Dominasi Medsos dengan Standar Ganda Barat; Analisis Penangkapan Pemilik Telegram dalam Dialog Parstoday
(last modified 2024-09-02T10:18:18+00:00 )
Sep 02, 2024 17:18 Asia/Jakarta
  • Dominasi Medsos dengan Standar Ganda Barat; Analisis Penangkapan Pemilik Telegram dalam Dialog Parstoday

Parstoday- Dengan ditangkapnya CEO Telegram Pavel Durov di Prancis, klaim negara-negara Barat untuk mengikuti kebebasan individu dan slogan-slogan tentang perlunya kebebasan dalam masyarakat sekali lagi terungkap lebih dari sebelumnya.

Pemerintah Prancis menangkap CEO Telegram atas tuduhan luas seperti membeli dan menjual narkoba, melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak, dan menciptakan lingkungan untuk penyebaran terorisme. Menurut Parstoday, penangkapan ini memicu gelombang protes dari kritikus dalam dan luar negeri, banyak yang mendukung tindakan pemerintah Prancis dan menilai sejalan dengan perlindungan keamanan nasional Eropa, khususnya negara ini, namun banyak juga yang menganggap penangkapan ini sebagai standar ganda terhadap kebebasan individu oleh Perancis dan pelanggaran terhadap semua slogan Paris dan dunia Barat terkait perlindungan kebebasan individu.

 

Untuk mengkaji dimensi insiden ini dan isu kebebasan di dunia Barat, kami berbincang dengan Dr. Rahman Ghahremanpour, seorang peneliti hubungan internasional.

 

Peneliti internasional ini menilai kebebasan berekspresi merupakan isu filosofis dan mengakar yang selalu menjadi sumber kontroversi. Dia berkata: Kenyataannya adalah negara-negara Barat selalu mengadopsi standar ganda mengenai masalah kebebasan. Kini, dengan ditangkapnya CEO Telegram, aspek lain dari standar ganda tersebut terungkap.

 

Jejaring Sosial, Menciptakan Monopoli dan Ancaman yang tidak terkendali

 

Mengenai alasan Barat (Prancis) menghadapi pemilik platform Telegram saat ini, Dr. Ghahremanpour mengatakan: Sensitivitas pada platform Telegram dan jejaring sosial telah meningkat dengan diperkenalkannya model kecerdasan buatan dan kemungkinan mengumpulkan lebih banyak informasi pengguna. Faktanya, semua pemilik platform ini bertujuan untuk menarik lebih banyak pengguna sehingga mereka bisa mendapatkan lebih banyak iklan dan menjadi pemain eksklusif di berbagai bidang dengan memperkuat basis finansial mereka. Sebuah isu yang bertentangan dengan keinginan negarawan Barat.

 

Persoalan lainnya adalah akses pengguna di dunia yang luas dan tidak terkontrol terhadap jaringan virtual, termasuk Telegram, menyebabkan negara-negara Barat semakin sensitif terhadap jejaring sosial ini. Pengguna kini dapat mempublikasikan informasi mereka secara global tanpa masalah keamanan; Sebuah isu yang menjadi garis merah bagi banyak pemerintahan. Faktanya, berkat platform-platform tersebut, pemerintah tidak lagi dapat dengan mudah terlibat dalam berbagai permasalahan dan mengambil alih kendali berbagai urusan.

 

Pakar hubungan internasional ini mengatakan tentang contoh standar ganda Barat, khususnya Prancis, terhadap kebebasan: Di Perancis, burqa dilarang bagi perempuan, bukankah pakaian seharusnya bebas bagi manusia berdasarkan prinsip kebebasan; Apakah ini bukan pelanggaran kebebasan? Contoh lainnya adalah pada subjek majalah “Charlie Hebdo”. Dalam kejadian ini, sakralitas umat Islam yang merupakan mayoritas warga negara ini diejek, namun tidak ditangani dan pemerintah Prancis membenarkannya dalam kerangka kebebasan berpendapat. Faktanya, perilaku ganda negara-negara barat ini selalu ada dalam dimensi yang berbeda.

 

Mengenai sudut pandang yang saling bertentangan di bidang kebebasan berekspresi di arena global dan refleksi dari sudut pandang tersebut dalam perilaku pemerintah Barat, Ghahremanpour mengatakan: Ada dua sudut pandang utama dalam bidang ini yang selalu dipertimbangkan oleh negara-negara Barat. Sebuah sudut pandang yang meyakini bahwa yang diprioritaskan adalah kebaikan kolektif, dalam artian platform apa pun yang menurut mereka memiliki konten berbahaya dapat dilacak dan ditangani. Menurut mereka, persoalan ini tidak bertentangan dengan demokrasi, karena kebaikan kolektiflah yang dipertaruhkan di dalamnya. Sebagaimana pandangan ini telah ditekankan dalam penangkapan CEO Telegram, namun pandangan sebaliknya meyakini bahwa kita hidup di dunia yang bebas dan pasokan dilakukan sesuai permintaan, dalam hal ini pembatasan apa pun merupakan pelanggaran terhadap kebebasan. Para pendukung pandangan ini masih menganggap tindakan Prancis sebagai pelanggaran terhadap kebebasan individu.

 

Negara-negara Barat menafsirkan batas-batas kebebasan sesuai dengan kepentingan mereka

 

Dr. Ghahremanpour mengatakan: "Tampaknya di dunia sekarang ini, negarawan mencari keuntungan dari kedua sudut pandang untuk membenarkan kebijakan mereka dan sejalan dengan kepentingan mereka, sama seperti pada tahun 2016, Facebook memberikan sebagian informasi mereka untuk kampanye Donald Trump tanpa izin dari penggunanya. Ini memainkan peran penting dalam kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS. Kini, penyalahgunaan platform Telegram di berbagai bidang seperti terorisme, narkoba, dan lain-lain, telah menjadi alasan penangkapan Pavel Durov, CEO Telegram.

