Ketika Farideh Mostafavi, Putri Kedua Imam Khomeini Bercerita Tentang Ayahnya (Bagian 2)
-
Imam Khomeini dan keluarga
Sebagaimana Anda tahu, wacana perempuan merupakan bagian dari wacana yang memiliki beragam pendapat. Mohon jelaskan, bagaimana pendapat Imam Khomeini terkait posisi dan kedudukan perempuan?
Menurut saya, pendapat Imam Khomeini ra terkait perempuan dan kedudukannya sudah jelas di dalam pesan-pesan, pidato dan pengumuman beliau. Imam Khomeini pada dasarnya memiliki pendapat yang benar-benar positif terkait perempuan. Ketika kami memandang kehidupan rumah tangga beliau, kami menyaksikan beliau sangat menghormati dan menghargai istrinya. Yang senantiasa menjadi perhatian dan penekanan Imam Khomeini terkait perempuan adalah masalah pendidikan mereka. Karena perhatian beliau pada pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, meski kehidupan rumah tangga beliau telah berjalan bertahun-tahun, beliau sendiri yang mengajarkan berbagai macam pelajaran kepada istrinya. Beliau juga memerintahkan saudara saya [Syahid Mostafa Khomeini] untuk mengajari saya. Saya juga selama bertahun-tahun belajar pada saudara saya yang telah syahid ini. Imam Khomeini menetapkan program semacam ini di masa ketika kebanyakan perempuan dilarang untuk sekolah. Beliau juga memperlakukan anak-anaknya sedemikian rupa sehingga jangan sampai merasa ada diskriminasi di antara mereka dan itu di masa ketika kebanyakan masyarakat membedakan antara anak lelaki dan anak perempuan.
Pada hakikatnya dengan perilakunya ini Imam Khomeini benar-benar melakukan perlawanan terhadap sikap-sikap kolot. Mengingat pendapat beliau terkait perempuan sepenuhnya positif, beliau secara luar biasa menghormati istrinya dan menginginkan agar ibu benar-benar merasa nyaman. Terkait dengan anak-anak juga demikian. Meskipun dalam urusan syariat beliau bersikap tegas, tapi dalam urusan sosial beliau tidak mempersulit kami dan membiarkan kami merasa nyaman sehingga kami bisa melakukan aktivitas yang menurut kami perlu. Istri beliau dalam kehidupan rumah tangga juga benar-benar memiliki kebebasan. Semua urusan rumah sepenuhnya berada di bawah manajemen ibu dan Imam Khomeini sama sekali tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah. Tentunya bila beliau ditanya, beliau akan menyampaikan pendapatnya. Beliau mengatakan:
“Para suami tidak berhak menganggu dan menyakiti istrinya atau melakukan pemaksaan kepada mereka.”
Bahkan beliau meyakini bahwa bila seorang suami – jangan sampai terjadi – memukul istrinya, maka istri bisa melakukan pembalasan yang sama. Tentunya bila beliau menyaksikan perselisihan dalam kehidupan rumah tangga seseorang, beliau menganjurkan mereka untuk saling rukun. Tapi kami tidak pernah mendengar dari beliau mengatakan bahwa wanita yang mengalami keteraniayaan di dalam rumah tangga, harus diam. Beliau sama sekali tidak memiliki pendapat seperti ini. Imam Khomeini dalam hidupnya pernah menyaksikan sebagian perempuan yang mengalami keteraniayaan oleh suami-suami yang tidak saleh. Oleh karena itulah beliau meminta kepada para pejabat pemerintah untuk menetapkan syarat-syarat dalam pernikahan dan mencatatnya dalam surat nikah bahwa bila wanita mengalami keteraniayaan, maka ia bisa mencari jalan keluar. Pada hakikatnya beliau mengupayakan hal ini sebagai perantara agar wanita lebih sedikit mengalami keteraniayaan. Tapi, meskipun ada tiga belas syarat di dalam surat nikah, masih ada saja suami-suami yang mengganggu dan menyakiti istrinya dan sang istripun bersabar menahan segala kesulitan di bawah kondisi yang paling sulitpun demi anak-anaknya dan berusaha menyesuaikan diri.
