Polemik Nuklir Iran Antara Gedung Putih dan Kongres
(last modified Sat, 23 Dec 2017 04:20:11 GMT )
Des 23, 2017 11:20 Asia/Jakarta

Setelah habisnya tenggat 60 hari untuk membahas isu nuklir Iran, Kongres Amerika Serikat akhirnya lempar bola ke Gedung Putih terkait masalah kesepakatan nuklir Iran atau Rencana Aksi Bersama Komprehensif, JCPOA.

Sebelumnya, isu panas nuklir Iran dilempar Gedung Putih ke Kongres, dan sekarang dikembalikan lagi ke Gedung Putih agar pemerintah Washington mengambil keputusan terkait kesepakatan yang disebutnya kesepakatan terburuk sepanjang sejarah Amerika itu.

Saling lempar bola antara Gedung Putih dan Kongres Amerika terkait JCPOA dimulai sejak Presiden Donald Trump, 13 Oktober 2017 lalu tidak mengakui komitmen Iran atas kesepakatan nuklir, berbeda dengan keyakinan masyarakat internasional. Selain melemparkan tuduhan-tuduhan tak berdasar atas Iran, Trump untuk pertama kalinya juga mengaku tidak bisa mengkonfirmasi kepatuhan Iran pada JCPOA.

Padahal pengakuan soal komitmen Iran merupakan hak prerogratif Badan Energi Atom Internasional, IAEA dan sampai sekarang lembaga ini, dalam seluruh laporannya mengakui komitmen penuh Iran pada kesepakatan nuklir. Namun demikian, Presiden Amerika terus memusuhi Iran dan dengan bersandar pada aturan internal negaranya, ia enggan mengakui komitmen Iran atas JCPOA.

Kongres yang didominasi oleh kubu Republik, pada tahun 2015 mengesahkan sebuah keputusan yang mewajibkan Presiden Amerika melaporkan kesepakatan nuklir Iran satu kali setiap 90 hari.

Kongres Amerika

Di dalam undang-undang peninjauan ulang kesepakatan nuklir Iran ditetapkan, ketika Presiden Amerika tidak bisa mengkonfirmasi komitmen Iran pada JCPOA, maka Kongres punya waktu 60 hari untuk memutuskan apakah sanksi-sanksi lama yang ditangguhkan atas Iran kembali dijatuhkan atau mengesahkan sanksi baru.

Batas waktu itu dimulai pada 13 Oktober 2017. Trump dalam pidato kontroversialnya terkait kesepakatan nuklir Iran, mendesak Kongres dan sekutu-sekutu Eropanya untuk mengambil langkah bersama menghadapi apa yang disebutnya pelanggaran kesepakatan nuklir Iran atau sanksi rudal dan regional atas negara ini. Saat itu Trump lempar bola ke Kongres dan sekutu Eropanya.

Di hari-hari pertama pasca pidato Trump, atmosfir anti-Iran di Kongres memanas. Sejumlah anggota Kongres bahkan mengeluarkan statemen pedas dan provokatif soal nuklir Iran dan berjanji akan mengambil keputusan tegas terkait JCPOA.

Mereka dipimpin dua senator Republik, termasuk Bob Corker dan Tom Cotton. Keduanya menyusun sebuah rancangan yang mengusulkan dimulainya kembali sanksi nuklir Iran, seandainya Tehran melakukan uji coba rudal atau menambah daya jangkau rudal-rudalnya.

Sebagian anggota Kongres lain mengusulkan digelarnya kembali perundingan nuklir dan penambahan beberapa klausul baru dalam kesepakatan nuklir Iran. Sebagai contoh, mereka menuntut agar beberapa pembatasan waktu dalam JCPOA terkait nuklir Iran, ditambah atau bahkan dipermanenkan. Atau penghentian program-program penelitian dan pengembangan produksi generasi baru sentrifugal Iran. Pengesahan masing-masing draf usulan tersebut dapat berujung dengan pembatalan kesepakatan nuklir Iran.

Reaktor nuklir Bushehr, Iran

Iran berulangkali mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan pernah bersedia melakukan perundingan nuklir ulang dan tidak akan menambahkan satu klausulpun ke dalam kesepakatan nuklir. Selain itu, Tehran dengan tegas mengatakan bahwa kekuatan pertahanannya, termasuk rudal, tidak bisa dirundingkan dengan alasan apapun.

Pada saat yang sama, Eropa sudah menyampaikan kepada pemerintah Amerika dan Kongres, bahwa perundingan untuk menyempurnakan atau merevisi isi JCPOA tidak akan pernah terlaksana. Dengan begitu, Kongres dihadapkan pada dua pilihan, pembatasan kesepakatan nuklir Iran atau menyerah pada tuntutan masyarakat internasional.

Sebelumnya negara-negara dunia bersama sejumlah lembaga internasional termasuk PBB, Uni Eropa dan Badan Energi Atom Internasional, IAEA memperingatkan, keluarnya Amerika dari kesepakatan nuklir Iran akan menyebabkan negara itu semakin teralienasi dan akan tercipta jurang pemisah di antara kedua sisi Samudra Atlantik.

Bahkan sejumlah pejabat Amerika sendiri secara implisit mengaku khawatir dengan kondisi ini, namun apa yang lebih membangkitkan keraguan di antara pengambil keputusan di Amerika termasuk Kongres, bukanlah komitmen Amerika atas JCPOA atau ketidakpuasan sekutu Washington, tapi reaksi timbal balik Iran.

