Nestapa Muslim Rohingya (5-habis)
(last modified Sun, 12 Mar 2017 05:37:09 GMT )
Mar 12, 2017 12:37 Asia/Jakarta

Ketika perhatian publik internasional tertuju ke arah pemerintahan sipil Myanmar yang dimotori peraih nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi pasca meletusnya konflik terbaru Rakhine, secara tiba-tiba dunia dikagetkan dengan aksi penembakan penasihat hukum partai Liga Nasional Demokrasi (NLD), U Ko Ni.

Pengacara Muslim ini tewas ditembak mati di bandara Yangon setelah pulang dari konferensi bertajuk “Democratic Transition, Military Reform and Communal Conflict: What can Myanmar Learn from Indonesia’s Communal Violence in a Time of Democratic Transition (1999 – 2003)” yang digelar Habibie Center di Indonesia.

 

Sejak terpilih melalui pemilu demokratis di tahun 2015, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) masih bergelut dengan masalah transisi kekuasaan dari tangan militer kepada pemerintahan sipil. Sejumlah pekerjaan rumah besar masih menghadang, salah satunya yang terbesar adalah perlindungan terhadap minoritas Muslim Rohingya yang kerap didiskriminasi, bahkan disiksa dan dibunuh.

 

Hingga kini, konflik etnis di Rakhine tidak mudah diurai, karena sarat kepentingan banyak pihak yang bermain di dalamnya. Bahkan, awal Desember 2016 lalu, pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi balik menuduh publik internasional memanaskan situasi politik yang terjadi di negaranya.

 

Jika ditinjau dari pendekatan struktural, aksi penembakan yang dilakukan terhadap U Ko Ni tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas masalah yang melingkupinya. Posisi Ko Ni sebagai penasehat hukum NLD, dan sosoknya sebagai pengacara Muslim di tubuh pemerintahan sipil yang belum lama berpindah dari junta militer menjadi bagian dari rangkaian benang kusut masalah sektarian yang melanda Myanmar.

 

Meskipun belum ada hasil investigasi resmi yang diumumkan otoritas Myanmar, tapi para analis politik menilai kasus penembakan tersebut berkaitan dengan pengaruh militer yang hendak dikikis oleh pemerintahan sipil. Media internasional melaporkan, Kantor presiden Myanmar menyebut Aung Win Khine (45), pensiunan letnan kolonel angkatan darat, sebagai orang yang memerintahkan pembunuhan tersebut.

 

Putri U Ko Ni, Yin Nwe Khine, kepada kantor berita Reuters (30/1/2017) mengungkapkan bahwa ayahnya memang sering diancam karena menentang pengaruh militer yang terus berlangsung dalam kehidupan politik Myanmar. Selain itu, menurut Khine, “Banyak orang membenci kami karena kami mempunyai keyakinan agama yang berbeda, jadi saya pikir mungkin itulah sebabnya, tetapi saya tidak tahu alasannya,".

 

Tampaknya, kematian Ko Ni sangat terkait dengan posisinya sebagai pengacara senior Muslim, sekaligus pakar konstitusi yang sedang bekerja untuk mengamandemen jatah 25 persen kursi parlemen untuk militer. Menurut sumber yang dekat dengan Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD), Ko Ni memberikan nasihat kepada Suu Kyi dalam sejumlah hal penting. Salah satu bentuk nasihat Ko Ni adalah diciptakannya posisi konselor negara untuk Suu Kyi karena konstitusi Myanmar membuatnya tak bisa menjadi presiden negeri itu.

 

Dominasi cengkeraman junta militer yang masih kuat di tubuh pemerintahan sipil Myanmar saat ini bertemu dengan kepentingan para politisi lokal Rakhine yang memanfaatkan konflik sektarian di negara bagian itu untuk kepentingan ekonomi, politik dan sosial tertentu. Kondisi tersebut diperparah dengan meningkatnya pengaruh negatif politik identitas yang dimainkan elit pusat dan lokal Rakhine dengan menyulut sentimen sektarian.

 

Tin Tun, seorang warga minoritas Muslim yang tinggal di Yangon menjelaskan dominasi kepentingan politik dalam konflik di Rakhine, dan pada dasarnya mayoritas masyarakat Myanmar toleran dan saling menghargai.

 

Saya berharap kondisi pulih kembali. Apa yang terjadi saat ini, bukan konflik agama, tapi politik. Sejak dahulu etnis dan agama beraneka ragam (di Mynamar), tapi bisa hidup harmonis. Inilah yang kami harapkan. Semoga kehidupan antaretnis kembali rukun dan damai.

