Krisis Internal dan Kegagalan ASEAN
(last modified Tue, 03 Apr 2018 11:02:59 GMT )
Apr 03, 2018 18:02 Asia/Jakarta

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) yang lebih populer dengan sebutan ASEAN meski tercatat sebagai organisasi penting regional dengan populasi lebih dari 500 juta jiwa, namun dalam prakteknya mereka lemah menyelesaikan krisis internal. Ini artinya bahwa salah satu titik lemah perhimpunan ini adalah ketidakmampuannya dalam menyelesaikan kendala dan krisis internal. Tentunya kelemahan ini akan merusak citra ASEAN.

Ketidakmampuan dalam menyelesaikan krisis Muslim Rohingya di Myanmar, kelemahan dalam meraih konsensus soal friksi Laut Cina Selatan dan ketidakmampuan dalam menyelesaikan krisis ekonomi anggotanya yang tertinggal, termasuk kegagalan ASEAN dalam menghadapi kendala internal.

Pemerintah Malaysia baru-baru ini seraya mengkritik kinerja ASEAN dalam menyikapi krisis Muslim Rohingya menyatakan bahwa negara ini akan membawa berkas Muslim Rohingya melalui organisasi internasional tanpa mengindahkan sikap ASEAN. Terkait hal ini, ada dua isu yang patut untuk diperhatikan. Pertama kembali kepada anggaran dasar ASEAN yang melarang setiap anggotanya melakukan intervensi di urusan internal anggota yang lain. Dan mengingat Myanmar juga termasuk anggota, maka ASEAN secara praktis tidak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk menyikapi isu Muslim Rohingya.

Bendera anggota ASEAN

Padahal menurut pejabat Malaysia, mengingat bahwa dampak kejahatan ekstrimis Budha terhadap etnis Muslim Rohingya berimbas pada seluruh negara, maka hal ini bukan lagi isu internal Myanmar dan sekjen serta sekretariat ASEAN harus bertindak mengakhiri krisis Muslim Rohingya.

Chandra Muzaffar, ketua Gerakan Internasional untuk Dunia yang Adil (JUST) di Malaysia mengatakan,"ASEAN harus menunjukkan respon keras atas apa yang terjadi pada Muslim Rohingya di Myanmar, bersikap jelas dan tidak hanya mengungkapkan kekhawatiran belaka."

Hal kedua terkait dengan krisis Muslim Rohingya, kembali pada dukungan di luar ASEAN terhadap pemerintah Myanmar. Jika ada upaya ASEAN mendorong pemerintah Myanmar mengakhiri pembantaian Muslim Rohingya maka dukungan tersebut dapat dinetralkan. Negara-negara seperti Cina dan India, termasuk pendukung utama pemerintah Myanmar dan memiliki investasi besar di Provinsi Rakhine, tanah leluhur Muslim Rohingya. Dukungan total kedua negara ini telah mencegah keberhasilan upaya politik regional dan trans-regional terkait krisis ini.

Menurut seorang diplomat Asia, Cina secara diam-diam menyetujui pelecehan hak asasi manusia di Myanmar sehingga tidak menciptakan preseden buruk yang dapat memengaruhi pelecehan hak asasi manusia di Cina sendiri. Ini juga dilakukan untuk menolak hak asasi manusia AS yang mungkin memberikan pengaruh yang lebih banyak di Asia.

Cina selama ini sering menentang gagasan tentang hak asasi manusia universal, dan memiliki kepentingan strategis dan bisnis di Myanmar. Beberapa perusahaan Cina saat ini melakukan bisnis di atau di lepas pantai negara bagian Rakhine, di mana pelecehan hak asasi manusia tersebut terjadi. Perusahaan itu adalah China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan Petro China.

Diamnya Cina terhadap isu Rohingya kemungkinan disebabkan oleh kepentingan bisnis di daerah tersebut. Diamnya Cina berarti secara diam-diam mendukung Myanmar secara diplomatis dalam isu Rohingya. Seorang sumber diplomatik Asia menuduh Cina dan sebagian besar negara ASEAN mengabaikan krisis Rohingya, atau mendukung Myanmar di belakang layar.

Muslim Rohingya

Sebab, mereka tidak ingin memberikan preseden bagi pihak luar untuk campur tangan dalam masalah HAM domestik mereka. Preseden semacam itu dapat digunakan untuk melawan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas mereka sendiri.

Selain itu, Cina melihat keluhan hak asasi manusia sebagai jalan potensial bagi pengaruh AS masuk ke Asia. Cina dan sebagian besar negara ASEAN memiliki minoritas mereka sendiri yang didiskriminasi, atau lebih buruk lagi.

Selain itu, hubungan bilateral negara-negara anggota ASEAN dengan berbagai negara termasuk Cina telah mencegah tercapaianya konsensus mereka terkait bergam isu regional termasuk merilis statemen bersama soal friksi Laut Cina Selatan.

