Trump dan Dimulainya Kembali Kebijakan Tekanan Maksimum yang Gagal terhadap Iran
-
Donald Trump, Presiden AS
Pars Today - Pada hari Selasa, 4 Februari 2025, Presiden AS Donald Trump menandatangani memorandum eksekutif untuk melanjutkan kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran, dengan mengklaim bahwa dirinya siap untuk berbicara dengan Presiden Iran sekaligus menekankan bahwa “kita berhak menghentikan penjualan minyak Iran ke negara lain”.
Sebaliknya, dalam kerangka kebijakan perlawanan maksimum, Iran ternyata mampu mengatasi banyak kesulitan yang diakibatkan oleh sanksi sepihak AS, hal yang bahkan diakui oleh pejabat Amerika.
Selama masa jabatan pertama Trump sebagai presiden, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengakui pada Maret 2021 bahwa pemerintah sebelumnya tidak dapat memaksa Iran untuk mundur dan duduk di meja perundingan.
Bahkan sampai sekarang, kelanjutan kampanye tekanan maksimum tidak dapat memaksa Tehran untuk menerima tuntutan irasional Washington, termasuk menghentikan program nuklir damai Iran atau mengubah kebijakan regionalnya, terutama mendukung Poros Perlawanan.
Presiden Amerika Serikat dapat menandatangani dokumen berupa perintah eksekutif (executive order), dan lainnya berupa memorandum Gedung Putih

Perintah eksekutif memiliki kekuatan hukum jika teksnya didasarkan pada kewenangan presiden dan terdaftar di Daftar Federal. Sementara memorandum presiden tidak terdaftar dan dipublikasikan di Daftar Federal, dan teksnya tidak didasarkan pada kewenangan presiden dan ditujukan semata-mata untuk tujuan menjalankan manajemen di lembaga eksekutif.
Selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden, Trump telah menerapkan kebijakan tekanan maksimum terhadap Republik Islam Iran.
Kali ini di pemerintahan keduanya setelah menandatangani perintah eksekutif, Trump akan melanjutkan kebijakan yang gagal ini, tapi mengklaim bahwa dirinya berharap tidak perlu menggunakan opsi ini (tekanan maksimum).
“Kami akan lihat apakah kita dapat mencapai kesepakatan dengan Iran,” ujarnya.
Trump juga mengatakan bahwa “Iran seharusnya tidak memiliki senjata nuklir. Kami tidak ingin bersikap terlalu keras terhadap Iran”.
Memo ini pada dasarnya merupakan penekanan pada menghidupkan kembali perintah eksekutif Trump tahun 2018 untuk menarik Amerika Serikat keluar dari JCPOA dan memberikan tekanan maksimum terhadap Iran, khususnya dengan mengklaim akan memblokir setiap jalan bagi Iran untuk memperoleh senjata nuklir dan menghadapi pengaruh regional Iran.
Meskipun tekanan-tekanan ini tidak dicabut selama masa kepresidenan Joe Biden, para kritikus mengklaim bahwa Gedung Putih tidak seserius sebelumnya dalam menerapkannya, dan Iran kembali mampu menghindari sanksi dan menjual minyak dalam jumlah besar.
Penandatanganan memorandum eksekutif oleh Trump sekarang memberi wewenang kepada Menteri Keuangan AS untuk mengenakan sanksi tambahan dan mekanisme penegakan hukum untuk memberikan tekanan dan melawan pelanggaran sanksi yang ada terhadap Iran.
Setelah pengumuman itu, harga minyak naik, yang menunjukkan kemungkinan meningkatnya ketegangan dengan Tehran.
Menteri Luar Negeri AS dikatakan berencana untuk mengubah atau mencabut beberapa keringanan sanksi yang ada untuk Iran dan bekerja sama dengan Departemen Keuangan AS untuk melaksanakan kampanye guna ekspor minyak Iran menjadi nol.
Seorang pejabat AS mengklaim bahwa duta besar AS untuk PBB akan bekerja sama dengan sekutu-sekutu utama untuk “menyelesaikan penerapan kembali Snapback dan pembatasan internasional terhadap Iran dengan cepat”.
Sebelumnya, Peter Navarro, penasihat perdagangan Trump mengatakan bahwa tindakan perdagangan dalam kerangka memorandum ini akan didasarkan pada data spesifik.
Langkah baru Trump sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.
Setelah Donald Trump memenangkan pemilihan umum presiden AS pada November 2024, pernyataan dan sikapnya, serta beberapa anggota timnya, seperti Penasihat Keamanan Nasional Trump, Mike Waltz menunjukkan tekad pemerintahan Trump untuk melanjutkan kampanye tekanan maksimum terhadap Iran.
Menariknya, setelah menandatangani memorandum eksekutif terhadap Iran, Trump mengklaim siap berbicara dengan presiden Iran.
Mengingat bahwa semboyan kebijakan luar negeri pemerintahan Trump adalah perdamaian melalui kekuatan, dapat dikatakan bahwa dialog yang dimaksudkan Trump dengan Iran berarti menyampaikan tuntutan Washington kepada Iran dan Tehran harus menerima semuanya.
Selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden, Donald Trump selalu menganggap perjanjian nuklir JCPOA sebagai perjanjian terburuk bagi Washington.
Akhirnya, Trump mengumumkan penarikan diri AS dari JCPOA pada 8 Mei 2018 dan mengabaikan komitmennya berdasarkan JCPOA dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, meskipun ada penentangan global yang meluas.
Pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Tehran sebagai bagian dari kampanye tekanan maksimumnya untuk memaksa Iran menerima tuntutan ilegalnya, menentang rencana apa pun untuk mempertahankan JCPOA, dan menerapkan kembali daftar panjang sanksi ekonomi yang telah dicabut berdasarkan perjanjian itu untuk memaksa Iran menerima tuntutannya.
Gedung Putih terus memberlakukan hampir 1.500 sanksi baru terhadap Iran dalam upaya menarik Tehran ke dalam negosiasi baru.
Misalnya, pemerintahan Trump, dengan menggunakan sanksi, menerapkan terorisme ekonomi dan medis terhadap Iran selama wabah virus Corona.
Tujuannya adalah memaksa Iran untuk tunduk pada 12 syarat yang ditetapkan oleh Amerika Serikat, termasuk menghentikan program nuklir damai Iran dan memberlakukan pembatasan berat pada kemampuan rudal Iran dan kebijakan regional.(sl)