Gelombang Baru Kekerasan terhadap Rohingya
(last modified Sat, 16 Sep 2017 05:14:02 GMT )
Sep 16, 2017 12:14 Asia/Jakarta

Gelombang kekerasan kembali terjadi menimpa minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, yang terletak di wilayah barat Myanmar. Fenomena ini memuncak sekitar dua pekan lalu pasca serangan milisi ARSA terhadap pos petugas keamanan Myanmar yang menewaskan sejumlah tentara negara Asia Tenggara itu.

Sejak Jumat, 25 Agustus 2017, gelombang serangan militer Myanmar dan kelompok Budha ekstrem terhadap Muslimin Rohingya di negara bagian Rakhine telah menewaskan sedikitnya 400 orang, bahkan beberapa sumber mengatakan, jumlah korban mencapai 1.000 orang.

Wakil Direktur Human Rights Watch, Akshaya Kumar mengatakan, dokumen tentang kejahatan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya luar biasa mengerikan. Akshaya Kumar pada Sabtu (9/9/2017) menuturkan, Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine secara terorganisir menjadi sasaran penyiksaan dan diskriminasi selama bertahun-tahun. Akshaya Kumar menerangkan bahwa dari hasil analisa citra satelit dan dokumen-dokumen lain, lebih dari 200 titik di berbagai negara bagian Rakhine hangus terbakar.

Chris Lewa, direktur The Arakan Project, lembaga yang tergabung dalam Jaringan Hak-hak Pengungsi Asia-Pasifik, APRRN yang mengawasi serangan militer Myanmar di Rakhine menuturkan, hingga saat ini terjadi pembunuhan atas sedikitnya 130 orang dalam serangan di wilayah pemukiman penduduk Muslim, Rathedaung.

Ia menambahkan, sejumlah laporan juga menunjukkan puluhan Muslimin tewas di tiga desa. Menurut Chris Lewa, aparat keamanan Myanmar bersama kelompok Budha ekstrem mengepung desa-desa dan melepaskan tembakan membabi buta ke segala arah.

Sementara itu, pihak pemerintah Myanmar menuding Muslim Rohingya sendiri yang membakar dan menghancurkan rumahnya. Tapi, wartawan yang mengunjungi lima desa yang telah hangus pada hari Kamis pekan lalu mengatakan tidak ada warga Muslim di desa itu yang menyalakan api.

Militer Myanmar dan kelompok Budha ekstrem, membakar mayat-mayat orang Rohingya untuk menghilangkan bukti-bukti kejahatan mereka demi mengelabui masyarakat internasional. Surat kabar Inggris, The Independent, Selasa (5/9) melaporkan, militer dan kelompok Budha ekstrem di Myanmar mengumpulkan mayat-mayat Rohingya dan membakarnya. Mereka berusaha menutupi kejahatan genosidanya terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine, dari pantauan dunia internasional.

Laporan sejumlah saksi mata di Myanmar, menunjukkan bahwa pasukan negara itu memperlakukan Muslim Rohingya dengan tindakan paling sadis. Menurut keterangan saksi mata, militer Myanmar memenggal kepala anak-anak dan membakar Muslimin Rohingya.

Lembaga hak asasi manusia, Fortify Rights merilis laporan mengerikan yang didapat dari pengakuan saksi mata di desa Chut Pyin, wilayah Rathedaung, 27 Agustus 2017 lalu. Fortify Rights mewawancarai 24 orang Muslim Rohingya yang selamat dan sejumlah saksi mata serangan yang terjadi di tiga kota, negara bagian Rakhine, yaitu Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung.

Para korban yang selamat dan saksi mata menceritakan terjadinya pembunuhan massal dan pembakaran rumah oleh militer Myanmar, polisi, Lon Tein (penjaga keamanan) dan warga sipil bersenjata. PBB, Sabtu (2/9) mengumumkan, 60 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh menyusul serangan baru yang dilancarkan militer Myanmar terhadap mereka.

Menyikapi berlanjutnya gelombang kekerasan terhadap minoritas Rohingya, Wakil Direktur Human Rights Watch, Akshaya Kumar meminta Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian dan Menteri Luar Negeri Myanmar, untuk segera bertindak guna menghentikannya. Saat ini banyak pihak mempertanyakan sikap Suu Kyi yang memilih diam terhadap situasi tragis yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar.

