dan kelompok etnis tidak menyebutkan Rohingya, dan tidak ada koleksi yang didedikasikan untuk mereka. Dari sini, Foucault benar, pengetahuan selalu bersanding dengan rezim kebenaran seperti dua gambar dalam satu mata uang.

 

Sejarawan internasional, Jacques P. Leider menjelaskan sumber-sumber prakolonial Inggris, yang menunjukkan penggunaan istilah Rohingya dalam bentuk Rooinga yang berbeda dengan Bangla. Salah satu rujukan pernyataannya merujuk adalah catatan perjalanan Francis Buchanan Hamilton.

 

Di tahun 1799, Hamilton menyatakan, "Saya sekarang akan menambahkan tiga dialek yang diucapkan di era kekaisaran Burma, tapi jelas ini berasal dari bahasa bangsa Hindu. Pertama, diucapkan oleh Mohammedans (orang-orang Muslim), yang telah lama menetap di Arakan, dan mereka menyebut dirinya Rooinga, atau penduduk asli Arakan,”.

 

Hamilton melanjutkan penjelasannya, “Dialek kedua, diucapkan oleh Hindu yang tinggal di Arakan. Saya memperolehnya dari seorang Brahmen (Brahmana) dan pembantunya, yang telah membawa ke Amarapura oleh putra sulung raja, ketika kembali dari penaklukan Arakan. Mereka menyebutnya Rossawan…”.

 

Sedangkan dialek ketiga, menurut ahli botani dan medis asal Skotlandia yang tinggal lama di India dan sejumlah negara Asia Selatan ini adalah orang orang India. Hamilton menuturkan, “Dialek ketiga adalah Hindustanee. Saya akan menjelaskan orang yang disebut bangsa Burma sebagai Aykobat, sebagian dari mereka adalah budak di Amarapura.”

 

Masih menurut Hamilton, “Orang-orang Hindu Bengal, setidaknya yang telah tinggal di Arakan, menyebut negaranya sebagai Rossawn, Mohammedan (orang-orang Muslim) yang tinggal di Arakan menyebutnya Rovingaw, dan orang Persia memanggilnya Rekon,”.

 

Francis Buchanan Hamilton (1762-1829) dalam catatan perjalanannya menunjukkan perbedaan contoh kata yang berbeda dari ketiga dialek di Arakan itu. Misalnya untuk kaki, Rooinga (Rohingya) menyebutnya Pau, sedangkan Rossawn menamainya Pata, dan Banga (Bangla) menyebut Zankan. Hamilton menjelaskan 50 daftar kata-kata dalam bahasa Inggris yang dipadankan dengan ketiga bahasa berbeda di Arakan tersebut 

 

Penelitian Dr.Ganganath Jha dari Jawaharlal Nehru University of India mempertegas penjelasan Leider dan Hamilton bahwa Rohingya berasal dari Rohang, yang merupakan nama kuno dari Arakan. Muslim Arakan disebut dengan bahasa mereka sendiri yaitu 'Rohang atau Roang' dan menyebut diri mereka sebagai Rohangya (Rohang + ya) atau Roangya (Roang + ya) berarti asli Rohang atau Roang.

 

Dr. Thibaut D’Hubert, pakar bahasa Asia Selatan dari Universitas Chicago menulis: “Aturan yang terdapat pada sejarah bahasa Indo-Arya memudahkan untuk menemukan makna Rohingya yang diturunkan dari Rokhanga. Kata Roshang (a) dengan atau tanpa “a” secara lebih luas tersebar sejak dimulainya literatur Bengali di wilayah Chittagong, dan sekitarnya, kira-kira sekitar abad ke-17 yang berakhir hingga abad ke-18. Hal ini membantu menghubungkan makna Rakhanga dengan Rohingya.”

 

Teori lainnya, yang lebih valid menunjukkan bahwa Rohingya adalah kelompok campuran dengan banyak koneksi etnis dan ras dari berbagai bangsa. Menurut Peter Nicolaus, minoritas Muslim di Arakan yang saat ini disebut sebagai Rohingya, adalah pencampuran dari kultur, bahasa dan etnis Persia, Pashtu, Arakan dan Bengali.  Sebagian ahli menyebut adanya pengaruh Moor (Muslim Afrika utara), Arab, termasuk tentara Moghul, Turki, Pathan dan Bengali yang tiba di Arakan antara  abad 9 hingga 15. Lalu terjadi asimilasi melalui pernikahan dengan perempuan lokal, dan menetap di wilayah tersebut.

 

Kedatangan mereka jauh sebelum era kolonialisme Inggris yang mencapai puncaknya di era raja Narameikhla Min Saw Mon (1430-1434) pendiri Kerajaan Mrauk U. Setelah 24 tahun berada di pengasingan di Bengal, raja Narameikha kembali merebut tahta kerajaan Arakan pada 1430 dengan bantuan militer dari Kesultanan Bengal. Kedatangan orang-orang Bengal membentuk koloni baru di wilayah Arakan. Jejak arkeologi menunjukkan kerajaan Mrauk U mencetak koin emas sendiri dengan aksara Burma di satu sisi, dan alfabet Persia.

 

Penjelasan historis ini cukup benderang menunjukkan jejak Rohingya yang memiliki akar di Arakan. Lalu mengapa rezim Myanmar menolak memasukkannya sebagai kelompok etnis di Rakhine. Selama orang-orang di Rohingya tidak diakui sebagai minoritas etnis, dan tabu politik tidak dihentikan terhadap komunitas Muslim ini, selama itu pula persekusi akan terus terjadi dan pembersihan etnis berlangsung tanpa bisa dicegah dalam skala yang luas.

Tags