Inilah Inti Pembicaraan Rahbar dengan Presiden Rusia
(last modified Wed, 20 Jul 2022 12:22:25 GMT )
Jul 20, 2022 19:22 Asia/Jakarta
  • Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei (tengah), Presiden RII Sayid Ebrahim Raisi dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
    Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei (tengah), Presiden RII Sayid Ebrahim Raisi dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan delegasi tingkat tinggi yang menyertainya di Tehran, ibu kota Republik Islam Iran pada Selasa sore, 19 Juli 2022.

Dalam pertemuan tersbut, Rahbar mengatakan bahwa peristiwa dunia saat ini menunjukkan perlunya Iran dan Rusia untuk meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan.

Ayatullah Khamenei menganggap kerja sama ekonomi antara Iran dan Rusia perlu dan menguntungkan kedua negara, terutama setelah adanya berbagai sanksi Barat terhadap Tehran dan Moskows.

Rahbar menyetujui kebijakan pengganti, dengan menggunakan mata uang-mata uang nasional dalam hubungan kedua negara, dan penggunaan mata uang lain sebagai pengganti dolar.

Ayatullah Khamenei menegaskan, mata uang dolar (Amerika) harus secara bertahap dihapus dari jalur transaksi global, dan hal ini mungkin dilakukan secara bertahap.

Republik Islam Iran dan Rusia adalah dua negara yang menentang unilateralisme di kancah internasional, yang masing-masing berada di bawah sanksi ekonomi dari Barat, terutama Amerika Serikat (AS), dengan dalih program nuklir damai dan krisis di Ukraina.

Meskipun demikian, pengembangan kerja sama perdagangan, perluasan kerja sama jangka panjang dan penghapusan beberapa hambatan serta upaya untuk menetralisir sanksi menjadi agenda serius dari pejabat Iran dan Rusia.

Di antara rencana Republik Islam Iran dan Rusia untuk menetralisir sanksi, adalah penggunaan sistem transaksi keuangan di luar SWIFT dan penggunaan mata uang alternatif terhadap dolar. Tehran dan Moskow telah mencapai kesepahaman awal dalam hal ini dan diharapkan akan diimplementasikan dalam waktu dekat.

SWIFT adalah sistem transfer informasi pembayaran terbesar di dunia yang dioperasikan oleh 11.000 lembaga perbankan dan keuangan di 200 negara dunia. Kini SWIFT berpusat di Belgia dan memiliki kantor pusat pendukung di Amerika Serikat, Belanda, Inggris, dan Hong Kong. 

Saat ini SWIFT dijadikan alat politik oleh AS dan negara-negara Barat lainnya untuk mengejar tujuan kebijakan luar negeri dan fiskal. Profesor Universitas George Washington, Hossein Asgari mengatakan, SWIFT dewasa ini berada di bawah kendali AS yang melemahkan instrumen keuangan internasional ini. Akibatnya, kinerja dan efisiensi sistem keuangan internasional akan dirusak oleh AS dengan memanfaatkan posisi dolar sebagai mata uang internasional yang dominan.

AS menggunakan SWIFT terhadap negara-negara yang dipandang tidak sejalan dengan kepentingannya. AS dan sekutunya di Eropa telah melarang akses SWIFT terhadap negara-negara yang dijatuhi sanksi sepihak oleh Washington seperti Rusia, dan Iran.

Pada tanggal 5 November 2018, SWIFT telah menangguhkan akses terhadap beberapa bank Iran ke sistem antarbank internasional karena sanksi unilateral baru AS terhadap Iran. Kini, Iran dan Rusia sedang berupaya mencari mekanisme baru sebagai aleternatif  SWIFT.

Dalam pertemuannya dengan Ayatullah Khamenei, Putin menyinggung pada penyalahgunaan dolar AS untuk melancarkan sanksi dan menjarah negara lain. Dia menilai tindakan ini pada akhirnya akan merugikan mereka dan menjadi penyebab melemahnya kepercayaan global terhadap mata uang tersebut dan mendorong pergerakan negara-negara untuk menggunakan mata uang alternatif. Putin menuturkan, Rusia dan Iran sedang merancang cara baru untuk menggunakan mata uang nasional dalam hubungan antara kedua negara.

Dalam pertemuan ini, Ayatullah Khamenei juga menyebut masalah Suriah sebagai masalah yang sangat penting, dan menekankan posisi Republik Islam yang menentang serangan militer di negara ini dan perlunya untuk mencegah serangan itu.

Rahbar menuturkan, isu penting lainnya dalam masalah Suriah adalah pendudukan atas daerah subur dan kaya minyak di sebelah timur Efrat (Furat) oleh AS, dan masalah ini harus diselesaikan dengan mengusir mereka dari daerah itu.

Adanya cadangan migas yang sangat banyak dan adanya perlintasan-perlintasan perbatasan yang vital dan strategis telah memberikan posisi yang khusus dan sensitif terhadap wilayah timur sungai Efrat Suriah, atau wilayah pulau itu. Peran wilayah ini dalam hubungan geografis Suriah dengan Irak, dan di sisi lain, perbatasannya dengan Turki selatan dan kehadiran warga Kurdi di sana, menjadi salah satu alasan perhatian serius ASterhadap wilayah Suriah ini.

Sebagian besar pangkalan AS di Suriah terkonsentrasi di wilayah timur Efrat, dan pangkalan penting al-Tanf juga terletak di segitiga perbatasan antara Suriah, Irak dan Yordania. AS menggunakan kehadiran militernya ini untuk mengatur gerakan teroris, menyelundupkan minyak Suriah yang dicuri, dan untuk mengintensifkan tekanan terhadap Rusia dan Republik Islam Iran sebagai dua pendukung utama pemerintahan sah Bashar al-Assad.

Rakyat dan pemerintah Suriah telah berulang kali menentang pendudukan AS tersebut, dan mereka juga telah menekankan perlunya penarikan pasukan Amerika dari wilayah negara ini.

Jelas bahwa dari sudut pandang Republik Islam Iran, penarikan pasukan AS dari Suriah diperlukan, dan integritas teritorial negara ini juga harus dijaga. Iran juga menganggap solusi politik sebagai satu-satunya solusi untuk mengurangi kekhawatiran keamanan Turki di Suriah utara.

Setelah menyetujui posisi dan sikap Pemimpin Besar Revolusi Islam mengenai wilayah Kaukasus, Presiden Rusia menyebut posisi negaranya dengan Iran dalam masalah Suriah, termasuk oposisi terhadap serangan militer di utara negara ini, sepenuhnya sejalan satu sama lain. Putin mengatakan, wilayah timur Efrat harus berada di bawah kendali militer Suriah. (RA)

Tags