UMP 2018, Antara Harapan dan Kenyataan
(last modified Fri, 03 Nov 2017 10:18:16 GMT )
Nov 03, 2017 17:18 Asia/Jakarta

Upah Minimum Provinsi, atau UMP 2018 secara nasional telah ditetapkan dan diumumkan pada 1 November 2017. Besarannya, yaitu 8,72 persen, hasil perhitungan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional dalam periode tertentu.

Ketetapan itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tanggal 13 Oktober 2017, dengan Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017, disebutkan bahwa Gubernur wajib menetapkan UMP tahun 2018.

Namun, Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dakhiri menegaskan, ketetapan pemerintah pusat itu hanya sebagai acuan penetapan UMP di daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Adalah kewenangan gubernur dan kepala daerah masing-masing lah yang menetapkan.

Hanif mengungkapkan, aturan soal pengupahan sudah mempertimbangkan banyak kepentingan. Dari sisi para pekerja, agar upahnya bisa naik setiap tahun. Kemudian, juga kepentingan dari dunia usaha bahwa kenaikan upah itu harus bisa diperkirakan.

"Karena, kalau tidak predictable, tiba-tiba bisa melejit, sehingga mengguncangkan dunia usaha, sehingga berdampak kepada tenaga kerja juga, “ kata Hanif.

Selain itu, kata Hanif, peraturan pengupahan juga mempertimbangkan kepentingan calon pekerja. Jangan sampai karenanya tinggi lapangan pekerjaan berkurang, apalagi di tengah situasi ekonomi sekarang.

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto menjabarkan, kenaikan UMP sebesar 8,71 persen di 2018, merupakan hasil perhitungan 3,71 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,99 persen. Inflasi yang dipakai secara tahun ke tahun hingga September 2017, sedangkan pertumbuhan ekonomi dari kuartal III 2016 ke kuartal II 2017.

Dia menjelaskan, tidak dimasukkannya kebutuhan hidup layak (KHL) pada formula ini sudah merupakan ketentuan dalam UU. Sebab, dengan menggunakan komponen inflasi itu saja sudah mencerminkan kenaikan harga.

Selain itu, menurutnya, kenaikan UMP dengan menggunakan KHL sudah sangat kompleks. Karena, banyak komponen yang harus dihitung untuk mendapatkan angka yang tepat, agar tidak subjektif pada kepentingan salah satu pihak.

Dia pun mengakui, formula ini belum sempurna. Namun, dengan adanya aturan yang mengatur ketentuan ini, setidaknya setiap tahun ada jaminan kenaikan UMP. "Formula itu mungkin tidak sempurna, tetapi bagus untuk memberikan jaminan ada kenaikan UMP di seluruh provinsi," ujar dia.

Buruh Kecewa

Meskipun menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memutuskan besaran kenaikan, UMP yang ditetapkan secara nasional itu dijadikan patokan sejumlah daerah. Padahal, pemerintah pusat tidak akan menjatuhkan sanksi bagi daerah yang tidak mengikuti ketetapan itu.

Seperti di Ibu Kota misalnya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memutuskan untuk sejalan dengan kebijakan pusat. UMP pekerja DKI naik 8,71 persen dari Rp3.350.640 menjadi Rp3.648.035.

Menurut Anies, penetapan UMP itu diambil setelah perundingan panjang antara pihak pekerja dan pengusaha. "Mudah-mudahan dari sisi buruh akan menikmati kenaikan, dari pengusaha yang tidak terlalu menerima beban," ujarnya di Jakarta, Rabu 1 November 2017.

Kendati demikian, buruh Jakarta menolak ketetapan tersebut. Mereka tetap menuntut UMP 2018 sebesar Rp3,9 juta, sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL) yang telah diperhitungkan.

Bahkan, buruh sudah menyampaikan ke Wakil Gubernur Sandiaga Uno, bahwa nilai kompromi yang ditawarkan buruh adalah Rp3,75 juta, naik sekitar 13,9 persen. Sehingga, bisa secara bertahap upah buruh Jakarta mengejar ketertinggalan dengan upah buruh Bekasi, Karawang, Vietnam, dan Malaysia.

Penolakan buruh di Jakarta, hanyalah sebagai kecil secara nasional. Namun, karena notabene Ibu Kota, gejolak yang terjadi bukanlah hal yang tidak mungkin menular ke berbagai daerah.

Siapa Untung?

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai. kenaikan tersebut belum sama sekali mencerminkan keadilan bagi para pekerja maupun pengusaha. Bagi para pekerja, Indef menyebut, kenaikan tersebut dianggap belum mampu menjadi stimulus mendorong daya beli.

Sementara itu, bagi pengusaha, formulasi penghitungan UMP berdasarkan pertumbuhan rata-rata ekonomi dan laju inflasi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, justru sama sekali tidak menguntungkan, terutama bagi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan.

“Ini, justru membuat pengusaha makin kesulitan menentukan upah yang pas,” kata Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara kepada VIVA.co.id, Jakarta, Kamis 2 November 2017.

Menurut Bhima, efektivitas dalam memformulasi kenaikan upah pun harus kembali ditinjau. Tidak hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi secara rata-rata dan inflasi nasional, melainkan juga secara sektoral dengan melihat perkembangan industri nasional.

“Paling ideal UMP sektoral. Artinya, komponen pertumbuhan tidak memakai pertumbuhan ekonomi secara umum, melainkan pertumbuhan sektoral. Sektor yang sedang lesu seperti tekstil, UMP-nya bisa lebih rendah dibanding sektor yang sedang tumbuh seperti jasa komunikasi,” jelasnya.

Dengan perubahan tersebut, maka kemampuan pengusaha dalam menentukan upah bisa lebih realistis sesuai dengan kinerja perusahaan. Meski demikian, Bhima tetap menggaris bawahi, bahwa kenaikan UMP yang disesuaikan perusahaan harus tetap mengedepankan prinsip kesejahteraan pekerja.

“PP 78 juga perlu memasukkan poin mengenai penghitungan baku KHL per provinsi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sutrisno Iwantono mengatakan, kenaikan UMP yang tiap tahun disesuaikan, tidak menjadi beban perusahan. Asalkan, diiringi dengan peningkatan kemampuan pekerja.

Dia menegaskan, peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja sangat diperlukan. Melalui kebijakan yang tepat, diharapkan bisa menciptakan tenaga kerja yang berkualitas di masa depan.

“Kami mesti hitung ulang, mesti diikuti etos kerja. Jangan sampai, ini beban buat kita, kalau tidak mengikuti proses teknologi,” tegasnya kepada VIVA.co.id, Kamis.

Sutrisno mengingatkan hal ini, harus benar-benar diperhatikan serius. Jangan sampai perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, memaksa pekerja pun akhirnya tergantikan dengan kemajuan teknologi.

“Otomatisasi ini jadi tren. Kemungkinan akan terjadi gelombang pergantian tenaga kerja manusia dengan robot. Di negara lain sudah,” katanya. (VIVA.co.id)

Tags