 

Kebebasan adalah sebuah cita-cita

 

Peneliti Hubungan Internasional ini mengatakan mengenai peran kekuasaan dalam persoalan kebebasan individu dan sosial:

 

Kebebasan berpendapat adalah sebuah cita-cita dan faktanya selalu menjadi fungsi kekuasaan. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada kebijakan media Barat mengenai tindakan rezim Zionis terhadap Palestina. Sayangnya, ini adalah sebuah isu yang menyakitkan karena media Barat selama bertahun-tahun tidak peduli terhadap isu Israel dan anak-anak Palestina, dan hanya sedikit pemberitaan mengenai tindakan tidak manusiawi mereka terhadap Palestina.

 

Dengan kata lain, di dunia nyata, negara-negara yang memegang kekuatan ekonomi dan politik, juga selalu menjadi pemain di bidang media, kinerja BBC dan CNN dalam krisis dan isu-isu berbagai negara di dunia dapat dijadikan bukti dalam bidang ini. Kami juga dapat menunjukkan kurangnya perhatian media di negara-negara Barat dan kurangnya publikasi nyata mengenai kejahatan Israel di Palestina, tidak menghormati landasan agama umat Islam, bahkan pembakaran al-Quran, kekerasan yang terjadi dengan orang kulit hitam, dan kurangnya dukungan terhadap masyarakat kulit hitam dan tidak adanya liputan yang tepat tentang berita ini.

 

Dr. Ghahremanpour mengatakan tentang tekanan yang diberikan negara-negara Barat terhadap Iran melalui media, terutama dalam krisis sosial dan politik, atau bahwa mereka menuduh Iran melanggar kebebasan, padahal mereka memiliki posisi ganda dan bahkan sikap yang multi demi kepetingannya di isu kebebasan:

 

Faktanya, konflik antara sistem politik Iran dengan negara-negara Barat serta ketidakpatuhan Iran terhadap kebijakan dan keinginan Barat menyebabkan negara-negara ini selalu mengambil posisi bermusuhan terhadap Republik Islam Iran. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka selalu menuduh Iran membatasi penggunaan platform dan melanggar kebebasan individu, sementara mereka kini lebih banyak berbicara tentang keterbatasan platform dan perlunya mengendalikannya.

 

Terkait peran media-media Barat dalam krisis internasional dalam beberapa tahun terakhir, Ghahremanpour mengatakan:

 

Media di negara-negara barat selalu bertindak sebagai tangan politik pemerintah, meskipun mereka mengklaim kebebasan, mereka telah melayani pemerintah dan kebijakan negara-negara barat. Faktanya, perang media dengan berbagai isu selalu terjadi, dan media barat berusaha memainkan peran dalam penyeimbangan kekuasaan dengan dukungan ekonomi dan sejalan dengan kebijakan pemerintah barat.

 

Peneliti Hubungan Internasional ini terkait masa depan media di dunia saat ini mengingat platform-platform baru, mengatakan:  

 

Tampaknya seiring dengan perubahan politik di dunia, kekuatan media juga ikut berubah dalam bidang politik global. Tampaknya dengan menguatnya Cina, kekuatan media negara tersebut juga semakin meningkat di kancah internasional, kini Tik Tok dan kantor berita Xinhua mengambil peran yang lebih serius di kancah media dan kompetisi.

 

Dia mengatakan tentang sensor yang diterapkan di jaringan maya atau kebijakan kontradiktif yang digunakan di media, misalnya terkait Syahid Soleimani, komandan Iran dalam perang melawan terorisme Daesh (ISIS):

 

Di dunia saat ini, media telah menjadi otoritas dalam bertindak dan sebagai akibatnya, terciptalah persepsi-persepsi yang bertentangan mengenai konsep-konsep yang berbeda, seperti, khususnya setelah peristiwa 11 September, para pahlawan nasional di beberapa negara digambarkan sebagai teroris oleh dunia Barat, atau di sisi lain, penjahat akan terbukti tidak bersalah. Dengan kata lain, ketika monopoli tercipta, segala sesuatu ditentukan berdasarkan kekuasaan pelaku monopoli, sehingga banyak konsep yang diubah bahkan konsep-konsep baru pun didefinisikan. Selain itu, seringkali media sendiri menjadi penyebab penyebaran kebencian bahkan pembunuhan. Dalam konteks ini, kita dapat menyebutkan pembunuhan terhadap Muslim Rohingya, yang terjadi setelah biksu Budha memposting postingan yang tidak pantas dan menyebarkan kebencian terhadap Islam di Facebook.

 

Solusi: Penguatan dan Pengembangan Infrastruktur dan Keterampilan

 

Pada akhirnya, ketika menjawab pertanyaan tentang solusi apa yang harus digunakan oleh negara seperti Iran dalam dunia maya saat ini dan dengan media virtual baru, Dr. Ghahremanpour mengatakan: Kita perlu menciptakan infrastruktur yang tepat, memperluas kecerdasan buatan, dan menggunakan teknologi baru. Faktanya, kita dapat memulai perang dengan platform-platform baru dan ruang media baru ketika kita memperoleh infrastruktur dan keahlian yang diperlukan. Sebuah isu yang ditekankan oleh Pemimpin Revolusi Islam dalam pidatonya baru-baru ini. (MF)

 

 

 

 

 

Tags