New York Times Mengakui Kegagalan Kebijakan Pemerintahan Biden di Asia Barat
(last modified Thu, 10 Oct 2024 03:49:17 GMT )
Okt 10, 2024 10:49 Asia/Jakarta
  • Surat kabar New York Times
    Surat kabar New York Times

Surat kabar Amerika New York Times menilai isolasi internasional rezim Zionis dan ketidakmampuannya mengalahkan perlawanan Palestina dan Lebanon sebagai kegagalan kebijakan luar negeri Amerika di Asia Barat.

Dalam catatan berjudul "Bagaimana kebijakan Biden untuk Asia Barat gagal", surat kabar ini menghubungkan kegagalan ini dengan kepribadian Yahya Al-Sinwar, Komandan Operasi Badai Al-Aqsa dan kepala Biro Politik Hamas, dan menulis, Sinwar menunjukkan bahwa Israel rentan dan legitimasinya dalam sistem internasional serta kekuasaannya hilang seiring berjalannya waktu.

Merujuk pada dampak negatif operasi Badai Al-Aqsa terhadap "Perjanjian Abraham" untuk menormalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan rezim Zionis, media Amerika ini menulis, Dalam situasi di mana Israel sedang melakukan normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab, dan dari sudut pandang Geopolitik, cita-cita Palestina terlupakan, dan Sinwar kembali mengingatkan dunia akan penderitaan rakyat Palestina dan perlunya perjuangan untuk menghilangkan penderitaan tersebut.

Surat kabar ini juga menilai operasi badai Al-Aqsa menjadi penyebab rezim Zionis menjadi rezim yang terisolasi seperti rezim apartheid di Afrika Selatan.

Majalan kenamaan Amerika ini mengakui kegagalan kebijakan luar negeri AS di kawasan Asia Barat (Timur Tengah) akibat kegagalan kebijakan normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab di satu sisi dan juga kegagalan AS melanjutkan dukungan global terhadap rezim Zionis atas kejahatan yang dilakukan rezim ini pada perang Gaza, khususnya genosida warga Palestina dan kini pembunuhan massal rakyat Lebanon.

Yahya Al-Sinwar, Kepala Biro Politik Hamas

The New York Times mengutip Richard Haass, mantan Ketua Dewan Hubungan Luar Negeri Amerika, tentang kegagalan kebijakan Washington di Asia Barat dan menulis, Kebijakan luar negeri berarti memberikan pengaruh pada kebijakan luar negeri pemerintah asing, dan Amerika gagal dalam hal ini.

The New York Times juga mengutip Franklin Foer, seorang analis senior kebijakan luar negeri Amerika, yang menyebut kebijakan Washington di Asia Barat sebagai "anatomi kegagalan".

Surat kabar New York Times telah menulis tentang situasi terkini di Israel, Pada peringatan setahun 7 Oktober, tidak ada jejak normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi, dan lebih dari 40.000 warga Palestina terbunuh akibat konflik tersebut, dan banyak lagi yang terluka dan mengungsi. Gaza telah hancur yang melampaui imajinasi kita. Para tawanan Israel belum dibebaskan setelah satu tahun perang dan harapan akan perjanjian gencatan senjata telah hilang. Perang telah menyebar ke Lebanon dan kita menyaksikan baku tembak antara Tel Aviv dan Tehran. Citra internasional Israel telah rusak dan dituduh melakukan genosida di Mahkamah Pidana Internasional.

Faktanya, citra global dan gengsi rezim Zionis telah terpuruk, terutama setelah Afrika Selatan mengajukan pengaduan terhadap Israel ke Mahkamah Internasional karena melanggar Konvensi Genosida Jenewa 1948 dan juga permintaan jaksa Mahkamah Pidana Internasional untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional Perdana Menteri Netanyahu dan Menteri Perang Zionis Yoav Gallant, Israel telah diisolasi di tingkat global dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan kebencian masyarakat di berbagai negara, bahkan di negara-negara Barat, semakin meningkat dari hari ke hari. Sementara itu, pemerintahan Biden menentang kedua kasus tersebut.

Tentu saja, pemerintahan Biden telah melakukan banyak upaya untuk mendapatkan segala macam dukungan dari Tel Aviv. Di antara kasus-kasus tersebut, perlu disebutkan tindakan Washington untuk mempertahankan superioritas militer Israel dengan membanjiri peralatan militer dan segala jenis amunisi, termasuk bom berpemandu penghancur bungker.