Republik Islam Iran sudah mengingatkan, jika sanksi kembali diterapkan, negara ini akan mencampakkan kesepakatan nuklir dan mengembalikan level aktivitas nuklirnya dari segi kualitas dan kuantitas, ke masa sebelum perundingan. Ancaman ini menyebabkan segala bentuk upaya untuk merusak JCPOA terhenti. Bahkan rancangan yang disusun Corker dan Cotton, yang didukung Gedung Putih pun, gagal terealisasi.

Corker mengatakan, karena tidak memenuhi kuorum untuk mengesahkan rancangan ini dan untuk menjawab permintaan tegas Uni Eropa, maka rancangan penggabungan sanksi nuklir Iran dengan aktivitas rudal negara itu, dibatalkan. Begitu juga rancangan-rancangan lain terkait penambahan klausul atas isi JCPOA, tidak berhasil disahkan.   

Reza Nasri, pakar urusan internasional yang juga anggota Institut Lulusan Jenewa untuk Kajian Internasional dan Pembangunan, HEI menuturkan, batas waktu Kongres untuk mengambil keputusan terkait JCPOA sudah habis, dan kubu ekstrem berdasarkan keinginan Donald Trump gagal mengubah kesepakatan nuklir Iran yang bisa menjadi titik akhir kesepakatan ini.

Kongres bahkan dalam waktu 60 hari tidak bersedia melakukan perubahan dalam undang-undang peninjauan ulang kesepakatan nuklir Iran, sehingga Trump tidak harus melaporkan JCPOA setiap 90 hari sekali.

Sejumlah penasihat Trump menginformasikan kepada Kongres bahwa presiden Amerika tidak ingin mengurusi masalah konfirmasi JCPOA, oleh karena itu pada bulan Oktober, ia menolak mengakui komitmen Iran. Namun sepertinya permintaan Trump ini tidak disetujui Kongres dan berdasarkan isi undang-undang yang disahkan tahun 2015, Trump diwajibkan mengumumkan pendapatnya terkait kesepakatan nuklir Iran pada 15 Januari 2018 mendatang.

Pada saat yang sama, Eropa juga tidak melaksanakan permintaan Trump untuk melakukan langkah nyata terhadap Iran dan memaksa negara itu berpikir ulang atas program rudal dan peran regionalnya. Sejak 60 hari lalu, terlepas dari sebagian statemen tak bertanggung jawab dan interventif sejumlah pejabat Eropa, hubungan Iran-Eropa sempat mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa syarat kedua Trump untuk mengakui komitmen Iran atas JCPOA tidak pernah terealisasi.

Gedung Putih

Saat ini, sekali lagi pilihan Amerika untuk keluar atau tetap bertahan dalam kesepakatan nuklir Iran, berada di tangan Trump dan memunculkan tiga kemungkinan skenario. Pertama, pada 15 Januari 2018 nanti, Trump akan mengakui komitmen Iran, berbeda dengan sikapnya pada Oktober 2017.

Hal ini disebabkan ketidakmampuan Kongres dan Uni Eropa dalam mengambil keputusan. Kedua, Trump selain akan kembali tidak mengakui komitmen Iran, juga akan mengumumkan keluarnya Amerika dari kesepakatan nuklir. Sementara skenario ketiga, Presiden Amerika akan kembali tidak mengakui komitmen Iran dan memaksa Kongres untuk melakukan pengkajian lagi.

Skenario pertama muncul dari asumsi bahwa Trump memusuhi program-program kerja pemerintahan Amerika terdahulu, dan skenario kedua bangkit dari kekhawatiran atas reaksi Iran yang akan mencampakkan kesepakatan nuklir. Keduanya adalah skenario yang kemungkinan realisasinya sangat kecil.

Dengan demikian, skenario ketiga, yaitu terulangnya saling lempar bola antara Gedung Putih dan Kongres, peluangnya cukup besar. Amerika berharap dengan dilakukannya kebijakan semacam ini, masa depan JCPOA suram dan kepentingan Iran dari sisi ekonomi dan perdagangan, bisa ditekan serendah mungkin.

Dalam dua tahun terakhir, baik di era Barack Obama maupun sekarang, Donald Trump, pemerintah Amerika berusaha menghambat kemajuan kerja sama dengan Iran, dengan memanfaatkan atmosfir Iranfobia dan ketakutan para pelaku bisnis, termasuk para bankir dan investor Barat. Terkatung-katungnya nasib JCPOA antara diakui atau tidak diakuinya komitmen Iran oleh presiden Amerika dapat mencederai serius implementasi kesepakatan nuklir ini.

Berdasarkan isi kesepakatan nuklir, Amerika harus menjaga komitmennya untuk tidak mengurangi keuntungan Iran atas pencabutan atau penangguhan sanksi nuklir. Sementara pejabat Amerika termasuk Trump sendiri mendesak petinggi Eropa dan para pelaku bisnis untuk berhati-hati dalam bertransaksi dengan Iran. Langkah ini memicu protes Iran.

Sepertinya, Tehran akan menunjukkan reaksi timbal balik jika aksi lempar bola antara Gedung Putih dan Kongres berlanjut. Di sisi lain, kebijakan abu-abu Amerika terkait JCPOA dalam jangka menengah dapat membawa dampak kontraproduktif dan kekhawatiran para pelaku bisnis untuk memperluas kerja sama dengan Iran justru akan menurun seiring dengan semakin jelasnya ketakutan Gedung Putih dan Kongres untuk membatalkan kesepakatan nuklir Iran.

Tags