Eskalasi Tensi Politik Prancis dan Israel
-
Netanyahu dan Macron
Parstoday- Rezim Zionis Israel membatalkan visa 27 anggota parlemen dan pejabat sayap kiri Prancis dua hari sebelum perjalanan yang direncanakan ke Palestina pendudukan. Langkah itu juga dilakukan beberapa hari setelah Tel Aviv melarang dua anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh yang berkuasa memasuki Palestina pendudukan.
Kementerian Dalam Negeri Israel mengumumkan pembatalan visa orang-orang ini berdasarkan undang-undang yang memungkinkan pihak berwenang melarang masuknya orang-orang yang mungkin bertindak melawan Israel. Ke-17 anggota kelompok yang berencana melakukan perjalanan ke wilayah pendudukan, dari partai yang mendukung lingkungan dan komunis Prancis, mengatakan mereka adalah korban "hukuman kolektif" oleh Israel dan meminta Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk campur tangan. Mereka mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka telah menerima undangan dari Konsulat Prancis di Yerusalem yang diduduki untuk melakukan kunjungan selama lima hari. Mereka menambahkan bahwa mereka berencana untuk mengunjungi wilayah pendudukan dan wilayah Palestina sebagai bagian dari misi mereka "untuk mempromosikan kerja sama internasional dan budaya perdamaian."

Langkah Tel Aviv muncul di tengah ketegangan diplomatik dan setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan Paris akan segera mengakui negara Palestina yang merdeka. Ia berharap keputusan Prancis untuk mengakui negara Palestina akan mendorong negara lain untuk mengambil tindakan serupa. Presiden Prancis mengumumkan pada pertengahan April 2025 bahwa negaranya mungkin mengakui negara Palestina Juni mendatang, bersamaan dengan penyelenggaraan konferensi tentang Palestina di New York. Suatu tindakan yang membuat Netanyahu marah saat itu.
Negara Palestina telah diakui oleh hampir 150 negara di seluruh dunia, meskipun banyak negara Barat besar, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang, belum mengambil langkah ini. Pernyataan Macron tersebut mendapat reaksi negatif dari Netanyahu, yang menanggapi dengan marah kemungkinan Prancis mengakui negara Palestina, dengan mengatakan bahwa berdirinya negara Palestina di samping Israel akan menjadi "hadiah besar bagi terorisme."
Negara-negara Eropa telah berpihak pada rezim Zionis sejak awal perang Gaza, dan kepala negara seperti Jerman, Prancis, dan Inggris telah melakukan perjalanan ke Palestina pendudukan dan secara terbuka mendukung perang brutal Israel dan genosida terhadap warga Palestina. Uni Eropa juga mengadopsi pendekatan mendukung rezim Zionis pada bulan-bulan pertama perang. Akan tetapi, setelah setahun berlalunya perang di Gaza, dan setelah terungkapnya genosida terhadap rakyat Gaza yang tertindas, khususnya kaum wanita dan anak-anak, serta kerusakan dan kehancuran yang meluas yang dialami Gaza, dan tindakan Israel yang menghalangi penyediaan bantuan bagi rakyat Gaza dengan tujuan untuk menimbulkan kelaparan dan kematian bertahap semua penduduk di wilayah yang dilanda perang ini, maka Uni Eropa terpaksa mengambil sikap kritis dalam hal ini. Masalah ini muncul sebagai respons terhadap pernyataan dan statemen aparat kebijakan luar negeri Uni Eropa dan Josep Borrell, yang saat itu menjabat kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa.
Pemerintah Prancis, mengingat tekanan dalam negeri seperti demonstrasi yang meluas dan meningkatnya penentangan partai-partai kiri negara itu terhadap kelanjutan perang Gaza, serta dalam rangka menjaga hubungan dengan negara-negara Arab, terpaksa mengkritik rezim Zionis dan menyerukan gencatan senjata dalam perang Gaza. Dalam percakapan telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada tanggal 15 April, Macron menekankan perlunya gencatan senjata segera di Jalur Gaza serta pelucutan senjata Hamas. Macron juga menyerukan penyediaan kesempatan yang diperlukan untuk solusi politik berdasarkan solusi dua negara.
Prancis telah mendukung rencana yang diajukan oleh negara-negara Arab, termasuk Yordania, untuk membangun kembali Gaza tanpa mengusir 2,4 juta penduduknya. Rencana tersebut, yang juga didukung oleh Liga Arab, bertentangan dengan usulan Presiden AS Donald Trump untuk memindahkan penduduk Gaza ke Yordania dan Mesir. Macron juga menekankan bahwa sangat penting untuk membuka semua penyeberangan bagi bantuan kemanusiaan bagi warga sipil di Gaza, dan menyerukan diakhirinya "penderitaan" warga sipil di wilayah yang terkepung tersebut.
Meskipun ada beberapa kecaman zahir (diluar) terhadap Israel, serta seruan untuk mengakhiri perang Gaza dan mengirim bantuan kemanusiaan ke wilayah yang dilanda perang ini, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, termasuk Prancis, telah menahan diri untuk mengambil tindakan efektif apa pun untuk mencegah rezim Zionis melanjutkan kejahatannya dalam perang Gaza.
Dapat dikatakan bahwa Eropa berbeda dengan Amerika yang senantiasa dan dalam kondisi apa pun mendukung Israel dan kejahatannya, tapi Uni Eropa telah mengkritik Israel dalam beberapa kasus dalam rangka menjaga prestisenya dan sejalan dengan slogan-slogan hak asasi manusia dan apa yang disebut perlindungan martabat manusia, namun di sisi lain telah menahan diri dari tindakan efektif apa pun, seperti mengenakan sanksi yang efektif dan bersifat jera terhadap Tel Aviv. Bahkan beberapa negara anggotanya, seperti Jerman, selain mengirim senjata ke Israel, juga terus mendukung pembunuhan rakyat Gaza yang tak berdaya oleh rezim Zionis dengan dalih menghadapi Hamas. (MF)