Uni Eropa dan Tantangan Independensi Strategis (1)
-
Presiden AS, Donald Trump dan Uni Eropa
Uni Eropa sebagai salah satu kekuatan regional terbesar di dunia hingga kini menghadapi berbagai tantangan penting dari solidaritas negara-negara Eropa di bidang ekonomi, moneter, perbatasan, kebijakan luar negeri dan keamanan dari 28 negara Eropa. Setelah Inggris secara resmi keluar dari Uni Eropa di tahun 2019, maka jumlah anggotanya menjadi 28 negara.
Berdirinya Uni Eropa diawali oleh terbentuk European Economic Community berdasarkan Perjanjian Roma pada 1957 dan diimplementasikan pada 1 Januari 1958. Kemudian komunitas tersebut berubah menjadi Masyarakat Eropa yang merupakan 'pilar pertama' dari Uni Eropa. Pada akhirnya, Uni Eropa berevolusi dari sebuah badan perdagangan menjadi sebuah kerja sama ekonomi dan politik. Persatuan ini berdiri di bawah Perjanjian Uni Eropa yang dikenal dengan Perjanjian Maastricht pada 1992.
Pada tahun 1999, Uni Eropa membentuk mata uang berama bernama Euro yang dipakai di 19 negara Eropa. Secara giral, mata uang ini mulai dipakai sejak tanggal 1 Januari 1999, tetapi secara fisik baru dipakai pada tanggal 1 Januari 2002.
Di tahun 2017, jumlah penduduk Uni Eropa sebesar 511 orang, dengan produk domestik bruto lebih dari 17,2 triliun dolar. Secara keseluruhan, perekonomian Uni Eropa menguasai 27,8 persen perekonomian dunia.

Sebanyak 19 negara anggota Uni Eropa adalah anggota NATO. Proses keanggotaan negara Uni Eropa lainnya di NATO hingga kini masih berlangsung dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Negara-negara penting Uni Eropa seperti Jerman dan Perancis menghendaki terbentuknya kekuatan regional yang menjadikan Uni Eropa sebagai kekuatan bersama negara-negara Eropa di bidang ekonomi, politik, dan kebijakan luar negeri.
Naiknya Donald Trump sebagai presiden AS menimbulkan tantangan baru bagi Uni Eropa. Pasalnya sejak berkuasa di tahun 2017, Trump telah menimbulkan banyak masalah baru bagi orang-orang Eropa. Di tangan Trump, AS keluar dari perjanjian iklim Paris. Tidak hanya itu, Trump juga berulangkali menegaskan masalah peningkatan jumlah iuran negara Eropa untuk NATO.
Masalah tersebut menimbulkan perselisihan antara Eropa dan AS. Presiden AS juga mengumumkan negaranya keluar dari perjanjian nuklir JCPOA. Padahal pihak Eropa menilai kesepakatan ini sebagai perjanjian internasional yang logis dan tepat bagi penyelesaian masalah nuklir Iran. Para pejabat tinggi negara-negara Eropa menilai kepemimpinan AS di bawah Trump memperkuat unilateralisme di dunia yang menyulut konflik baru. Kanselir Jerman, Angela Merkel mengatakan, Trump memandang multilateralisme bukan solusi, dan tidak ada persyaratan menang-menang, tapi selalu memandang kemenangan dirinya saja.

Uni Eropa memandang unilateralisme sebagai ancaman terpenting bagi tata kelola dunia. Trump menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris. Kemudian dilanjutkan kelaurnya AS dari UNESCO dan Dewan HAM PBB. Tidak hanya itu, Trump juga melancarkan perang dagang dengan Uni Eropa, Kanada, Meksiko dan Cina. Masalah ini menuntut sikap lebih tegas dari Uni Eropa terhadap AS yang selama ini menjadi mitra dekatnya.
Masalah lain yang dihadapi Uni Eropa mengenai Brexit yang dihasilkan dari referendum pada 23 Juni 2016, dan secara resmi Inggris keluar dari Uni Eropa pada Maret 2019. Setelah itu, Inggris harus menentukan sikapnya sendiri berkaitan dengan hubungannya dengan kekuatan politik dan ekonomi internasional seperti AS dan negara ekonomi baru. Bagaimanapun dua faktor tersebut berhubungan langsung dengan Uni Eropa. Sebab solidaritas Eropa dan independensi strategis di berbagai bidang yang diharapkan Uni Eropa selama ini.
Salah satu masalah terpenting independensi strategis Uni Eropa di bidang pertahanan. Setelah membentuk pasar dan ekonomi bersama, negara-negara Eropa berambisi membentuk pasukan Eropa, tapi keberadaannya di bawah bendera NATO yang dipimpin AS membuat mereka selama ini tidak memiliki independensi keamanan.
Pasca runtuhnya Uni Eropa dan munculnya fenomena perang dingin, Presiden Perancis, François Mitterrand dan Jacques Chirac mengusulkan pembentukan pasukan Eropa bersatu, tapi tidak pernah terwujud, dan sebagai gantinya muncul NATO yang dipengaruhi konflik rembesan kepentingan antara blok Timur dan barat.
Meskipun selama bertahun-tahun Uni Eropa menjadi mitra dekat AS, tapi di masa Trump kondisinya berubah. Dalam masalah keamanan bersama, usulan Trump supaya negara-negara menanggung anggaran belanja pertahanan NATO sebesar dua persen dari produk domestik bruto tiap negara, memicu kecaman dari negara-negara Eropa, terutama Perancis dan Jerman.
Di sisi lain, negara-negara Eropa juga berupaya untuk mewujudkan terbentuknya pasukan Eropa bersatu. Pada pertemuan Dewan Eropa yang berlangsung 11 Desember 2017 disepakati mekanisme baru bernama "Kerja Sama Permanen yang Terorganisir" di bidang pertahanan dan keamanan. Dari seluruh negara anggota Uni Eropa, sebanyak 25 negara menyetujui mekanisme keamanan dan pertahanan, serta investasi bersama.

Negara-negara anggota Uni Eropa terutama Perancis dan Jerman menyerukan independensi Uni Eropa di bidang politik dan keamanan. Berkaitan dengan masalah ini, Presiden Perancis, Emmanuel Macron menyerukan pembentukan pasukan Eropa demi mengurangi ketergantunganya terhadap AS.
Macron mengatakan, keluarnya AS dari traktat nuklir menengah mengancam keamanan Eropa. Oleh karena itu, pembentukan pasukan Eropa penting dilakukan untuk menghadapi ancaman Cina, Rusia bahkan AS.
Uni Eropa saat ini menyakini pentingnya pembentukan pasukan bersama yang independen demi mewujudkan independensi strategisnya di berbagai bidang, terutama di bidang keamanan dan pertahanan.(PH)