Khusus aktivitas sosial, Imam Khomeini sebagai penyemangat kaum perempuan. Selama era revolusi dan setelahnya dalam pidato-pidato dan pengumumannya beliau meminta ibu-ibu untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan rezim [Shah Pahlevi] dan ikut serta melakukan demonstrasi. Meskipun Imam Khomeini menekankan agar kaum perempuan menjaga kehormatan dan hijabnya, namun beliau meyakini bahwa kaum wanita harus ikut serta bahu-membahu bersama kaum lelaki dalam urusan sosial, politik, budaya, pendidikan dan seni. Beliau juga tidak melarang sama sekali putri-putrinya untuk aktif di bidang sosial. Buktinya adalah adanya Muasasah Khairiyeh Wa Farhanggi- Amouzeshi 12 Farvardin [Yayasan Khairiyah dan Budaya-Pendidikan 12 Farvardin] yang saya dirikan pada tahun 58 [1358 Hs] dengan bantuan beberapa teman. Ketika yayasan sosial ini berdiri, selain Imam Khomeini memberikan semangat, beliau juga memberikan bantuan uang dan senantiasa menanyakan kinerjanya. Alhamdulillah, kaum perempuan dalam masyarakat juga seiring dengan kaum lelaki bangkit mengambil haknya dan tidak duduk berpangku tangan sehingga mendapatkan kembali posisi dan haknya yang telah hilang. Mereka senantiasa ikut serta di semua kancah dan arena dan benar-benar menunjukkan kecerdasan dan kebesarannya sehingga terbukti bahwa mereka layak mendapatkan semua pujian itu dari Imam Khomeini ra.
Bila Anda punya kenangan dari Imam Khomeini, mohon sampaikan kepada kami!
Saya masih ingat, waktu itu kami di Tehran dan saya ada ujian. Hari itu adalah Yaumullah [Hari Allah] dan ibu ada tamu. Di rumah banyak orang. Saya mengambil barang-barang saya dan masuk ke ruangan Imam Khomeini. Kepada beliau saya berkata, karena ruangan Anda sepi, saya datang ke sini untuk belajar. Beliau menyetujui dan menyiapkan fasilitas supaya saya benar-benar nyaman. Sebentar kemudian beliau datang masuk ke ruangan dengan membawa sebuah talam dan di atasnya segelas teh. Dengan segan saya bangun dan berkata, “Agha! Mengapa Anda repot-repot?”
Imam Khomeini tertawa dan berkata:
“Orang yang sedang belajar itu terhormat.”
Saya masih ingat selama saya belajar di ruangan itu, kepada siapa saja yang masuk ke ruangan itu beliau berkata:
“Diamlah! Farideh sedang belajar!”
Sikap Imam Khomeini ra ini menunjukkan pandangan beliau akan pentingnya pendidikan bagi kami. Sungguh perbedaan beliau dengan yang lainnya dan kelebihan beliau dari yang lainnya adalah cara berpikirnya. Pemikiran manusialah yang membedakan dia dengan yang lainnya. Oleh karena itulah seorang penyair berkata;
Hai saudara! Kau-lah pemikiran itu
Sisanya adalah tulang dan akar
Bila pemikiranmu adalah bunga, maka engkau adalah taman bunga
Bila pemikiranmu adalah duri, maka engkau adalah duri dalam tungku perapian
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap anak-anaknya di lingkungan rumah tangga?
Imam Khomeini di rumah sangat sayang dan akrab dengan anak-anak. Lingkungan rumah tangga benar-benar penuh dengan persahabatan dan keakraban. Tentunya pada saat yang sama beliau sangat tegas dan serius. Kami tahu dan secara praktis memang diajarkan demikian kepada kami - bukan lantas dikatakan dalam bentuk ucapan kepada kami misalnya, bila saya bicara, maka kalian tidak boleh berbuat sebaliknya – bahwa bila sesuatu bertentangan dengan yang dimaukan beliau, maka kami tidak akan melakukannya dan tidak pernah melakukannya. Tentunya beliau memberikan kebebasan kepada kami dalam cabang-cabang agama dan tidak terlalu mempersulit. Tapi terkait masalah usul agama, beliau sangat komitmen dan tidak seorangpun bisa menentangnya.
Beliau selalu menegaskan agar kami tidak berbuat dosa dan beradab dengan adab Islam. Tidak masalah bila kami bermain dan melakukan keributan di dalam rumah, tapi bila ternyata menyebabkan tetangga merasa terganggu, maka beliau benar-benar menegur kami dan tidak suka. Dengan demikian kami selalu berusaha berbuat sedemikian rupa sehingga beliau senang dan tidak mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan kemauannya. Agar beliau jangan sampai tidak rela dan tidak suka.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan bahwa cara pendidikan beliau sangat tegas. Misalnya bila kami berbuat sesuatu bertentangan dengan keinginan beliau karena kenakalan kami, cara pendidikan beliau tidak lantas memanggil kita dan mengatakan, bukankah saya sudah mengatakan jangan lakukan hal ini? mengapa kalian lakukan?...” kemudian menghukum kami dan kamipun mengatakan, “Agha! Maaf!”