Sejumlah negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam dan Brunei Darussalam memiliki friksi dengan pemerintah Cina terkait kepemilikan dan kepentingan sejumlah wilayah Laut Cina Selatan. Mereka senantiasa menuntut statemen bersama ASEAN terkait isu ini, namun negara-negara seperti Laos, Kamboja dan Myanmar, karena memiliki hubungan baik dengan pemerintah Beijing mencegah perilisan statemen bersama ASEAN anti Cina.

Ini artinya ASEAN yang dibentuk tahun 1967, kini tidak mampu meraih kesepakatan bersama dikarenakan kepentingan yang berbeda dari setiap anggotanya. Azril Mohammad Amin, pengamat politik mengatakan, "Pemerintah anggota ASEAN harus menekan pemerintah Myanmar untuk mengakui identitas dan hak sipil warga Muslim Rohingya. Pemerintah Malaysia juga harus menyerahkan bukti yang dimilikinya terkait kejahatan ekstrimis Budha terhadap Muslim Rohingya kepada seluruh anggota."

Faktor lain yang membuat ASEAN gagal memperkokoh solidaritas internalnya adalah adanya sistem politik yang tidak selaras, kontradiksi dan keragaman agama, etnis, bahasa serta sejarah yang membayangi konsensus anggota terkait berbagai isu. ASEAN yang terdiri dari sepuluh anggota ada pemerintahan dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Malaysia dan Indonesia, pemerintahan Budha seperti Myanmar, junta militer seperti Vietman, pemerintahan kapitalis seperti Singapura, pemerintahan yang sepenuhnya bergantuh dan berafiliasi dengan pihak luar seperti Filipina serta pemerintahan monarki dan republik.

Oleh karena itu, setiap sistem pemeritnahan ini mengejar keragaman hubungan luar negeri dan regionalnya demi kelanggengannya. Sementara itu, Singapura sangat dekat dengan Amerika Serikat, namun Malaysia dan Indonesia menekankan kerja sama regional khususnya untuk menjamin keamanan Selat Malaka.

Aaron Conalli, pengamat politik mengatakan, "Kehadiran Amerika Serikat di kawasan dan partisipasi pejabat negara ini di berbagai sidang ASEAN cenderung menimbulkan dampak merugikan ketimbang menguntungkan."

Model hubungan khusus negara-negara anggota ASEAN dengan negara Barat khususnya Amerika Serikat membuat organisasi ini tidak mampu memberikan dukungan kepada presiden Filipina yang mendapat tekanan hebat dari Barat, khususnya Amerika terkait isu perang anti narkotika yang digalakkan presiden Filipina.

Di sisi lain, narkotika dan penyelundupan barang haram ini menjadi kendala terpenting ASEAN dan baru-baru ini Presiden Filipina, Rodrigo Duterte mulai melancarkan perang total terhadap mafia narkotika, namun pemerintah Barat khususnya Amerika mulai menyusun skenario anti Duterte dan memberi dukungan kepada para penyelundup narkotika.

Logo ASEAN

Di antara faktor divergensi di ASEAN adalah dalam pengambilan keputusan yang dinilai tidak memuaskan oleh anggota organisasi ini yang lebih miskin seperti, Vietnam, Laos dan Thailand oleh anggota yang lebih kaya. Thai Tinanin Pansudyrak, pengamat politik mengatakan, "Keragaman merupakan faktor yang memicu banyak kesulitan di upaya konvergensi dan meraih indentitas bersama di Asia Tenggara."

Berdasarkan keputusan yang telah diambil negara-negara anggota yang memiliki kondisi lebih baik seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura, harus membantu negara anggota lainnya yang tertinggal untuk memulihkan kondisi ekonominya, tapi para prakteknya hal ini tidak terjadi. Dengan demikian negara miskin di ASEAN terpaksa memperluas hubungan trans-regionalnya yang nantinya akan berpengaruh negatif pada pengambilan keputusan mereka.

Hal ini karena negara-negara seperti Cina menginginkan mitranya di sidang ASEAN mengambil sikap yang menguntungkan Beijing. Oleh karena itu, ASEAN menghadapi perpecahan dan pastinya hal ini mencoreng citranya baik di tingkat regional maupun internasional. ASEAN termasuk organisasi penting regional yang saat ini tidak mampu menyelesaikan friksi internalnya.

Dasar pembentukan ASEAN adalah sebagai mempererat, meningkatkan, ikut menjaga kestabilan dan keamanan dan tidak ikut campur dalam masalah politik dalam negeri dari masing-masing anggota ASEAN.

Secara geo-politik dan geo-ekonomi, ASEAN memiliki komitmen dan kepedulian terhadap kawasannya dan hal tersebut merupakan hal yang wajar bagi ASEAN untuk selalu memberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan, keamanan, dan kestabilan kawasan regional maupun internasional.

Tags