Memuliakan Petani
(last modified Fri, 24 Sep 2021 08:50:23 GMT )
Sep 24, 2021 15:50 Asia/Jakarta
  • Hari Tani Nasional
    Hari Tani Nasional

Pengenalan potensi pertanian sejak periode emas anak berpeluang besar meningkatkan kepedulian dan minatnya pada bidang pertanian di masa mendatang. Pendidikan menjadi kunci untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Lahirnya hukum agraria kolonial dalam Agrariche Wet 1870 hanya menghadirkan sejarah kelam penindasan, keterbelakangan, dan kemelaratan petani Indonesia. Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September membuat kita mengenang sejarah perjuangan petani melawan ketimpangan warisan kolonialisme.
 
Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani mulai menunjukkan kepeduliaan negara terhadap petani. Namun, mayoritas petani belum pernah merasakan kemerdekaannya. Hingga kini petani masih terkesan sebagai profesi yang miskin, bodoh, dan tidak punya masa depan.
 
Sudah banyak lembaga pemerintah dan swasta yang berupaya membantu golongan petani lemah untuk membangun usaha tani berskala lebih besar. Ironisnya, sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013-2020, sektor pertanian masih menjadi sumber penghasilan bagi 49,81 persen penduduk miskin Indonesia.
”Isu kemiskinan juga bersifat multidimensi, yakni bukan semata terkait keterbatasan ekonomi, tetapi juga kurangnya akses ke pendidikan,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin (Kompas, 19/5/2021). Karena itu, jalur terbaik bagi petani untuk mengangkat status sosial mereka niscaya melalui pendidikan.
 
Namun, secara umum, pendidikan belum berpihak kepada petani. Bahkan, sejak era reformasi hingga kini rata-rata hanya 0,49 persen sarjana yang bekerja di sektor pertanian (BPS, 1998-2021). Meskipun demikian, laju peningkatan sarjana yang bekerja di sektor pertanian mencapai 0,05 persen per tahun.
Harapan bahwa sektor pertanian akan diisi petani yang berpendidikan tinggi masih ada. Namun, tidak menampik fakta mayoritas petani saat ini tidak berpendidikan tinggi. Terlebih 60,71 persen petani berusia di atas 45 tahun berdasarkan survei pertanian antarsensus 2018. Maka, sangat wajar apabila petani sulit meningkatkan kesejahteraannya.
 
”Petani harus menjadi profesi yang menjanjikan, profesi yang menyejahterakan. Kita harus membuat generasi muda lebih berminat menjadi petani,” kata Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada acara Pembukaan Pelatihan Petani dan Penyuluh Pertanian (Kompas, 6/8/2021).
Pendidikan
 
Pelatihan petani usia dewasa yang ada selama ini sangat baik, tetapi kurang efektif menghilangkan angka petani miskin. Kondisi ini sesuai pendapat James Heckman, ekonom peraih Nobel tahun 2000, bahwa investasi pendidikan kelompok usia dini lebih efektif dibandingkan dengan investasi serupa kepada kelompok usia dewasa.
 

 

Pendidikan pertanian harus terutama memperhatikan anak-anak pedesaan, termasuk anak-anak petani sejak dini. Sebab, sektor pertanian sering kali tidak lagi menarik bagi generasi muda di pedesaan karena kesenjangan terlihat begitu besar, antara kesejahteraan petani dan tenaga kerja industri.
Banyak anak petani akhirnya memilih ke kota untuk bekerja di sektor industri yang memberikan kesejahteraan lebih baik. Padahal, mereka sudah punya pengalaman dan sumber daya untuk melakukan usaha tani. Tentu, pendidikan bagi anak petani akan lebih cepat berdampak daripada sibuk mencari petani muda baru tanpa pengalaman dan modal.
 
Penelitian Universitas Diponegoro (Undip) menyebutkan, modal usaha tani padi konvensional per hektar per musim sekitar Rp 15 juta, dengan pendapatan sekitar Rp 17 juta (Listiani dkk, 2019). Padahal, 75,93 persen petani memiliki sawah kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2018), artinya pendapatan mereka kurang dari Rp 1,4 juta per bulan.
Fakta kesejahteraan petani kian tertekan akibat pandemi Covid-19 tak bisa dimungkiri. Padahal, kehadiran petani semakin penting untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Berkaca dari kompleksitas masalah kesejahteraan petani, memfokuskan kembali (refocusing) anggaran dan kurikulum pertanian nasional sangat diperlukan.
 
Pada 2021 ini, pagu anggaran Kementerian Pertanian meningkat dibandingkan pada 2020, dari Rp 14,05 triliun menjadi Rp 21,84 triliun (RKA-KL TA 2021). Alokasi terbesar di Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian sebesar 24,10 persen dari total anggaran, diikuti Ditjen Tanaman Pangan sebesar 22,12 persen dari total anggaran.
Dana sebesar itu masih terfokus pada upaya peningkatan produksi pertanian, dan masih mengesampingkan peningkatan kesejahteraan petani melalui regenerasi petani muda berpendidikan tinggi. Sementara kerja sama Kementerian Pertanian dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi juga belum optimal.
 
Meskipun kolaborasi program Kampus Merdeka di sektor pertanian diyakini mempercepat regenerasi petani, masih diperlukan alokasi anggaran untuk beasiswa anak petani, dan koordinasi serta sinkronisasi kurikulum pertanian yang disusun secara terstruktur dan sistematis, sejak pendidikan anak usia dini hingga pendidikan tinggi.
Tentu pengenalan potensi pertanian sejak periode emas anak berpeluang besar meningkatkan kepedulian dan minatnya pada bidang pertanian di masa yang akan datang. Di hampir semua hal, revolusi pertanian di masa depan akan semakin cepat.
 
Oleh karena itu, kurikulum pertanian konvensional tak bisa lagi relevan sehingga memunculkan urgensi perombakan kurikulum berbasis analitik mahadata, pembelajaran mesin, robotisasi, kecerdasan buatan, dan internet untuk segala. Peningkatan kualifikasi pendidikan petani akan menjadi kunci pertumbuhan ekonomi nasional. Mari, kita memuliakan petani.
 
Bagus Herwibawa, Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang (Kompas.com)

Tags