Seruan senada juga datang dari Pelapor Khusus HAM PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee. Ia menyebut kondisi Muslim Myanmar sangat mengerikan dan meminta Menteri Luar Negeri Myanmar Aung San Suu Kyi untuk menghentikan pembantaian warga Muslim di Rakhine. Lembaga-lembaga HAM internasional meminta pemerintah Myanmar tidak menghalangi pengiriman bantuan kemanusiaan kepada Muslim Rohingya di Rakhine.

Milisi pendukung Rohingya, ARSA menyatakan gencatan senjata secara sepihak, tapi militer Myanmar menolaknya. Televisi Aljazeera melaporkan, Milisi ARSA mengumumkan gencatan senjata dengan pihak militer Myanmar supaya bantuan kemanusiaan internasional bisa masuk untuk menyelamatkan orang-orang Rohingya. ARSA juga meminta militer Myanmar melakukan tindakan serupa.

Pengumuman gencatan senjata sepihak yang disampaikan ARSA sejak pekan lalu selama sebulan bertujuan untuk meredam isu yang berkembang bahwa pihak milisi ARSA yang memicu konflik di Rakhine, termasuk tudingan pembakaran rumah orang-orang Rohingya.

Selain itu, gencatan senjata ini untuk menghalangi berlanjutnya operasi militer Myanmar, dan memudahkan masuknya bantuan kemanusiaan. Organisasi-organisasi kemanusiaan internasional juga menyerukan gencatan senjata di Rakhine supaya bantuan kemanusiaan bisa masuk ke wilayah konflik itu.

Tapi masalahnya, pihak pemerintah Myanmar menolak usulan gencatan senjata tersebut.Juru bicara Aung San Suu Kyi di twitternya menulis, "Kebijakan kami tidak akan berunding dengan teroris,".

Di tengah akutnya krisis kemanusiaan yang menimpa Rohingya, sejumlah laporan baru-baru ini menyinggung keterlibatan Israel dalam kejahatan terhadap Rohingya yang dilakukan militer Myanmar. Salah satunya adalah dukungan rezim Zionis Israel sebagai pemasok utama senjata dan amunisi militer Myanmar dalam menyerang minoritas Muslim Rohingya.

Pasca munculnya gelombang protes para aktivis hak asasi manusia internasional atas berlanjutnya penjualan senjata Israel ke Myanmar, petinggi Tel Aviv dalam salah satu statemennya mengatakan bahwa penjualan senjata Israel ke Myanmar dilakukan sesuai dengan izin Amerika Serikat dan Eropa.

Avigdor Lieberman, Menteri Peperangan Israel manyampaikan klaim tersebut, padahal Amerika dan Eropa sudah menerapkan boikot senjata dan peralatan militer atas Myanmar. Menurut Lieberman, penjualan senjata ke Myanmar adalah masalah diplomatik, oleh karena itu tidak ada ruang untuk protes.

Di sisi lain, sebagian kalangan melihat kesamaan pola yang dilakukan rezim Zionis terhadap Palestina dengan aksi militer Myanmar terhadap orang-orang Rohingya di Rakhine yang harus meninggalkan tempat tinggalnya.

Gelombang baru kekerasan terhadap Rohingya menyita perhatian dan solidaritas masyarakat dunia, terutama dari negara-negara Muslim dan negara tetangga Myanmar yang menjadi tujuan pengungsi Rohingya seperti Bangladesh.

Umat Islam dari berbagai negara Muslim seperti Iran, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Afghanistan, Bahrain, Republika Chechnya, Kashmir dan juga komunitas-komunitas Muslim yang tersebar di berbagai negara Eropa mengecam kejahatan terhadap Rohingya dan menggalang solidaritas bantuan kemanusiaan untuk mereka.

Selain menempuh pendekatan diplomatis dengan mengunjungi langsung petinggi Myanmar sebagaimana yang dilakukan menteri luar negeri Indonesia, Retno LP Marsudi, pemerintah Indonesia juga mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Rohingya. Dilaporkan bantuan senilai dua juta dolar akan dikirim untuk membantu orang-orang Rohingya yang menjadi korban kekerasan terbaru di Rakhine. Sebelumnya bantuan serupa juga sudah dikirimkan.

Di tingkat regional dan internasional, organisasi seperti ASEAN, OKI dan PBB juga harus lebih aktif untuk menekan pemerintah Myanmar supaya menghormati hak asasi manusia dan menghentikan berlanjutnya kekerasan terhadap Rohingya, serta mengembalikan stabilitas keamanan di Rakhine.

Tags