Bagaimana Para Wanita Gaza Berperan dalam Meredam Islamofobia ?
https://parstoday.ir/id/news/iran-i179476-bagaimana_para_wanita_gaza_berperan_dalam_meredam_islamofobia
Seorang anggota dewan akademik Pusat Penelitian Perempuan dan Keluarga menjelaskan bagaimana peran para ibu para syahid perlawanan telah berubah dari sekadar “ibu seorang syahid” menjadi “ibu umat,” dengan misi global yang mereka emban.
(last modified 2025-11-03T05:47:29+00:00 )
Nov 03, 2025 12:41 Asia/Jakarta
  • Bagaimana Para Wanita Gaza Berperan dalam Meredam Islamofobia ?

Seorang anggota dewan akademik Pusat Penelitian Perempuan dan Keluarga menjelaskan bagaimana peran para ibu para syahid perlawanan telah berubah dari sekadar “ibu seorang syahid” menjadi “ibu umat,” dengan misi global yang mereka emban.

Tehran, Parstoday- Fariba Alasvand, anggota dewan akademik Pusat Penelitian Perempuan dan Keluarga, yang sejak awal perang Gaza menaruh perhatian khusus pada isu “perempuan dalam perang,” berkesimpulan bahwa perempuan dalam barisan perlawanan tidak hanya hadir sebagai penyintas atau yang berduka, tetapi juga sebagai pelaku sosial dan ideologis yang aktif di medan perjuangan. Meskipun mungkin mereka tidak sepenuhnya menyadari dampak dari tindakan mereka, para perempuan ini berperan besar dalam membentuk perubahan budaya dan spiritual di tingkat global.

Menurut Alasvand, salah satu hasil menonjol dari sikap para ibu syahid di Gaza adalah berkurangnya Islamofobia dan meningkatnya ketertarikan terhadap Islam serta pembacaan Al-Qur’an di seluruh dunia. Citra Muslimah, khususnya perempuan berhijab memperoleh wajah baru dalam konteks perlawanan. Perempuan-perempuan ini hidup di tengah lingkaran kesyahidan: ada yang kehilangan anaknya, ada yang kehilangan suami atau saudara, bahkan ada yang merasakan duka kehilangan janin di masa kehamilan.

Sekilas, kondisi dan penderitaan semacam itu seharusnya sangat berat dan melumpuhkan secara emosional bagi perempuan mana pun. Namun dalam kenyataannya, mereka menunjukkan reaksi yang berbeda. Dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan berpegang pada iman, mereka mengubah kesedihan menjadi kekuatan untuk bertahan dan berjuang. Banyak di antara mereka bahkan mengucapkan selamat atas kesyahidan anak-anak mereka dan menganggapnya sebagai sumber kebanggaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa isu “perempuan dan perang” merupakan tema yang multidimensional dan kompleks, yang dapat dikaji dari berbagai perspektif.

Sebagai contoh, ketika perempuan dihadapkan pada situasi perang, reaksi pertama mereka biasanya adalah ketakutan dan kecemasan — sesuatu yang dalam dokumen-dokumen internasional disebut sebagai “perempuan dalam perang dan konflik internasional.” Rasa takut ini memiliki sifat khas perempuan dan berbeda dengan pengalaman laki-laki. Laki-laki biasanya tampil sebagai pejuang atau penyerang, sedangkan perempuan berada dalam kondisi fisiologis dan psikologis yang berbeda. Selain itu, seorang ibu merasakan penderitaan ganda: ia menanggung rasa lapar untuk dirinya dan anaknya sekaligus.

Dalam kondisi seperti ini, sebuah peristiwa penting terjadi: seorang ibu yang kehilangan anaknya berubah dari “ibu seorang individu” menjadi “ibu umat,” “ibu ideologi,” atau “ibu agama.” Identitas perempuan-perempuan ini bertransformasi; mereka tidak lagi sekadar pelayat pasif, tetapi pembawa pesan perlawanan. Sebagian besar narasi tentang kesabaran dan keteguhan dalam masyarakat yang dilanda perang disampaikan oleh para ibu ini. Artinya, pilar dukungan moral dan budaya dalam perjuangan banyak dibangun di atas nama para ibu, yang menjadi tiang-tiang emosional dan spiritual perlawanan.

Secara umum, para penyintas perang biasanya mengalami depresi dan trauma psikologis berat, sebagaimana terlihat di Israel saat ini, atau seperti yang dialami selama bertahun-tahun oleh para ibu tentara Amerika yang gugur di berbagai medan perang dunia. Banyak di antara mereka yang tercatat menderita depresi mendalam dan berjuang mengatasi gangguan mental yang ditimbulkan oleh kehilangan tersebut.

Namun, pengalaman di Gaza dan “ibu-ibu dalam Perang Suci Iran (Defa’-e Moqaddas)” sangat berbeda. Dalam kedua konteks ini, terdapat gelombang besar ibu para syahid yang, setelah kehilangan anak-anak mereka, kembali ke masyarakat dengan rasa tanggung jawab dan misi spiritual. Mereka merasa berkewajiban menyampaikan pesan darah syuhada mereka. Dengan demikian, para ibu ini berubah menjadi sebuah institusi dari “ibu seorang individu” menjadi “ibu umat” dan “ibu perlawanan.”

Seolah-olah darah para syuhada telah memberi mereka kepribadian hukum dan identitas baru. Mereka merasakan bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap Islam, terhadap umat, dan bahkan terhadap seluruh kemanusiaan.(PH)