Sejak operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, Amerika Serikat telah mengalokasikan $17,9 miliar kepada Israel, yang merupakan bantuan militer terbesar yang pernah dikirim ke Israel dalam setahun.

Bantuan AS kepada Israel sejak dimulainya perang Gaza mencakup pembiayaan militer, penjualan senjata, penarikan setidaknya $4,4 miliar dari persenjataan AS, dan pengiriman peralatan.

Banyak senjata yang disediakan oleh Amerika Serikat dalam satu tahun ini berkisar dari peluru artileri hingga bom berpemandu presisi dan penghancur bungker, yang digunakan langsung oleh Israel terhadap rakyat Gaza dan Lebanon.

Selain bantuan militer dan keuangan AS kepada rezim Zionis, Washington juga secara terbuka mendukung rezim Zionis di forum internasional dan mencegah penerapan resolusi apa pun untuk menghentikan perang terhadap Gaza.

Dengan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan, Amerika bukan hanya tidak mengizinkan resolusi terhadap rezim Zionis disahkan, tapi juga mengklaim bahwa apa yang dilakukan rezim Zionis adalah pembelaan diri yang sah.

Namun, klaim pemerintahan Biden ini tidak pernah diterima baik di tingkat opini publik global maupun di Amerika Serikat.

Ratusan demonstrasi dan pertemuan telah diadakan di Amerika Serikat untuk mendukung Palestina dan mengutuk kejahatan rezim Zionis.

Selain itu, meluasnya pergerakan mahasiswa Amerika, yang menyebar ke universitas-universitas Amerika bahkan Eropa, terjadi seiring dengan kritik terhadap kebijakan Amerika dan dukungan terhadap Palestina.

Surat kabar New York Times menulis tentang hal ini, Sekarang, realisasi perjuangan Palestina telah menjadi tuntutan internasional, dan bahkan di Amerika, generasi baru tidak mendukung Israel.

Perlu dicatat bahwa selain bantuan keuangan, militer, politik dan media langsung ke Israel, untuk mendukung rezim Zionis, pemerintahan Biden juga telah menerapkan tindakan hukuman seperti menjatuhkan sanksi terhadap negara lain dan mengeluarkan undang-undang untuk mencegah melemahnya Israel.

Terlepas dari dukungan tersebut, tampaknya tindakan ekstrem Perdana Menteri Zionis Benjamin Netanyahu, terutama desakan untuk melanjutkan perang Gaza di satu sisi, dan serangan ekstensif dan belum pernah terjadi sebelumnya di Lebanon serta klaim respons militer terhadap Wa'ad Sadiq 2 Iran, yang risiko penyebaran perangnya berlipat ganda di seluruh wilayah Asia Barat, secara umum telah menyebabkan ketegangan dan krisis antara pemerintahan Biden dan Tel Aviv.

Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Zionis

The Washington Post, dalam laporannya yang mengacu pada pembatalan mendadak rencana kunjungan Menteri Perang Zionis Yoav Galant ke Amerika Serikat, menganggapnya sebagai indikasi ketegangan antara Washington dan Tel Aviv.

Rupanya, Netanyahu memberi tahu Galant pada hari Selasa (8/10) bahwa dia hanya dapat melakukan perjalanan yang direncanakan ke Washington jika dua syarat terpenuhi, salah satu syaratnya adalah percakapan telepon antara Perdana Menteri Israel dan Presiden AS Joe Biden, yang telah dinantikan Netanyahu dalam beberapa hari sebelumnya. Syarat kedua adalah persetujuan agresi militer terhadap Iran oleh rezim ini.

Situs berita Axios juga menulis tentang ketegangan antara Amerika dan Israel, Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintahan Biden semakin tidak percaya terhadap apa yang dikatakan Tel Aviv mengenai rencana militer dan diplomatiknya dalam perang dengan Poros Perlawanan.

Juru bicara Kementerian Pertahanan AS juga menyatakan bahwa AS "telah dengan jelas menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud berperang dengan Iran" dan "menuntut Israel untuk memperjelas rencananya mengenai balasan militer terhadap serangan rudal Tehran".

Tentu saja, perlu dicatat bahwa ketegangan yang terjadi saat ini antara Washington dan Tel Aviv tidak berarti berakhirnya atau berkurangnya dukungan Amerika terhadap rezim Zionis, dan pemerintahan Biden telah berulang kali mengumumkan dan menekankan bahwa Amerika Serikat mendukung Israel dalam situasi apa pun.(sl)