Imam Khomeini begitu berwibawa, sehingga dengan sendirinya kami merasa segan pada beliau dan menjaga perilaku kami. Beliau tidak pernah marah dan tidak pernah memukul. Terkadang beliau menegur dengan suara agak keras dan ini sudah cukup sampai beberapa hari lamanya. Bila kami melakukan sesuatu bertentangan dengan kemauan beliau dan kami tahu bila melihat kami maka beliau tidak suka, maka kami menyembunyikan diri dari pandangannya sampai dua atau tiga hari dimana jangan sampai beliau melihat kami dan memarahi kami.
Kebetulan masalah ini terjadi pada diri saya sendiri. Beliau menekankan jangan sampai kami keluar sendiri untuk membeli sesuatu. Padahal waktu kami masih kecil beliau mengatakan:
“Bila kalian mau sesuatu, katakan supaya pembantu ini yang membelikan!”
Saya waktu itu seorang anak gadis berusia sepuluh atau sebelas tahunan. Saya keluar untuk membeli kertas. Saya cepat-sepat balik dan tidak begitu menutup wajah saya. (tentunya waktu itu saya sudah mencapai usia taklif. Selama belum mencapai taklif kami tidak dibebani taklif apapun) Saya melihat Imam Khomeini datang dan melihat saya. Karena wajah saya terbuka dan jalan tergesa-gesa dan berpapasan dengan beliau, saya benar-benar takut dan kira-kira selama dua hari saya menyembunyikan diri. Yakni saya tidak hadir untuk makan bersama. Saya mencari alasan dan makan bersama pembantu. Pada malam hari saya pura-pura tidur dan tidak hadir makan bersama. Beliau juga tidak mengatakan, “Mengapa Farideh tidak datang makan? Padahal biasanya kalau ada anak-anaknya yang tidak hadir makan bersama, pasti beliau menanyakan, “Mengapa tidak ada? Mengapa tidak hadir untuk makan bersama?” Bila kami berada di rumah, maka harus hadir untuk makan bersama. Kalaupun tidak di rumah, beliau pasti menanyakan mengapa kami tidak ada? Karena kami tidak berhak sama sekali pergi keluar tanpa dibarengi ibu. Tapi beliau tahu mengapa saya tidak menampakkan diri. Itulah mengapa beliau tidak menampakkan masalah ini. Karena supaya buruknya masalah tidak terhapus dan rasa takut ini tetap ada pada kami. Pengaruhnya juga bagus dan menyebabkan kami tidak berbuat salah. Bukannya lantas kami selalu berbuat salah dan dihukum atau kita lantas minta maaf kemudian mengulangi lagi kesalahan itu.
Imam Khomeini ra tidak terlalu mempersulit urusan kecuali dalam masalah syariat. Beliau selalu menekankan agar kami melaksanakan perintah-perintah Allah supaya kita jauh dari dosa-dosa. Kami tidak didikte tentang pekerjaan-pekerjaan agama. Di dalam rumah, ketika kami menyaksikan perilaku Imam, dengan sendirinya berpengaruh pada kami. Kami selalu berusaha seperti beliau. Sekalipun tidak bisa seperti beliau.
Dari sisi pendidikan, beliau sebagai teladan bagi kami. Ketika beliau mengatakan, “jangan melakukan hal ini” dan kami juga melihat beliau tidak pernah melakukan hal tersebut seumur hidupnya, kami juga tidak melakukannya.
Misalnya kepada kami beliau mengatakan, “Kalian harus mengerjakan shalat.” Beliau sendiri setengah jam sebelum zuhur sudah mengambil wudhu dan menyiapkan diri untuk shalat. Kamipun sedang sibuk bermain di halaman. Sekali saja beliau juga tidak pernah memanggil kami “Anak-anak, ayo shalat! Saya sudah berdiri, lakukan shalat jamaah dengan saya atau kalian shalat sendirian!” Selama bertahun-tahun beliau senantiasa shalat di awal waktu, tapi sekali saja tidak pernah mengatakan kepada kami, “Sekarang tinggalkan kesibukan kalian, waktunya azan, tinggalkan dulu permainan kalian dan kerjakan shalat!” tapi beliau mengatakan:
“Kalian harus mengerjakan shalat dari jam sekian sampai jam sekian, awas bila ada yang tidak mengerjakan shalat sepanjang waktu ini. Kalau tidak mengerjakan shalat di waktu ini, maka harus keluar dari rumah.”