 

Kepentingan politik begitu kental mewarnai konflik sektarian di Myanmar, dari persekusi Rohingya di Rakhine hingga penembakkan pengacara Muslim di Yangon. Demikian juga dengan kemunculan arus kelompok rasis yang meniupkan sentimen sektarian, semacam gerakan 969 yang dipimpin Ashin Wirathu, membawa tendensi politik yang begitu kental.

 

Sepak terjang Wirathu mengulang propaganda sebelumnya. Pada 19 Februari 1958, seorang anggota parlemen partai All Arakan National United Legue yang lebih dikenal dengan Ra-Ta-Nya, melemparkan statemen rasis di sidang parlemen di era perdana menteri U Nu sebelum kudeta militer oleh Ne Win. U Hla Tun Pru menegaskan bahwa Inisiatif pembentukan negara bagian Arakan akan memutus aliran imigrasi ilegal orang-orang Chitagong, penjarahan beras, dan mengakhiri konflik dengan mujahid.

 

Tiga isu yang dibawa oleh politisi Arakan semacam U Hla Tun Pru memiliki kesamaan dengan agenda yang juga diusung oleh gerakan sektarian Wirathu yaitu: imigran ilegal dari Bangladesh, ancaman ekonomi dan keamanan. Ketiga isu tersebut dikemas dalam narasi “tabu politik yang disebarkan secara masif di era junta militer Ne Win hingga kini. Masalah tersebut tumbuh subur ditopang oleh tiga faktor antara lain:

 

Pertama, minimnya tingkat pendidikan dan rendahnya daya kritis sebagian warga Myanmar terhadap pemerintah dan juga institusi keagamaan menjadi lahan yang subur bagi penyebaran propaganda “tabu politik Rohingya” yang dikemas dalam narasi politik identitas melalui jargon-jargon sektarian.

 

Kedua, dampak tranformasi regional dan global. Keterlibatan para pemimpin institusi agama Budha semacam Ashin Wirathu dalam gerakan sektarian tidak hanya lahir dari gejolak politik dalam negeri Myanmar saja. Tapi juga dipengaruhi oleh transformasi regional dan internasional.

 

Fenomena Wirathu bagian dari gerak bandul sosial yang terjadi di Myanmar yang tidak terkait dengan agama yang dianutnya. Menurut pengakuan Wirathu sendiri, kelahiran gerakan 969 sebagai aksi balasan atas penghancuran patung Budha Bamiyan di Afghanistan. Dari sini jelas, sepak terjang Wirathu tentu tidak mewakili umat Budha, meskipun ia mengklaim demikian. Sebagaimana juga Taliban tidak mewakili mayoritas Muslim yang menyuarakan perdamaian di muka bumi.

 

Ketiga, kepentingan ekonomi politik sebagian orang di Myanmar, terutama elit politik Rakhine yang mengorbankan banyak orang, terutama Muslim Rohingya, bertemu dengan kepentingan militer yang berusaha mempertahankan dominasinya di Myanmar. Akumulasi kepentingan ini menjadi sumbu pengobar berlanjutnya konflik sektarian di Rakhine.

 

Sejatinya, pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan oleh pemerintahan sipil Myanmar saat ini adalah memulihkan stabilitas keamanan di Rakhine. Bagi minoritas Rohingya, Aung San Suu Kyi memiliki utang besar yang harus ditebusnya segera, yaitu mengembalikan status mereka sebagai warga negara yang diakui hukum dengan mengamandemen undang-undang kewarganegaraan tahun 1982.

 

Masalah tersebut berulangkali ditegaskan berbagai pihak dari ASEAN, OKI hingga PBB. Sebab, status stateless bagi Rohingya menjadi salah satu akar penyebab munculnya pembersihan etnis komunitas Muslim Rakhine itu. Penolakan terhadap Rohingya sebagai kelompok etnis resmi di Myanmar yang terjadi selama ini bersifat ahistoris, karena mereka termasuk komunitas yang telah ada jauh sebelum kolonialisme Inggris, bahkan menjadi bagian dari khazanah kekayaan budaya dan peradaban Myanmar.

 

Pada saat yang sama, pemerintah pusat Myanmar harus menegakkan supremasi hukum untuk menindak siapapun yang melanggar hukum, termasuk aparat keamanan. Selain itu, pemerintahan Suu Kyi harus menumbuhkembangkan kesadaran rakyatnya sendiri tentang perdamaian dan penghargaan terhadap keragaman etnis dan agama yang mulai pudar. Lebih dari itu, sebagai pejabat penting pemerintahan Mynamar, sekaligus pemegang nobel perdamaian, ia harus terjun terlibat aktif meredam sentiman anti minoritas Muslim Rohingya yang terus berlanjut hingga kini.

Tags