Tekad Iran dan Jepang Tingkatkan Hubungan Bilateral
-
Bendera Iran dan Jepang
Presiden Republik Islam Iran, Hassan Rouhani dalam waktu dekat dijadwalkan berkunjung ke Tokyo. Kunjungan ini dinilai pengamat politik sangat penting mengingat lawatan terbaru Perdana Menteri Jepang Abe Shinzo ke Iran baru-baru ini.
Sekaitan dengan ini dubes Jepang di Tehran dan deputi bidang politik menlu Iran hari Senin (16/12) menggelar pertemuan.
Dubes Jepang Mitsuo Saito di pertemuan ini seraya menjelaskan bahwa hubungan ekonomi Tehran dan Tokyo belum mencukupi menekankan, perusahaan Jepang optimis dengan masa depan Iran dan tetap mempertahankan kehadirannya di Iran.
Sementara itu, Deputi bidang politik menlu Iran, Sayid Abbas Araqchi di pertemuan tersebut kunjungan timbal balik pemimpin Iran dan Jepang mengindikasikan kuatnya hubungan kedua negara dan menjelaskan, "Kunjungan ini digelar ketika Iran berada di kondisi tekanan maksimum AS dan beragam konspirasi untuk mengucilkan Iran dilancarkan."
Iran dan Jepang memiliki kepentingan bersama untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan. Sekaitan dengan ini, Araqchi di lawatan terbarunya ke Tokyo dan pertemuannya dengan Menlu Jepang, Toshimitsu Motegi membahas Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA) dan inisiatif perdamaian Hormuz yang digulirkan presiden Iran di Majelis Umum PBB.
Sikap Jepang sebagai salah satu kekuatan ekonomi besar dan politik mengindikasikan bahwa Tokyo memahami dengan baik pentingnya komitmen terhadap JCPOA dan menjaga stabilitas serta keamanan di kawasan.
Dalam hal ini, perang Iran dalam menjaga stabilitas dan pengaruh Tehran terhadap konstelasi politik dan ekonomi di kawasan sangat penting bagi Jepang yang memiliki kepentingan cukup besar di Asia Barat. Jepang tercatat sebagai kekuatan ekonomi ketiga terbesar dunia dan importir ketiga terbesar minyak setelah Amerika dan Cina. Dengan demikian negara ini tidak dapat mengabaikan pasar energi Iran.
Koran The Japan Times di laporannya menulis, lebih dari 80 persen sumber energi Jepang melalui Selat Hormuz dan ganggung sekecil apapun sumber energi tersebut akan membuat industri di negara ini harus mengeluarkan biaya besar.
Tak diragukan lagi bahwa pelanggaran JCPOA, perang ekonomi dan sanksi ilegal Amerika bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas dunia. Sekaitan dengan ini, meski Jepang sepertinya tidak mengambil langkah nyata dalam menentang sanksi Amerika, tapi Tokyo tidak menyembunyikan kekhawatirannya atas berlanjutnya tensi tersebut.

Mantan menteri luar negeri Jepang, Taro Kono terkait hal ini mengatakan, "Kami khawatir dengan tensi di Timur Tengah, dan berharap diambil langkah diplomatik untuk mereduksi tensi ini."
Wajar jika masyarakat internasional memiliki tanggung jawab atas kesepakatan JCPOA dan resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu, diharapkan Jepang sebagai sebuah negara berpengaruh dan ekonomi besar, juga menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Sekaitan dengan ini The Japan Times di analisanya seraya mengisyaratkan kondisi kawasan yang tidak menguntungkan, menilai langkah Amerika sebagai pemicu munculnya tensi sengit di kawasan. Koran ini menekankan bahwa di kondisi seperti ini, sangat penting dan bermanfaat jika negara-negara netral seperti Jepang melakukan tindakan.
Langkah irrasional dan anti JCPOA Gedung Putin dan eskalasi sanksi setiap hari oleh Amerika mengindikasikan bahwa pemimpin Gedung Putih tidak mengindahkan kepentingan global. Unilateralisme Amerika sampai saat ini telah memberikan kerugian besar bagi masyarakat internasional. Oleh karena itu, mengekor Amerika tidak menguntungkan perdamaian dan keamanan kawasan serta dunia. Jawaban paling rasional terhadap pelanggaran norma Amerika adalah mengambil kebijakan independen.

Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei distatemennya saat bertemu dengan Abe Shinzo di Tehran pada 13 Juni 2019 mengingatkan, "Jepang negara penting di Asia dan jika berminat memperluas hubungan dengan Iran, maka Tokyo harus menunjukkan tekad tegasnya, sama seperti sejumlah negara penting juga telah menunjukkan tekad tersebut." (MF)