Yakni jangan menjadi anaknya Imam Khomeini. Beginilah sikap beliau. Di waktu subuh beliau juga tidak membangunkan kami dan hanya mengatakan:
“Bila kalian bisa bangun, maka bangunlah dan kerjakan shalat. Bila kalian tidak bisa bangun, maka ketika waktu zuhur, sebelum mengerjakan shalat zuhur dan asar, kalian harus mengqadha shalat subuh kalian.”
Pada musim dingin kamipun bangun untuk mengerjakan shalat subuh dan mengambil wudhu di kolam. Bila misalnya ada sedikit air hangat, beliau mengatakan:
“Sini, ambillah wudhu dengan air hangat ini!”
Terkait shalat beliau tidak mempersulit kami. Dari sisi ini, alhamdulillah ada pengaruhnya yang baik pada anak-anak beliau.
Saya masih teringat sebuah kenangan. Baru saja saya mencapai usia taklif. Malamnya saya tidur. Imam Khomeini dan saudara saya datang dalam kondisi ceria dan sangat gembira. Kepada saya bertanya, apakah saya sudah shalat? Saya berpikir karena Imam Khomeini dalam kondisi ceria, shalat saya baginya tidak penting. Saya menjawab, “belum” mendengar jawaban saya, kondisi beliau menjadi berubah dan marah dan benar-benar tidak suka. Saya sendiri juga kecewa pada diri saya sendiri. Mengapa suasana ceria itu saya bikin menjadi pahit dengan ucapan dan amalan saya.
Beliau menekankan agar kami menjaga [memakai] hijab sejak masa kanak-kanak. Di dalam rumah kami tidak berhak melakukan segala bentuk dosa sedikitpun. Termasuk ghibah [menggunjing], bohong, tidak menghormati yang lebih tua, dan menghina kaum muslim. Khususnya beliau sangat sensitif terkait penghinaan terhadap kaum muslim. Apalagi beliau selalu menegaskan bahwa hamba-hamba Allah tidak punya kelebihan dan keistimewaan di atas yang lain kecuali karena ketakwaannya. Masalah ini beliau ajarkan kepada kami sejak kami masih kanak-kanak. Beliau selalu mengatakan:
“Tidak ada bedanya antara kalian dan pembantu yang bekerja di rumah ini!”
Secara praktis kami belajar hal ini dari Imam Khomeini. Dengan cara inilah kami belajar nilai-nilai Islam.
Saya masih ingat, waktu itu saya masih kecil. Suatu hari ada seorang lelaki tua mengantarkan tanah untuk taman rumah kami. Kami sedang duduk makan bersama dan orang tersebut datang. Imam berkata:
“Orang lelaki tua ini belum makan.”
Beliau mengambil sebuah piring dan mengambil beberapa sendok makanan dari piringnya dan meletakkannya di piring tersebut, kemudian berkata:
“Ayo, ambillah beberapa sendok makanan dari piring kalian masing-masing dan letakkan di piring ini, sehingga menjadi seporsi makanan untuk satu orang.
Karena kami tidak punya makanan lebih, makanan orang lelaki tua itu kami tambahi dengan nan [roti]. Di masa kecil saya benar-benar menyukai pekerjaan ini.
Imam Khomeini ra sangat akrab dan penuh kasih sayang. Perilaku beliau sejak masa sebagai santri sampai akhir usianya tidak berbeda sama sekali. Sejak masa...saya masih ingat...ya sikap-sikap beliau kepada kami inilah. Sejak awal kami sangat menghormati beliau dan kami komitmen untuk tidak melakukan pekerjaan yang tidak disukai beliau. Karena sikap-sikap Imam Khomeini-lah sehingga tidak pernah terbetik sedikitpun dalam pikiran kami untuk berbohong atau menggunjing satu sama lain. Kami senantiasa sama sebagaimana di depan seseorang, di belakangnya juga demikian. Tidak ada bedanya.
Dikutip dari penuturan Farideh Mostafavi, anak Imam Khomeini ra. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh.